Prabowo dan timnya mengeluarkan ‘buku biru’ untuk sosialisasi kampanye. Menariknya, konten buku itu memuat tanya jawab isu sensitif yang sering menghantam Prabowo.
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]i balik panasnya iklim politik beserta keriuhan yang menyertainya, sering muncul pula sajian-sajian yang cukup menggelitik. Salah satu pihak yang kerap menghasilkan ide-ide nyeleneh ini adalah Prabowo Subianto dan pasangannya, Sandiaga Uno.
Prabowo maupun Sandi tak jarang menunjukkan sesuatu yang tidak biasa sebagai bagian dari kampanyenya. Dalam politik elektoral saat ini, kreativitas kampanye diperlukan untuk menarik simpati masyarakat dan meningkatkan elektabilitas.
Menariknya, langkah kampanye berikutnya yang digunakan oleh kubu Prabowo adalah melalui booklet atau buku saku. Memang buku saku adalah hal yang biasa dalam kampanye. Namun, yang tidak biasa adalah konten yang disajikan dalam buku saku tersebut.
Dalam buku sakunya tersebut, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi mencantumkan perihal pertanyaan-pertanyaan yang sering dipertanyakan oleh publik atau FAQ (Frequently Asked Question). Lebih-lebih FAQ ini berhubungan dengan persoalan sensitif yang tiap gelaran Pilpres selalu menjadi bahan kampanye lawan baik negative maupun black campaign.
Tentu saja, dalam kadar yang tidak sedikit, publik terpengaruh dengan isu-isu yang beredar tersebut. Apalagi, pemilih di Indonesia masih melihat sisi personalitas sebagai poin utama dan isu-isu sensitif tersebut memang berhubungan dengan aspek personalitas.
Salah satunya adalah pada Pilpres 2014 lalu, tidak sedikit anggapan bahwa isu Prabowo tidak memiliki “anu” adalah sebuah kebenaran. Selain itu, isu terkait penculikan terhadap aktivis 1998 selalu menjadi momok.
Hal ini bisa dilihat pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2014, yang menyimpulkan bahwa 51,5 persen publik percaya jika Prabowo terlibat penculikan 1998. Selain itu, 56,8 persen publik yang mendengar keterlibatan Prabowo dalam kasus itu mempertimbangkan niatnya untuk mendukung sang jenderal.
Oleh karenanya, pada titik ini, penerbitan buku saku yang dikenal dengan sebutan ”Buku Biru” tersebut bisa dipahami. Namun, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, kenapa Prabowo beserta timnya memilih buku saku sebagai cara berkampanye? Lalu, seberapa besar pengaruh buku tersebut terhadap perubahan persepsi publik?
Booklet, Marketing Politik Prabowo
Buku biru nampaknya didesain secara ringkas sebagai buku panduan utama kampanye tim Prabowo-Sandi. Di sampul depan buku ini ada tulisan “Adil makmur bersama Prabowo Sandi”, tagline dalam kampanye keduanya selama ini.
Dalam buku tersebut, terdapat delapan bagian yang terdiri dari visi dan misi, struktur BPN, riwayat hidup Prabowo, riwayat hidup Sandi, alasan memilih Prabowo-Sandi, FAQ Prabowo dan Sandi, dan testimoni.
Selain itu, pada bagian riwayat hidup, buku itu juga mencantumkan silsilah keluarga dari Prabowo juga Sandi. Bahkan, garis keturunan Prabowo ditarik hingga ke Kerajaan Majapahit, sementara Sandi ditarik hingga ke Sultan Botuhihe.
'Buku Biru' cara terakhir Prabowo bersihkan namanya dari isu negatif. Share on XPada bagian FAQ, terdapat 36 pertanyaan beserta jawabannya yang selama ini sering ditanyakan terkait Prabowo. Pertanyaan-pertanyaan itu termasuk pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti tudingan penculikan, pemecatannya dari TNI, hubungannya dengan Titiek Soeharto, hingga pertanyaan apakah Prabowo memiliki “anu”. Isu terakhir itu memang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan bahwa sang jenderal kehilangan alat kelaminnya saat menjalani tugas tentara di Timor Leste.
Sementara untuk Sandi, total ada 11 pertanyaan yang sering ditanyakan kepada cawapres asal Riau tersebut, misalnya seperti tudingan pencucian uang, janji saat menjadi wagub DKI, hingga isu selingkuh dengan salah satu artis.
Tentu saja, yang menjadi daya pikat dari FAQ itu adalah yang berhubungan dengan Prabowo. Sebab, di situlah gaung dari buku biru itu sebenarnya ingin dituju.
Dalam sebuah artikel di The Sydney Morning Herald, yang ditulis oleh James Massola, Amilia Rosa dan Karunie Rompies menyebutkan bahwa Prabowo menempuh cara tidak biasa lewat buku saku untuk menjelaskan kepada publik isu-isu sensitif tersebut.
Jika ditarik ke belakang, cerita soal penggunaan buku sebagai media kampanye bukanlah hal baru dalam dunia politik. Di Amerika Serikat (AS), penggunaan booklet merupakan salah satu cara yang digemari oleh politisi. Barack Obama menjadi salah satu politisi itu.
Pada Pilpres 2012, Obama menggunakan booklet yang berisi program-program kampanye untuk kepentingan kampanye di daerah swing states. Melalui buku saku itu, Obama mencoba menjelaskan rencana kerja untuk periode berikutnya di wilayah yang belum jelas loyalitasnya, semisal di Ohio, Virginia atau New Hampshire.
Menurut Direktur Utama dari Inovation Protocol, Sasha Strauss, penggunaan booklet penting dalam strategi marketing politik. Menurutnya, buku saku ibarat brosur yang didapat dalam sebuah acara. Meski tidak selalu dibaca, namun keberadaannya akan menjadi pengingat (physical reminder) bagi masyarakat. Artinya, potensi keberadaan buku biru di tengah-tengah publik akan sangat mudah diakses dari lintas kalangan.
Selain itu, penggunaan buku saku dianggap bisa menggantikan bentuk kampanye yang ada pada media daring, serta bisa menjangkau pemilih di akar rumput, terutama kelompok-kelompok yang belum melek teknologi, namun mudah terpapar isu.
Dalam politik, cara meraih pemilih sangat mirip dengan yang terjadi dalam dunia marketing. Branding adalah hal penting dalam proses jualan tersebut. Dalam konteks buku biru, perbedaan antara Obama dengan Prabowo adalah pada konten yang disajikan. Obama memasukkan strateginya untuk mencapai target ekonomi, sementara Prabowo memilih untuk menyampaikan klarifikasi seputar mitos-mitos tentang dirinya.
Melalui metode seperti ini, bisa jadi langkah Prabowo menerbitkan buku biru memang ditujukan untuk pemilih akar rumput yang selama ini selalu mendapatkan informasi simpang siur soal mitos Prabowo.
Dalam buku panduan Political Campaign Planning Manual yang diterbitakan oleh National Democratic Institute for International Affairs juga turut disebutkan bahwa kampanye yang tidak bertele-tele atau to the point akan memberikan pemahaman yang meyakinkan kepada calon pemilih. Sebab informasi yang diberikan akan langsung bisa diterima dengan baik tanpa ada distraksi yang berarti. Hal ini sangat mungkin bisa dicapai lewat buku biru Prabowo-Sandi.
Sangggup Bersihkan Nama?
Meskipun booklet berhasil membawa Obama ke tampuk pemerintahannya yang kedua, namun hasil dari cara yang sama yang kini dilakukan oleh Prabowo masih bisa dipertanyakan. Belum ada jaminan pasti bahwa buku biru bisa mengklarifikasi mitos-mitos dalam diri Prabowo.
Apalagi, jika masyarakat cenderung kritis untuk mempertanyakan kembali jawaban-jawaban yang diberikan dalam buku biru itu.
Sebab, jika diperhatikan, jawaban-jawaban dalam buku tersebut cenderung tidak menjawab pertanyaan, malah menimbulkan pertanyaan baru. Misalnya, terkait dengan apakah Prabowo memiliki “anu”, dalam buku itu dijawab bahwa jika Prabowo tidak punya “anu”, lantas bagaimana Prabowo bisa memiliki anak?
Seperti diketahui anak Prabowo dari mantan istrinya (Titiek), Didit Prabowo kini telah berusia 34 tahun dan tinggal di Perancis.
Meski tidak ada yang tahu pasti soal isu tersebut, namun bagi masyarakat yang cukup kritis akan mempertanyakan kembali keabsahan jawaban tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Hermawan Sulistyo, bahwa isu Prabowo tidak memiliki “anu” bermula ketika terjadi insiden di Timor Leste tahun 1998, yang mana saat itu jelas Didit sudah lahir.
Issue anunya punah karena ditawan jaman Timor Timur, memang sudah lama jadi bahan bisik bisik, tapi tak menduga hal ini bakal jadi materi FAQ di buku biru https://t.co/IvvpLO5PiY
— Iman Brotoseno (@imanbr) December 18, 2018
Artinya, selain mengedarkan buku saku, tim Prabowo sebenarnya perlu menyampaikan secara verbal terkait dengan klarifikasi isu tersebut, sehingga pertanyaan-pertanyaan lanjutannya juga bisa terjawabi.
Sebenarnya isu miring dalam Pilpres tidak hanya terjadi pada Prabowo. Jokowi juga tidak hanya sekali dua kali menjadi sasaran serangan black campaign. Sang petahana itu kerap dituduh sebagai anggota PKI, beragama Kristen, atau keturunan Tionghoa.
Namun, berbeda dengan Prabowo, Jokowi lebih memilih untuk mengklarifikasi secara langsung di berbagai kesempatan. Jokowi bahkan tidak segan menunjukkan kegeramannya bahkan ingin “menabok” orang-orang yang gemar memfitnah dirinya.
Memang, Prabowo beberapa kali sudah mencoba menjawab pertanyaan seputar isu sensitif tersebut secara langsung, misalnya terkait dengan keterlibatan penculikan. Namun, seringkali kesempatan itu disampaikan dalam wawancara dengan kantor berita atau saluran resmi lainnya. Belum pernah Prabowo menyampaikan secara terbuka di hadapan publik seperti yang dilakukan oleh Jokowi.
Dalam kadar tertentu, mungkin saja Prabowo tidak ingin melakukan cara Jokowi itu karena berkenaan dengan citra dirinya. Mengklarifikasi dengan buku saku selain lebih elegan juga menunjukkan keunikan tersendiri, serta jauh lebih “aman”. Dengan keunikan ini publik bisa lebih menerima penjelasan tanpa harus melihat Prabowo marah-marah.
Apalagi, menurut pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, isu yang secara musiman menyerang Prabowo ini masih efektif untuk menyerang kubunya. Sebab, Prabowo dan tim suksesnya tidak pernah benar-benar serius menjawab isu tersebut.
Oleh karena itu, dengan cara menyebarkan buku biru, hal ini bisa menjadi langkah terakhir Prabowo untuk membersihkan namanya dari isu negatif. (A37)