Dengarkan artikel ini:
Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024 yang menjadi kontestasi antara Donald Trump dan Kamala Harris perlu menjadi perhatian Indonesia, mengingat presiden negara adidaya ini akan menentukan arah kebijakan luar negeri pemerintahan Prabowo Subianto di masa mendatang.
“Dragons. I have no fear of armies. I mislike feeling powerless. Send me dragonriders” – Lady Jeyne Arryn, House of the Dragon (2022-sekarang)
Setidaknya, itulah ungkapan yang dilontarkan oleh Lady Jeyne Arryn, sang pemimpin keluarga bangsawan Arryn yang menguasai dataran tinggi Vale, dalam seri televisi berjudul House of the Dragon (2022-sekarang).
Dalam seri itu, Arryn lebih bersikap hati-hati ketika konflik keluarga besar terjadi di keluarga Targaryen, yakni antara Rhaenyra Targaryen dan Aegon II Targaryen. Alih-alih memilih untuk membela salah satu, Arryn lebih memilih untuk bertahan di posisi tengah untuk beberapa waktu.
Namun, Arryn-pun tetap memperhatikan perkembangan konflik secara lebih lanjut. Tujuan di balik berbagai pertimbangan ini adalah agar Arryn bersiap untuk menghadapi konsekuensi apapun yang muncul apabila salah satu pihak menjadi dominan.
Mungkin, apa yang dihadapi oleh Arryn di House of the Dragon ini mirip dengan situasi yang dialami oleh presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, saat ini. Pasalnya, di Amerika Serikat (AS), kini tengah terjadi kontestasi politik besar antara dua kandidat presiden AS, yakni Donald Trump dan Kamala Harris.
Kedua kandidat ini akan bertarung satu sama lain untuk memperebutkan suara warga AS di Pemilihan Presiden (Pilpres) AS yang akan digelar pada 5 November 2024. Siapapun yang menjadi presidennya nanti akan berpengaruh dengan memegang kursi pimpinan tertinggi atas suatu negara adidaya.
Maka dari itu, presiden yang menang nantinya juga menentukan arah kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia di bawah Prabowo. Bukan tidak mungkin, Prabowo perlu mempersiapkan sejumlah opsi strategi berdasarkan hasil mana yang akan diperoleh di Pilpres AS nanti.
Pertanyaannya adalah apa yang membuat Kamala dan Trump berbeda dari segi kebijakan luar negeri. Mengapa perbedaan ini bisa saja berpengaruh ke Prabowo? Kemudian, sosok mana yang lebih menguntungkan pemerintahan Prabowo ke depannya?
Trump vs Kamala
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa preferensi kebijakan biasanya bersifat idiosinkratis. Layaknya Aegon II dan Rhaenyra dalam House of the Dragon, keduanyapun memiliki cara-cara yang berbeda dalam berkuasa.
Inipun juga berlaku dalam politik dan pemerintahan di masa kontemporer, termasuk di AS yang memiliki identifikasi yang jelas soal ideologi politik dan arah kebijakan di antara partai-partai politik (parpol) yang ada.
Partai Republik, misalnya, lebih memiliki preferensi kebijakan yang lebih berfokus pada penjagaan komunitas dan nilai mereka. Sementara, Partai Demokrat lebih berorientasi pada kebijakan yang bersifat inklusif.
Pilihan inipun juga tercermin dalam prediksi kebijakan luar negeri yang akan diambil Trump ataupun Kamala bila mereka nantinya menjabat sebagai presiden AS.
Trump, misalnya, dinilai akan menjalankan politik luar negeri yang lebih mengutamakan kepentingan AS sendiri secara domestik. Dalam periode jabatannya sebagai presiden pada 2016-2020, Trump-pun bahkan kerap bersikap secara unilateral, meninggalkan negara-negara kawannya sendiri.
Ini bisa jadi demikian karena latar belakang Trump sebagai pebisnis. Trump melihat politik luar negeri layaknya negosiasi dan transaksi bisnis, yakni dengan mengincar kerja sama yang menguntungkan saja meskipun terdapat kepentingan-kepentingan tak berwujud (intangible) bagi AS seperti dominasi kawasan dan keamanan kawasan.
Sementara, Kamala dinilai akan masih sejalan dengan Joe Biden, yakni tetap mengutamakan hubungan baik dan kerja sama dengan mitra-mitra AS, khususnya dalam menghalau kekuatan Tiongkok dan Rusia di kawasan Asia-Pasifik.
Latar belakang Kamala sebagai jaksa juga menjadikannya sebagai politikus yang menekankan pada prinsip hukum. Mengacu ke tulisan Ian Bremmer yang berjudul “What Is Kamala Harris’s Foreign Policy?” di Project Syndicate, Kamala bahkan lebih mendukung kedaulatan Palestina sebagai negara daripada Biden.
Lantas, bagaimana Indonesia harus menyikapi perbedaan-perbedaan ini? Siapakah yang lebih cocok untuk pemerintahan Prabowo di masa mendatang?
Untuk Prabowo, Lebih Baik Sosok Ini…
Prabowo selalu ingin Indonesia memiliki peran yang lebih aktif dalam menentukan agenda internasional. Ini terlihat dari berbagai pidatonya di banyak kesempatan.
Salah satunya adalah gagasan Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara “pemimpin” bagi negara-negara Selatan (Global South). Artinya, Indonesia ingin secara tidak resmi memiliki peran sebagai negara dominan di antara negara-negara berkembang.
Dalam perspektif konstruktivis di studi Hubungan Internasional (HI), masyarakat internasional berjalan layaknya masyarakat pada umumnya. Setiap anggota masyarakat memiliki peran yang dimainkan.
Dengan menjadi “pemimpin” bagi Global South, Indonesia akan memiliki peran lebih besar untuk menentukan tatanan dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang. Di sinilah peran AS juga masuk bagi kepentingan Prabowo di sini.
Sebagai negara adidaya, AS telah membangun tatanan dunia liberal selama beberapa dekade semenjak Perang Dingin berakhir pada tahun 1990-an. Banyak peraturan, konvensi, norma, hingga rezim internasional selama ini telah dibangun oleh AS dan negara-negara sekutunya.
Bukan tidak mungkin, peran ini yang ingin kembali dimainkan oleh Kamala bila nantinya menjadi presiden AS. Dengan latar belakang jaksa, Kamala ingin AS kembali memimpin sebagai “penegak hukum” di masyarakat internasional, peran yang beberapa tahun ini dinilai hilang di bawah Trump dan Biden.
Selain itu, Kamala juga bukan merupakan politikus generasi Perang Dingin layaknya Biden. Ini membuat Kamala tidak sejalan dengan Biden yang kerap membuat dikotomi antara negara demokratis dan negara otokratis.
Ini membuat Kamala menjadi lebih fleksibel untuk menjalin kerja sama dengan berbagai negara, termasuk negara-negara yang kerap dilabeli otokratis oleh sejumlah pihak.
Bukan tidak mungkin, dua peran yang dimainkan Prabowo dan Kamala nantinya bisa saling mengisi, menciptakan stabilitas yang lebih baik di kawasan Asia-Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)