Kandasnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 menambah daftar panjang insiden kecelakaan di wilayah udara Indonesia. Ini merupakan kecelakaan fatal ketiga sepanjang kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kedua selama Budi Karya Sumadi menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Akankah insiden ini akan memicu Presiden untuk mengevaluasi kinerja bawahannya itu?
Dunia penerbangan Indonesia kembali berduka. Sabtu, 9 Januari 2021 lalu, pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 tujuan Pontianak, Kalimantan Barat, dikonfirmasi jatuh di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta tak lama setelah lepas dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten.
Sontak kecelakaan nahas ini pun menjadi pusat pemberitaan media. Setiap perkembangan dari proses pencarian bangkai pesawat maupun jenazah korban dilaporkan kepada publik dengan begitu detail.
Tak hanya menjadi sorotan media, bencana yang menimpa pesawat jenis Boeing 737-500 bernomor lambung PK-CLC itu pun mendapat perhatian langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepada bawahannya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, Jokowi memerintahkan agar pencarian puing pesawat maupun jasad korban dilakukan secepat mungkin.
Tak lupa, mantan Wali Kota Solo itu pun meminta kepada Budi Karya untuk memastikan pemenuhan hak-hak ganti rugi kepada keluarga korban.
Jika ditarik ke belakang, bencana yang menimpa Sriwijaya Air ini merupakan insiden kecelakaan pesawat fatal ketiga di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Yang pertama bahkan terjadi ketika Jokowi belum genap 100 hari mengampu jabatan Presiden. Saat itu, nasib buruk menimpa penerbangan AirAsia QZ8501 tujuan Surabaya-Singapura.
Empat tahun kemudian, pemerintahan Jokowi kembali dihadapkan pada tragedi kecelakaan pesawat. Kini giliran penerbangan Lion Air dengan kode JT610 tujuan Pangkal Pinang, Bangka Belitung yang kandas di perairan Karawang, Jawa Barat tak lama setelah mengudara dari Bandara Soetta.
Lantas, dengan mempertimbangkan fakta tersebut, mungkinkah Presiden Jokowi akan mengevaluasi kinerja bawahannya, mengingat insiden ini juga merupakan kecelakaan penerbangan kedua selama Budi Karya menjabat sebagai Menhub?
Kecelakaan Pesawat dan Availability Bias
Ada cerita menarik yang disampaikan Daniel Chrisendo, seorang kontributor Kumparan yang bermukim di Jerman. Lewat tulisannya yang berjudul ‘Maaf Pesawat di Negaramu Jatuh’, Ia bercerita bahwa dirinya mendapatkan banyak ucapan bela sungkawa dari kolega-koleganya di berbagai belahan dunia atas jatuhnya pesawat Sriwijaya Air di Indonesia.
Daniel mengaku ini bukan kali pertama Ia menerima ucapan bela sungkawa atas kecelakaan pesawat yang tidak Ia ataupun keluarganya tumpangi. Pada peristiwa Lion Air JT610 dua tahun lalu pun, Daniel mengaku banjir ucapan serupa.
Ia pun mempertanyakan mengapa tragedi kecelakaan pesawat begitu menyita atensi publik dengan begitu masif jika dibandingkan dengan kecelakaan transportasi lain. Padahal, hingga hari ini pesawat masih digadang-gadang sebagai moda transportasi teraman yang pernah ada.
Jumlah kecelakaan yang melibatkan transportasi udara pun sebenarnya jauh lebih langka ketimbang kecelakaan transportasi darat yang bisa ditemui hampir setiap hari. Data dari studi yang dilakukan Universitas Northwestern menyebut bahwa untuk setiap 1 miliar mil perjalanan dengan mobil, ada 7,2 orang meninggal, sementara pesawat hanya 0,07 orang.
Fenomena masifnya perhatian publik dalam setiap insiden kecelakaan pesawat udara bisa saja terjadi karena adanya bias dalam kognisi manusia yang disebut dengan availability bias atau bias ketersediaan.
Kendra Cherry dalam tulisannya yang berjudul Availability Heuristic and Decision Making menyebut bahwa bias ketersediaan merupakan salah satu bentuk jalan pintas dalam berpikir yang dilakukan manusia ketika membuat penilaian cepat, namun terkadang hasilnya salah.
Ia menjelaskan seringkali ketika manusia hendak membuat keputusan cepat, sejumlah peristiwa atau situasi terkait muncul dalam pikirannya.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menyebut besarnya atensi terhadap kecelakaan pesawat adalah contoh dari bias tersebut. Karena kecelakaan pesawat diberitakan dengan intensitas yang tinggi ketika terjadi, timbul kesan bahwa kecelakan pesawat adalah peristiwa yang luar biasa dan begitu mengerikan.
Steven Levitt dan Stephen J. Dubner dalam bukunya yang berjudul Freakonomics juga memberikan pandangan yang cukup menarik untuk menjawab mengapa manusia cenderung lebih takut menaiki transportasi udara ketimbang mengemudikan kendaraan di darat.
Mereka menilai hal ini terjadi karena adanya faktor ‘kontrol’ yang bermain. Ketika mengemudikan mobil, manusia yakin bisa menjaga keselamatannya sendiri. Tapi ketika naik pesawat udara, mereka tidak dapat mengontrol terbangnya pesawat sehingga keselamatannya sangat bergantung pada orang lain.
Rasa takut tersebut menciptakan teror. Sehingga ketika kecelakaan pesawat terjadi, ada rasa takut yang tercipta dan membekas, termasuk pada mereka yang tidak menjadi korban. Hal ini kemudian membuat media massa berlomba-lomba untuk menghadirkan berita terkini seputar kecelakaan dengan begitu detail.
Pemberitaan yang masif di media ini kemudian membuat sebuah kecelakaan pesawat memiliki dampak yang cukup serius termasuk dalam konteks politik. Imbasnya, availability bias terjadi.
Jun Yan Chang dari University of Queensland dalam tulisannya yang berjudul The International Politics of Air Disasters menilai penggambaran media tentang kecelakaan pesawat terutama terkait dengan kerabat atau keluarga korban yang berduka berpotensi menimbulkan keraguan atas kontrak sosial antara negara dengan warganya dalam hal penjaminan keamanan.
Hal ini kemudian berpotensi menimbulkan pertanyaan terkait kinerja dan akuntabilitas dari otoritas yang bertanggung jawab.
Mempertimbangkan adanya dampak politik yang cukup serius, maka kecelakaan pesawat ketiga di periode pemerintahannya seharusnya dapat dijadikan momentum oleh Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kinerja menteri terkait, dalam hal ini Menhub Budi Karya. Lantas akankah kepala negara menempuh jalan tersebut?
Kesetiaan Budi Karya
Budi Karya dilantik sebagai Menhub pada 27 Juni 2016 menggantikan pejabat sebelumnya Ignasius Jonan. Ketika baru pertama kali dilantik, Ia mengaku mendapat tugas khusus dari Presiden untuk memperbaiki masalah konektivitas perhubungan baik darat, laut, udara maupun kereta api.
Kendati demikian, sepanjang kepemimpinannya, dunia transportasi nasional faktanya menghadapi banyak persoalan. Sejumlah kebijakan-kebijakan Budi Karya pun kerap mendapat sorotan tajam publik.
Misalnya, Budi Karya sempat dikritik habis-habisan oleh publik terkait mahalnya harga tiket pesawat yang berdampak pada menurunnya jumlah penumpang pesawat. Ekonomi pada akhirnya dinilai melambat akibat menurunnya mobilitas warga antardaerah. Tagar #PecatBudiKarya pun sempat ramai mewarnai linimasa Indonesia.
Baru-baru ini pun, Kemenhub kembali mendapat sorotan karena mencabut aturan yang membatasi keterisian pesawat sebesar 70 persen selama pandemi Covid-19. Publik menilai aturan ini tidak konsisten lantaran saat ini pemerintah tengah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali.
Tak hanya dalam sektor perhubungan udara, Kemenhub di periode pertama pemerintahan Jokowi juga sempat dikritik terkait aturan ojek online (ojol) termasuk mengenai pengaturan tarif. Ketidakjelasan regulasi ini sempat menimbulkan aksi unjuk rasa driver ojol di berbagai daerah.
Kendati tak luput dari berbagai masalah, namun pada kenyataannya Budi Karya merupakan salah satu menteri yang paling dekat dengan Presiden Jokowi. Ia cukup sering tampil mendampingi Presiden dalam acara-acara kenegaraan. Faktor kedekatan ini mungkin saja yang melatarbelakangi Presiden kembali menunjuk Budi Karya sebagai Menhub di periode kedua.
Keakraban itu pun sempat diakui sendiri oleh Presiden Jokowi. Dalam sebuah kesempatan diskusi, Ia pernah berkelakar bahwa dirinya bosan melihat sosok Budi Karya dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono lantaran saking seringnya bertemu.
Konsep kesetiaan ini pernah diungkapkan oleh ahli filsafat John Kleinig. Dalam tulisannya yang berjudul Loyalty, Ia mengatakan bahwa kesetiaan dapat dipahami sebagai sifat praktis untuk bertahan dalam keterikatan asosiasional yang disertai dengan komitmen guna mengamankan – atau setidaknya tidak mengganggu – kepentingan yang dimiliki oleh objek kesetiaan itu sendiri.
Berangkat dari sini, maka bisa dikatakan, sekalipun kinerja Budi Karya terus mendapat sorotan tajam publik, termasuk dalam tragedi SJ182 ini, sepertinya Presiden Jokowi belum akan melakukan pencopotan terhadapnya karena adanya faktor kesetiaan tadi.
Faktor kesetiaan ini, terpelihara lantaran tumbuhnya kepercayaan, sebagaimana diakui Presiden sendiri, bahwa Budi Karya mampu mempercepat pembangunan infrastruktur dan transportasi.
Kendati demikian, apakah benar faktor kesetiaan yang melatarbelakangi Presiden Jokowi untuk terus mempertahankan Budi Karya sebagai Menhub hanyalah pihak bersangkutan sendiri yang bisa menjawabnya.
Namun yang jelas, keselamatan transportasi udara hingga hari ini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi oleh Budi Karya selaku Menhub. Yang utama, tentunya meninjau kembali aturan terkait batas usia pesawat dinilai layak terbang.
Mari berdoa saja semoga tragedi SJ182 tak akan pernah lagi terulang di kemudian hari. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.