PSI kembali timbulkan kontroversi, kali ini berjanji menolak praktik poligami dan akan memperjuangkan Revisi Undang-Undang tentang Perkawinan.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]artai Solidaritas Indonesia (PSI) belakangan mendapatkan predikat sebagai partai politik pendatang baru yang penuh kontroversi. Belum lama ini partai besutan Grace Natalie itu menyebut tidak akan mendukung peraturan-peraturan daerah (Perda) yang berasaskan agama. Kali ini mereka kembali menawarkan sebuah kampanye yang tidak lazim dalam iklim politik di Indonesia, yakni tidak akan mendukung praktik poligami.
Dalam pidatonya di acara Festival 11 yang digelar di Jatim Expo International Surabaya beberapa waktu lalu, Grace Natalie tegas menyatakan partai yang dipimpinnya tidak akan pernah mentolerir apalagi mendukung praktek poligami.
Tak hanya itu, PSI juga akan memperjuangkan pemberlakuan larangan poligami bagi pejabat publik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal yang sama pun akan diperjuangkan bagi para aparatur sipil negara (ASN).
Diferensiasi kampanye PSI selain kontroversial namun dianggap positif. Share on XPartai bernomor urut 11 itu mengklaim bahwa banyak perempuan di Indonesia yang memandang bahwa poligami adalah bentuk penindasan dan ketidaksetaraan.
Sebenarnya, dalam kesempatan itu Grace tidak hanya menyampaikan sikapnya terkait poligami, namun ada juga tujuh isu lain yang ditawarkan oleh PSI berkaitan dengan hajat hidup perempuan. Di antaranya adalah mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan mendukung aturan yang memudahkan perempuan bekerja.
Sebagai partai baru, sikap ini perlu ditempuh oleh PSI untuk membuat sebuah perbedaan dengan partai-partai lama yang sudah mapan. Banyak pengamat telah menunjukkan bahwa dalam hal kebijakan dan ideologi, partai-partai di Indonesia nyaris sulit dibedakan.
Satu-satunya keterbelahan (division) yang jelas dalam dunia kepartaian Indonesia adalah soal sebesar apa partai mendudukkan peran ideologi, katakanlah Islam, dalam kehidupan politiknya. Dalam hal ini, PSI yang beberapa kali mengeluarkan kebijakan dengan menentang (challenging) ajaran Islam – seperti Perda Syariah dan Poligami – dalam kadar tertentu menjadi sebuah varian baru sebagai partainya “anak muda” yang progresif.
Namun, tidak hanya sekedar kontroversial, mungkinkah isu yang dibawa oleh PSI kali ini (poligami) bisa jadi strategi untuk membentuk diferensiasi dari partai lain dan dapat menggaet suara?
Tidak Ada Poligami?
Poligami sudah mengakar kuat dalam tradisi budaya di Indonesia. Meski banyak kalangan yang menentangnya, namun pada praktiknya isu ini banyak dilakukan di berbagai daerah dengan menggunakan alasan agama.
Sikap PSI yang menolak poligami tersebut pada akhirnya menjadi kontroversi, termasuk di kalangan internalnya sendiri. Salah satunya datang dari Ketua DPC Kecamatan Cina yang sekaligus caleg Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Nadir Amir yang menilai keputusan partainya tersebut tidak sejalan dengan pandangan pribadinya.
Ia akhirnya memutuskan untuk mundur sebagai pengurus sekaligus caleg PSI. Alasannya karena PSI terlalu jauh ikut campur terhadap adat yang selama ini sudah dianut oleh masyarakat Indonesia.
Dalam Islam sendiri ajaran poligami masih menjadi perdebatan. Jika mengacu pada Surat An-Nisa ayat 3 – yang sering menjadi rujukan praktik poligami – disebutkan: “…Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.”
Dalam ayat tersebut jelas bahwa poligami dapat diukur dengan keadilan yang (harus) diberikan. Namun, ukuran ini sangat sulit didapatkan karena menyangkut pada perasaan dari perempuan, bukan laki-laki. Jadi, jelas bahwa sebenarnya dalam ajaran agama terkandung pesan monogami, bukan poligami.
Menolak poligami tak ada kaitan dengan dukung selingkuh atau zina. Itu logika bengkok.
Ada banyak lelaki yang memilih monogami dan tetap setia. Mereka hidup bahagia dengan satu istri & anak-anak mereka.
— Tsamara Amany Alatas (@TsamaraDKI) December 14, 2018
Menurut Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, praktik poligami di Indonesia cederung meningkat bersamaan dengan menguatnya konservatisme masyarakat di negeri ini. Dalam berbagai pandangan, poligami dianggap melukai perempuan karena pada praktiknya perempuan seringkali “dibohongi” oleh pihak laki-laki atas dasar agama.
Oleh karenanya, poligami bisa dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan keberadaannya banyak ditentang terutama oleh kelompok-kelompok perempuan. Tidak jarang juga praktik ini melahirkan kekerasan, entah itu kekerasan fisik, psikologis maupun ekonomi.
Jika mengacu pada produk Undang-Undang yang berlaku, sebenarnya terlihat bahwa Indonesia menganut asas monogami, sekalipun ada pengecualian. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur seseorang laki-laki hanya boleh memiliki satu istri, namun memperbolehkan beristri kembali dengan syarat sang istri “dianggap” tidak bisa menjalankan kewajibannya, memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan, atau sang istri tersebut tidak dapat memberi keturunan.
Namun, ketentuan tersebut tidak hanya berhenti di situ. Sebab, si laki-laki harus memenuhi beberapa syarat, seperti adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bisa menjamin kehidupan keluarganya, dan ada jaminan suami bersikap “adil”.
Selain itu, Undang-Undang tersebut terdengar masih sangat patriarkis karena semuanya diukur dari penilaian laki-laki.
Secara persepsi, isu tentang poligami masih melahirkan pembelahan terutama di antara kaum laki-laki maupun perempuan, meskipun tidak ada data pasti yang menyebut hal itu. Namun, menurut pengamat hak perempuan dan Islam, Lies Marcoes, masih diterimanya poligami – terutama oleh perempuan – karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan ruang hidup di masyarakat.
Selain itu, minimnya pemahaman terhadap ajaran agama dinilai sebagai salah satu tanda praktik itu masih bisa diterima.
Sementara itu, dalam sebuah studi di Malaysia disebutkan bahwa poligami di Negeri Jiran tersebut membuat keluarga tidak bahagia. Studi yang dilakukan oleh Sisters in Islam (SIS) itu menemukan bahwa 90 persen dari 23 anak-anak keluarga poligami bersumpah tidak akan mempraktikkan poligami, dan dua per tiga dari istri pertama menentang praktik tersebut.
Diferensiasi Isu, Bangun Awareness
Merujuk kondisi tersebut, langkah PSI untuk memperjuangkan legislasi anti poligami merupakan keresahan dari praktik poligami yang cenderung merugikan pihak perempuan.
Seperti diketahui bahwa perempuan adalah salah satu motor suara yang cukup signifikan pada Pemilu mendatang. Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 diperkirakan jumlah perempuan mencapai 50,6 persen dari total pemilih. Perempuan juga punya peran besar untuk mengarahkan anggota keluarganya dalam menentukan pilihan. Oleh sebab itu, memilih isu yang dekat dengan perempuan adalah langkah yang tepat bagi PSI.
Selain itu, langkah PSI tersebut merupakan keberanian untuk membongkar hal yang selama ini dianggap tabu dalam politik. Dengan sikap seperti ini PSI berani masuk ke wilayah yang sensitif dengan pesan yang eksplisit. Apalagi, belum ada partai politik lain yang berani menyuarakan sikap seperti PSI.
Diferensiasi ini penting untuk menghadapi Pemilu 2019 sebab sejalan dengan pendapat Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, isu kontroversi yang dilemparkan oleh PSI akan memperjelas ceruk suara partai tersebut.
Tidak hanya bagi kalangan perempuan, isu ini juga akan dianggap penting bagi kalangan dengan pandangan liberal, moderat, dan anak-anak muda yang progresif.
Sebagai partai baru, langkah PSI sebagai partai baru dianggap memberikan alternatif bagi isu politik yang selama ini menjemukan bagi sebagian masyarakat. Ini sesuai dengan pandangan ilmuwan politik Dan Slater dan Kuskridho Ambardi yang menyebut politik Indonesia saat ini didominasi oleh “kartel” partai yang dicirikan oleh keinginan bersama untuk bagi-bagi jatah jabatan (spoils of office), alih-alih perbedaan ideologi atau kebijakan.
Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik menurun dalam beberapa tahun terakhir.
My first standing ovation for @psi_id *tepuk tangan* pic.twitter.com/6G269481oo
— Yunarto Wijaya (@yunartowijaya) December 11, 2018
Menggeliatnya partai politik baru dengan tawaran ide yang segar seperti PSI ini memang meningkat di tengah kebuntuan politik di berbagai negara. Di Spanyol, pada 2015 lalu muncul Partai Podemos yang memiliki arti “kita bisa”, sebagai kritik terhadap kebuntuan politik yang telah mengadopsi neoliberalisme.
Sebagai partai baru, Podemos dianggap sebagai partai yang akan menggoyang tradisi kepertaian lama yang didominasi oleh Partai Rakyat (PP) yang konservatif sebagai penguasa dan Partai Pekerja Sosialis Spanyol (PSOE) yang merupakan partai oposisi sayap kiri.
Podemos juga menjadi lebih partisipatif dan bergerak menuju demokrasi sosial. Meskipun membawa spektrum kiri, Podemos cenderung menjauh dari agenda revolusioner ala kiri-jauh. Beberapa orang menilai hadirnya Podemos akan menggantikan PSOE di suatu hari.
Bagi para pendukungnya, kehadiran Podemos dapat menjadi jawaban atas kekhawatiran mereka akan Spanyol yang menghadapi masalah kesejahteraan, ketidaksetaraan dan makin menurunnya jumlah kelas menengah, tentunya karena masalah itu belum dapat diatasi oleh dua partai yang sudah ada. Sebagai partai di spektrum kiri, program-program Podemos pun cenderung progresif.
Strategi ini nyatanya melejitkan nama Podemos di kalangan masyarakat luas. Surat kabar El Pais menyebutkan Podemos sudah memperoleh 22 persen dukungan di awal kemunculannya.
Dalam konteks di Indonesia, meskipun dalam ukuran elektabilitas PSI belum sebesar dengan Podemos, namun melemparkan isu strategis dan progresif merupakan langkah awal yang tepat untuk membangun awareness atau kesadaran publik.
Dalam konteks isu poligami, menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, hal ini akan menarik setidaknya bagi kalangan berpendidikan dan perempuan. Ditinjau dari pemasaran politik, janji yang disampaikan oleh PSI bisa dikatakan sesuai dengan permasalahan nyata di masyarakat.
Sebagai partai yang berhaluan progresif, positioning atau penempatan posisi partai berlambang bunga mawar ini jelas, sehingga tidak menimbulkan kegamangan pemilih. Pada titik tertentu, PSI telah menghidupkan kreatifitas dan inovasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh ahli ekonomi politik Joseph Schumpeter.
Tentu pertanyaannya adalah sejauh mana PSI akan konsisten dengan janji kampanyenya tersebut? Tunggu saja hingga partai ini lolos ke parlemen. (A37)