Site icon PinterPolitik.com

Trah Jokowi-Gibran Sebatas di Solo?

Trah Jokowi-Gibran Sebatas di Solo

Presiden Joko Widodo dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Antara)

Hasil keunggulan hitung cepat Gibran di Pilkada Solo yang cukup meyakinkan, tak menutup kemungkinan akan membuka jalannya untuk menapaki jejak kesuksesan karier politik sang ayah, Presiden Jokowi. Lantas, mungkinkah Gibran melakukan hal tersebut?


PinterPolitik.com

Euforia enggan diekspresikan, baik oleh tim pemenangan maupun sang Calon Wali Kota (Cawalkot) Solo, Gibran Rakabuming Raka walau sukses unggul telak dalam perolehan hitung cepat sejumlah lembaga di ajang Pilkada 2020.

Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa, memastikan tak ada selebrasi berlebihan kemenangan hitung cepat dan lebih memilih menunggu penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo.

Yang menarik, kemenangan hitung cepat yang berada di kisaran 86 sampai 87 persen itu dianggap meleset jauh dari target. Ketua Badan Tim Pemenangan Gibran-Teguh, Putut Gunawan menyebut target 92 persen yang tidak tercapai akan menjadi bahan evaluasi tersendiri nantinya.

Di luar konteks itu sendiri, kemenangan Gibran yang nyaris pasti juga sekaligus akan menorehkan catatan tersendiri bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang notabene merupakan ayah Gibran.

Presiden Jokowi akan menjadi Kepala Negara aktif pertama dalam sejarah yang memiliki anak sebagai kepala daerah, dalam hal ini Wali Kota. Tentu sebuah catatan yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan apakah harus dibanggakan atau justru sebaliknya.

Hal itu mengingat bahwa preseden politik dinasti yang cenderung minor telah membayangi keikutsertaan Gibran di Pilkada 2020. Ditambah, dengan partisipasi menantu Presiden Jokowi Bobby Nasution yang juga sementara unggul di Pilkada 2020 edisi Kota Medan.

Menurut seorang dosen tamu di Institut Asia, University of Melbourne, Abdil Mughis Mudhoffir, kini keluarga Jokowi ikut bergabung di dalam klub dinasti politik yang sudah ada. Mereka berebut kekuasaan dan sumber daya yang ada.

Masuknya dua anggota keluarga Presiden disebut menunjukkan kondisi politik di Indonesia akan tetap sama, atau bahkan lebih buruk. Hal ini berkaca pada dinasti dan nepotisme yang mungkin menjadi suatu hal baru yang dianggap normal.

Lantas pertanyaannya, mengapa tajuk atau frasa dinasti politik menjadi begitu dikhawatirkan dalam iklim politik Indonesia kekinian? Apakah kecenderungan itu selalu mutlak bermakna negatif dalam realita politik dan pemerintahan tanah air?

Gibran, Family Power Baru?

Tak dapat dipungkiri bahwa preseden nepotisme menjadi gambaran besar dari kekhawatiran dan ekses minor khalayak atas pencalonan Gibran di Pilkada 2020. Ihwal yang juga kiranya tak akan begitu saja sirna, utamanya setelah Gibran berpeluang besar memenangkan kontestasi elektoral di Solo.

Sebuah tulisan di majalah The Economist bertajuk Dynasties, menyodorkan sebuah konsep family power dalam fenomena dinasti politik, yang nyatanya dalam realita politik dan pemerintahan di berbagai belahan dunia, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Di ranah politik level atas di Amerika Serikat (AS), “marga” Clinton dan Bush menjadi dua sampel yang tentu tak bisa dilewatkan. Sementara Justin Trudeau, menggenggam estafet tak langsung dari sang ayah, Pierre, di Kanada.

Belum cukup? Terdapat pula sampel siklus family power di negara-negara Asia Tengah yang disebut-sebut merupakan “terirori kekeluargaan”. Begitu pun dengan para pemimpin di Jepang, Korea Selatan, Filipina, hingga Bangladesh, yang kesemuanya terkait dengan para mantan penguasa politik.

Signifikansi “keluarga yang berkuasa” itu disebut sedikit mengejutkan para teoretis politik modern. Hal ini berkaca pada kecenderungan politik dinasti yang dikatakan seharusnya memudar ketika rakyat telah berhak atas suara dan dapat menentukan preferensi politiknya.

Namun hal tersebut tak selalu terjadi dan disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satu yang paling prominen ialah banyak benefit dari family power dalam politik yang terbentuk ternyata bertahan cukup lama. Hal ini terjadi ketika beberapa pionir dinasti berhasil membangun “koneksi positif” yang konstruktif dalam konteks dukungan politik padanya.

Politik dinasti memiliki perpaduan yang kuat antara branding dan koneksi politik personal. Yang mana hal itu kemudian bermuara pada konsekuensi yang mau tak mau melanggengkan preseden family power.

Pada konteks Indonesia sendiri family power sesungguhnya bukanlah barang baru. Hal ini misalnya disoroti oleh Jemma Purdey, Edward Aspinall, dan Muhammad Uhaib As’ad dalam Understanding Family Politics.

Ketiganya menemukan kecenderungan family power yang begitu kuat di Indonesia, terutama dalam skala kewilayahan. Disebutkan dua yang paling terkenal di Indonesia adalah keluarga Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, dan Syahrul Yasin Limpo, mantan Gubernur Sulawesi Selatan yang kini duduk di jajaran kabinet.

Keduanya telah menyebarkan “tentakelnya” secara luas, memegang posisi bupati di provinsi terkait, sejumlah kursi legislatif di parlemen kabupaten maupun kota, provinsi serta nasional, plus menjalankan bisnis keluarga.

Yang menjadi menarik pada konteks Gibran ialah, Presiden Jokowi seolah membangun sebuah family power baru. Setelah Gibran benar-benar ditasbihkan menang kelak oleh KPU, eks Gubernur DKI akan menjadi Presiden aktif pertama dalam sejarah yang memiliki anak sebagai Wali Kota.

Bermula dari sosok outsider di Solo lima belas tahun lalu, Presiden Jokowi dengan karakteristik inheren plus “takdir” politiknya menjelma menjadi tokoh dengan modal sosial politik hingga mengantarkannya ke Istana.

Tak dinyana, dinamika kini bergulir memunculkan nama putra sulungnya untuk seolah menapaki karier politik serupa di kota yang membesarkan namanya.

Namun demikian, family power memang memiliki dark side atau sisi gelap tersendiri yang kerap ditemui pula di sejumlah negara yang disebutkan di atas. Utamanya ketika politik dan bisnis yang tak terhindarkan, berpadu dalam relasi eksklusif antara uang dan pengaruh.

Ini disebut-sebut terjadi pada kasus “trah” Clinton di AS ketika semua kepentingan memberikan jutaan dolar pada yayasan keluarga Clinton karena berasumsi dapat memberikan mereka pengaruh di masa depan.

Itu yang lantas berpotensi berujung pada korupsi dengan berbagai macam bentuk ketika digunakan untuk mendukung persaingan maupun kompetisi politik dan bisnis.

Hal itu juga yang kemungkinan besar masih menjadi kekhawatiran utama di balik tendensi kekhawatiran family power atau politik dinasti di balik Gibran di Solo di Pilkada 2020 ini.

Namun di luar itu, peluang besar Gibran menang di Solo menjadi menarik karena seolah mengikuti jejak sang ayah sebelum menjadi Presiden. Lalu, akankah karier politik serupa dapat ditapaki Gibran?

Karier Gibran Hanya Sampai Solo?

Dalam sebuah pertemuan dengan Ketua Umum (Ketum) PAN Zulkifli Hasan, Gibran sempat menyatakan bahwa untuk membangun sebuah negara, Solo adalah permulaannya. Sebuah kecenderungan yang mungkin menyiratkan hasrat Gibran untuk melangkah lebih jauh, termasuk seperti sang ayah.

Dalam On Collective Memory, Maurice Halbwachs mengkaji konsep memori kolektif yang terbangun dari konstruksi narasi akumulatif di masyarakat atas tendensi masa lalu. Hal ini sendiri pada dimensi berbeda akan terus tersimpan dan dapat membentuk preferensi tersendiri, termasuk dalam konteks politik.

Memori kolektif sendiri agaknya menjadi variabel yang berpengaruh bagi karier politik seseorang di tanah air. Tentu ketika sosok itu memiliki preseden maupun isu tertentu, termasuk politik dinasti.

Hal itu tampaknya terjadi pada konteks Prabowo Subianto dan Tommy Soeharto. Prabowo yang seolah sukses memainkan politik identitas pada Pilgub DKI Jakarta 2017, tak mendapat keuntungan yang sama ketika Pilpres 2019.

Sementara Tommy dan partai Berkarya-nya terlihat tak mendapat simpati publik ketika berusaha masuk ke kancah politik kekinian. Kedua sosok tersebut tampaknya terkena imbas dari memori kolektif publik terkait kemudaratan politik identitas dan dinasti politik yang telah menjadi preseden tersendiri.

Hal ini pula yang mungkin dapat terjadi jika Gibran ingin melangkah lebih jauh. Selain preseden dinasti politik, portofolio Presiden Jokowi belakangan juga kurang mendapat reaksi positif dari publik. Saat ini publik menyorot minor berbagai kebijakan, mulai dari revisi UU KPK, Omnibus Law maupun penanganan pandemi Covid-19.

Ihwal yang mungkin saja dapat berdampak pada proyeksi karier politik Gibran sejak awal jika dilihat dari sisi memori kolektif publik.

Namun demikian, peluang tetap tak lantas tertutup bagi Gibran. Utamanya jika Ia berhasil me-rebranding dirinya menjadi sosok pemimpin yang dapat membawa perubahan signifikan bagi Kota Solo.

Mengacu pada realita bahwa dalam ranah politik di seluruh dunia, kekuasaan yang acapkali terkonsentrasi di keluarga dan dinasti akan selalu ada. Tinggal akhirnya bagaimana sang sosok serta family power tadi dapat mendefinisikan langkah politik yang dapat menuai simpati dan dukungan publik atau justru sebaliknya.

Lantas, akankah Gibran berhasil mengaktualisasikan definisi berbeda dari kecenderungan minor family power yang akan dimulainya di Solo kelak? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version