Perjudian Partai NasDem dengan mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) tampak kurang menjanjikan saat seolah berjuang sendirian menggagas safari politik sang mantan Gubernur DKI Jakarta. Namun, perjuangan Partai NasDem kiranya hanya bagian dari “transaksi persepsi” yang tetap menguntungkan mereka, namun merugikan bagi Anies. Benarkah demikian?
Euforia pencapresan Anies Baswedan oleh Partai NasDem seakan-akan mengarah pada tendensi monoton dikarenakan tak mendapat respons dukungan dari partai politik (parpol) lain.
Tidak adanya kejelasan dari Partai Demokrat dan PKS untuk membangun koalisi tampak membuat Partai NasDem berjuang sendirian dalam menggagas safari politik Anies ke sejumlah daerah belakangan ini.
Menariknya, Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengafirmasi narasi pencapresan Anies yang membosankan dan kurang greget.
Tetapi, Kamhar mengatakan hal itu dikarenakan partainya belum ikut turun gunung meramaikan aplaus politik bagi Anies.
“Tentu utamanya karena belum ada deklarasi Koalisi Perubahan bersama Partai Demokrat dan PKS,” begitu kata Kamhar merespons stagnasi kampanye dini eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu.
Dia tak menyanggah bahwa analogi “pengemasan” Anies adalah sebagai antitesis pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berhubung Partai NasDem masih bagian dari pemerintah, Kamhar menyiratkan bingkai politik Anies di 2024 baru akan benar-benar terlihat saat Partai Demokrat dan PKS ikut berkampanye.
Di kesempatan yang berbeda, Juru Bicara (Jubir) DPP PKS Muhammad Kholid menyiratkan partainya hingga kini belum mendeklarasikan jagoan di Pilpres 2024.
Mengutip pernyataan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf AL Jufri, Kholid mengatakan keputusan menentukan capres yang didukung PKS akan disampaikan tepat sebelum berganti tahun 2023 nanti.
Tren menurunnya euforia pencapresan Anies plus tertundanya sokongan politik dari Partai Demokrat dan PKS tentu menimbulkan tanya sederhana, yakni mengapa itu bisa terjadi?
Bukan Incar Pilpres?
Muasal jawabannya mengenai monotonnya narasi safari politik Anies agaknya dapat ditujukan kepada Partai NasDem. Sebagai entitas politik pertama yang getol mengusung Anies, Partai NasDem kiranya tentu datang dengan tujuan spesifik di kontestasi elektoral 2024.
Satu hal yang agaknya perlu dipahami disini adalah bahwa logika organisasi – dalam hal ini parpol – memiliki disimilaritas dengan logika individu. Francis Fukuyama dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century menjelaskan esensi tersebut dan kiranya dapat digunakan untuk memahami logika dan tujuan sebenarnya dari Partai NasDem mengusung Anies.
Mencuplik teori dari cendekiawan politik Amerika Serikat (AS) Herbert Simon tentang satisficing, Fukuyama menjelaskan tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, namun muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.
Menurut Fukuyama, itu terjadi karena individu-individu dalam organisasi memiliki rasionalitas yang terbatas. Ini tidak lain disebabkan oleh individu yang cenderung memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.
Ketika sampai pada perspektif tersebut, pintu masuk ke ruang interpretasi mengenai tujuan Partai NasDem tampaknya mulai terbuka. Itu dapat berangkat dari variabel berupa pernyataan kunci elite mereka sebelum mengusung Anies.
Dalam sebuah agenda di Lembang, Jawa Barat yang dihadiri langsung oleh Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh, beserta Ketua Bappilu Prananda Paloh pada September lalu, Ketua DPW Jabar Saan Mustopa menggelorakan intensi partainya adalah harus mengalahkan Partai Golkar di Pemilu 2024.
Bagaimanapun, sejak era Reformasi, partai berlambang pohon beringin itu memang tak pernah absen dari dua besar perengkuh suara terbanyak di level legislatif nasional. Oleh karenanya, pantas jika gelora mengalahkan Partai Golkar dikemukakan.
Satu bulan setelah pekikan lantang Saan untuk mengalahkan Partai Golkar, Anies secara resmi dideklarasikan sebagai bakal capres 2024 oleh Surya Paloh.
Dua variabel itu tampaknya memiliki korelasi positif dalam sebuah konsep tenar dalam sebuah proses politik, yakni coattail effect atau efek ekor jas.
Dalam jurnal berjudul The Coattail Effect in Multiparty Presidential Election: Evidence from Indonesia yang ditulis oleh Djayadi Hanan dan Deni Irvani, dijelaskan coattail effect eksis dalam sistem politik multipartai di Indonesia di tiap edisi pemilu, paling tidak sejak pemilihan langsung pada 2004.
Djayadi dan Deni menegaskan parpol yang mengusung capres dengan elektabilitas mumpuni dapat merengkuh dampak elektoral positif di level legislatif.
Tak menutup kemungkinan, gerak cepat deklarasi Anies adalah demi menyelaraskan agresivitas Partai NasDem untuk mengalahkan Partai Golkar yang begitu “jumawa” di legislatif, bahkan tanpa mengusung capres maupun cawapres internal.
Safari politik Anies yang digagas “sendirian” oleh Partai NasDem ke kantong suara potensial di sejumlah daerah belakangan ini kemungkinan tak terlepas dari kepentingan elektoral mereka sendiri sebagai sebuah hal yang utama, bukan murni demi kemenangan Anies.
Ihwal yang kemudian meninggalkan gelagat “transaksi persepsi” yang hingga detik ini kiranya lebih menguntungkan bagi Partai NasDem karena menjadi entitas penabuh genderang Anies di beberapa daerah.
Karena bagi Partai NasDem, apabila perjudiannya tak berbuah hasil kemenangan Anies, mereka masih bisa bergabung dengan koalisi pemenang nantinya. Sebuah hal yang begitu lumrah dalam politik Indonesia.
Itu pula yang kemudian tampak membuat narasi safari politik Anies seolah monoton dikarenakan lebih terlihat seperti panggung perjuangan Partai NasDem di ceruk suara potensial level legislatif, baik kota/kabupaten, provinsi, maupun nasional.
Akan tetapi, dengan mengincar potensi menggiurkan suara legislatif, mengapa Partai Demokrat dan PKS tak ikut “menumpang” manuver gercep Partai NasDem?
Anies Sedang Diuji?
Konteks pencapresan Anies tampaknya harus berkaca pada apa yang terjadi pada Panglima TNI ke-19 Gatot Nurmantyo jelang Pilpres 2019 lalu. Saat itu sejumlah parpol menaruh simpati politik kepada Gatot, salah satunya adalah PAN.
Pada Mei 2018, Ketum PAN Zulkifli Hasan seolah merestui Gatot sebagai capres saat bersua mantan Panglima Kostrad itu di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Pemberitaan kala itu begitu deras mengabarkan gerak-gerik PAN begitu aktif untuk mempromosikan Gatot, meski tak se-gercep Partai NasDem saat mengusung Anies.
Kala itu, Gatot seolah diberikan waktu dan semacam ujian oleh PAN untuk “memainkan” isu. Sayangnya, dia hanya mampu memainkan isu dan relevan di media dalam beberapa pekan saja sebelum meredup. Alhasil, PAN pun urung mengusungnya sebagai capres.
Pemberian waktu dan ujian tersebut agaknya dilakukan PAN (dalam konteks Gatot) dan Partai Demokrat-PKS (dalam konteks Anies) dengan mengadopsi strategi marketing, apakah sang kandidat cukup menjual di hadapan konstituen. Termasuk kalkulasi kontribusi elektoral atau coattail effect-nya bagi partai.
Sederhananya, sebuah produk tentu akan menjalani tes atau uji sebelum dijual ke pasar, yakni apakah produk tersebut cukup menjual, laku, atau sebaliknya.
Bagi Partai Demokrat dan PKS, Anies pun tampaknya masih “diuji” apakah dirinya cukup menjual, paling tidak hingga beberapa waktu sampai Anies tampak relevan dan konsisten secara politik.
Hal itu yang kemungkinan membuat kedua parpol itu belum turun gunung meramaikan genderang politik Partai NasDem, selain faktor spesifik lain seperti tarik-menarik jatah serta daya tawar politik.
Akan tetapi, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi semata. Satu hal yang pasti, konsistensi apakah Anies akan terus relevan sebagai capres masih tanda tanya setelah dirinya tak memiliki panggung politik. (J61)