Banyak anggota DPR aktif dan selebriti memutuskan nyaleg via Partai Nasdem.
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]ursa transfer musim panas liga sepakbola top Eropa dihebohkan dengan kepindahan Cristiano Ronaldo dari Real Madrid. Mega bintang asal Portugal tersebut pergi meninggalkan klub yang telah ia bela sembilan musim untuk memulai petualangan baru di Italia bersama Juventus.
Ternyata, bursa transfer tidak hanya berlaku dalam urusan sepakbola saja. Dalam politik, transfer politisi juga terjadi di negeri ini. Pelaku utama dari transfer politisi tersebut adalah partai Nasdem. Jelang Pemilu 2019, partai yang bermarkas di Gondangdia, Jakarta Pusat tersebut kebanjiran nama-nama caleg baru.
Nasdem terlihat merekrut banyak nama yang memiliki popularitas mapan di mata masyarakat. Tercatat, beberapa anggota DPR aktif memilih meninggalkan partai lamanya dan bergabung dengan partai yang dipimpin Surya Paloh tersebut. Selain itu, partai ini juga merekrut caleg-caleg dengan latar belakang selebriti.
Nasdem tampak begitu gesit dan agresif merekrut nama-nama tenar dalam rangka Pileg 2019. Mengapa partai ini begitu gencar merekrut tokoh-tokoh yang sudah cukup mapan di mata masyarakat? Lalu, apa pengaruh strategi ini bagi kemenangan mereka?
Pola Rekrutmen Gerakan Perubahan
Sebagai partai baru, tidak mudah bagi Nasdem mempersiapkan kader mereka untuk menghadapi pesta demokrasi. Infrastruktur partai mereka memang mau tidak mau banyak didukung oleh partai yang semula menjadi “induk” mereka, Partai Golkar.
Berdasarkan kondisi tersebut, banyak posisi di internal partai yang diisi oleh politisi-politisi mapan jebolan partai tersebut. Nama-nama seperti Surya Paloh, Ferry Mursyidan Baldan, atau Enggartiasto Lukita menjadi tulang punggung utama partai ini saat pertama kali berdiri.
Untuk melengkapi daftar caleg mereka, Nasdem tampak mengambil langkah yang tidak biasa jika dibandingkan dengan partai-partai yang sudah lebih dahulu lahir. Sistem yang mereka lakukan dalam merekrut calon legislator tampak mengarah ke open recruitment atau rekrutmen terbuka.
Di atas kertas, jika merujuk pada AD/ART partai ini, jenjang hierarkis memang ada. Merujuk pada aturan yang mereka buat, mereka memiliki jenjang pengkaderan mulai kader tunas, kader dasar, kader madya, hingga kader paripurna. Meski begitu, hal ini tampak seperti diabaikan untuk urusan pencalegan atau untuk urusan lainnya.
Nasdem amat terkenal dengan langkahnya menarik kepala daerah atau pejabat dan bekas pejabat yang tengah memiliki masalah dengan partai ataupun dengan hukum. Nama-nama seperti Syahrul Yasin Limpo atau Saan Mustopa tiba-tiba saja menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) padahal baru saja berpindah partai.
Hal serupa berlaku dalam urusan Pemilu baik di tingkat Pilkada atau Pileg. Nyaris sulit untuk menemukan kader asli binaan Nasdem yang menjadi kandidat jagoan partai ini. Selalu ada nama-nama dari eksternal yang tiba-tiba menjadi jagoan utama partai yang mengusung slogan Gerakan Perubahan ini.
Kondisi ini tergolong sangat kontras jika dibandingkan dengan partai yang memiliki kaderisasi yang lebih berjenjang. Salah satu contoh dari sistem kaderisasi dengan jenjang yang jelas adalah PKS. PKS memiliki hierarki yang jelas bagaimana seorang kader dapat melaju menjadi calon legislator.
Jenjang pengkaderan di PKS tergolong amat ketat. Hampir tidak pernah ditemukan orang yang baru bergabung tiba-tiba menjadi petinggi partai atau menjadi caleg nomor urut satu.
Strategi Baru Transfer Caleg
Dikarenakan tidak memiliki alur berjenjang atau organisasi partai yang cukup kuat, maka Nasdem harus beralih pada sistem rekrutmen lain. Ada baris-baris yang harus mereka penuhi di dalam surat suara sehingga mereka harus mengandalkan cara yang berbeda dengan partai lain.
Ada dua cara instan yang akhirnya ditempuh oleh partai ini. Kedua cara itu adalah dengan memanfaatkan party switching dan juga merekrut artis. Sejauh ini, transfer caleg ala Nasdem ini terbukti sukses di mana mereka menjadi partai yang paling banyak mengirim bakal caleg saat masa pendaftaran.
Perpindahan partai atau party switching adalah hal yang lazim terjadi di berbagai penjuru dunia. Ada beragam penyebab seorang anggota partai yang sedang menjadi pejabat publik memutuskan menyeberang. Motivasi ini dapat bersifat elektoral maupun material.
Dalam pandangan Scott W. Desposato, partai politik tidak hanya bermanfaat bagi demokrasi, tetapi juga bagi ambisi politik figur tertentu. Parpol dapat memberikan bantuan massa kampanye, dukungan finansial, dan jenama (branding). Partai dapat membantu meningkatkan karir politik seseorang dan dapat memperbesar kemungkinannya mendapatkan “pork” atau dana dari pemerintah.
Hal itu sepertinya ditangkap oleh Partai Nasdem. Mereka tampak memanfaatkan keinginan para kader-kader partai lain yang mengharapkan karirnya bisa lebih menanjak. Mereka juga tampak tidak ragu memberikan bantuan logistik dan finansial kepada kader-kader partai lain agar mau berpindah perahu dalam bursa transfer caleg ala Nasdem.
Mantan kader PPP Okky Asokawati misalnya mengakui bahwa PPP tidak bisa memberikan bantuan miliaran rupiah seperti Nasdem. Hal senada diungkapkan oleh mantan kader Hanura Dadang Rusdiana yang menyebut bahwa urusan pemeliharaan dan pembiayaan kini dipikirkan oleh partai Nasdem.
Nasdem juga menjalankan perekrutan selebriti sebagai salah satu strategi mereka. Perlu diakui, para selebriti memang menarik perhatian dan suara dari masyarakat. Meski begitu, jika tidak benar-benar berlatar aktivisme atau akademik mumpuni, para selebriti ini seperti hanya menjadi bagian dari “pertunjukan” partai-partai yang mendukungnya.
Dalam pandangan John Seery, para selebriti ini dianggap sebagai sidekick atau pelengkap di dalam sebuah kampanye politik. Kehadiran mereka kerapkali hanya untuk menarik perhatian massa atau meningkatkan suara saja. kehadiran selebriti sebagai sidekick ini dapat memiliki beberapa bentuk.
Menurut Seery, platform elektoral yang dipahami para selebriti ini tergolong tipis atau bahkan hampa. Meski begitu, para pemilih tampak tidak peduli dengan hal tersebut. Oleh karena itu, para selebriti yang terbiasa “berakting” dalam kampanye, kini dipaksa untuk berakting dalam lapangan yang lebih luas yaitu jabatan publik.
Untuk melancarkan dua strategi rekrutmen tersebut, diberitakan bahwa Nasdem rela menggelontorkan dana miliaran untuk melabuhkan nama-nama tenar ke kubu mereka. Beredar selentingan di DPR, partai-partai lain sedang berusaha ekstra keras untuk menahan kadernya agar tak tergoda lambaian fulus dari Nasdem.
Kondisi ini diungkapkan misalnya oleh Sekjen PAN Yandri Susanto. Menurutnya ada aliran dana 2 miliar kepada salah satu kadernya agar mau lompat pagar ke Nasdem. Meski hal ini belakangan dibantah Nasdem, sulit untuk percaya ada banyak tokoh tenar yang mau terlibat dalam transfer caleg ala Nasdem jika tidak ada dorongan yang sangat kuat, termasuk dalam hal finansial.
Berharap Suara Melimpah
Urusan rekrutmen dan kaderisasi berjenjang tampaknya bukan menjadi persoalan yang dianggap penting oleh Nasdem. Jika bukan itu, lalu apa yang menjadi tujuan utama partai yang bermula dari ormas ini?
Jika diperhatikan, Nasdem dapat dikategorikan ke dalam catch-all party pada tipologi partai politik yang dibuat oleh Richard Gunther dan Larry Diamond. Karakteristik utama dari partai seperti ini adalah ketidakjelasan ideologi dan platform dengan tingkat organisasi yang tidak terlalu mengakar.
Partai yang jatuh pada tipologi tersebut umumnya hanya berusaha untuk menarik perhatian dan suara masyarakat dari berbagai jenis kalangan. Oleh karena itu, tujuan utama dari partai ini tidak lain hanya mendapat suara sebanyak-banyaknya agar dapat kembali bertengger di parlemen.
Nasdem dalam merekrut artis agak berbeda. Selain memberikan bantuan natura mereka juga menjanjikan sejumlah komitmen pic.twitter.com/7rLEEajuft
— Jalan Ketiga (@panca66) July 18, 2018
Usaha jor-joran Nasdem ini terbilang rasional jika merujuk pada berbagai hasil survei. Partai yang didirikan Surya Paloh ini diprediksi oleh beberapa lembaga survei tidak akan lolos ke Senayan di 2019 nanti.
Kondisi tersebut terungkap misalnya dalam survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Dalam survei tersebut, Nasdem hanya mendapatkan perolehan suara sebesar 2,3 persen. Angka ini jelas sangat jauh dari parliamentary threshold yaitu sebesar 4 persen.
Transfer caleg dengan popularitas tinggi jelas diharapkan dapat membantu mendongkrak perolehan suara partai ini. Di atas kertas, nama-nama tenar dapat membantu mereka untuk menambah perolehan suara yang diramalkan oleh lembaga survei. Dengan begitu, mereka tetap dapat eksis lebih lama di parlemen.
Di luar itu, bisa saja ada motivasi lain mengapa partai ini begitu jor-joran melakukan transfer caleg. Jika benar isu membayar itu terjadi, maka dana yang mereka keluarkan terlampau kecil jika murni hanya berharap suara saja.
Jika merujuk pada pendapat yang diungkapkan Desposato, kader yang melakukan party switching dapat mendapatkan pork dari langkahnya tersebut. Bukan tidak mungkin Nasdem juga akan kecipratan pork atau dana lain dari kader mereka di Senayan – termasuk juga di eksekutif.
Terlepas dari apapun, menarik untuk melihat buah dari strategi transfer caleg ini. Apakah mereka bisa mendapat suara yang maksimal? Ataukah cita-cita mereka untuk bertahan di DPR akan kandas? Kita lihat saja nanti. (H33)