Duka mendalam atas tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Tragedi ini mengundang perhatian dunia dan dianggap sebagai insiden kerusuhan suporter terbesar dalam sejarah sepak bola. Bagaimana pemerintah bisa mengambil makna dari tragedi mengerikan ini?
Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober usai pertandingan sepak bola Arema FC dengan Persebaya Surabaya menewaskan 132 orang dan ratusan sisanya mengalami luka-luka.
Semula, pertandingan sepak bola berjalan dengan lancar hingga pada akhir pertandingan sejumlah suporter dari pendukung Arema merasa kecewa atas kekalahan dalam pertandingan dan beberapa di antara mereka melakukan aksi turun ke lapangan.
Aparat polisi dan petugas keamanan yang melihat hal tersebut melakukan upaya pencegahan. Namun, hal tersebut tidak dapat terkendali dengan baik melainkan memicu kerusuhan makin menjadi dikarenakan aparat kepolisian melepaskan tembakan gas air mata ke arah suporter di dalam tribun penonton.
Tindakan polisi tersebut disebut dimaksudkan untuk meredakan kericuhan dan melakukan penertiban kepada para suporter.
Hal tersebut menambah kerusuhan makin menjadi dikarenakan situasi panik para suporter yang berada di tribun yang mencoba untuk menyelamatkan diri dengan menghindari tembakan gas air mata.
Situasi rusuh karena panik menyebabkan banyaknya korban dari para suporter yang terluka hingga kehilangan nyawa.
Atas kejadian tersebut tragedi Kanjuruhan menelan banyak korban sehingga diperlukan adanya tim investigasi yang diperuntukan mengusut secara tuntas dan menguak kebenaran atas tragedi nahas tersebut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Mochamad Iriawan (Iwan Bule), Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Zainudin Amali, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepak bola dan juga prosedur pengamanan penyelenggaraan di Stadion Kanjuruhan.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan kemudian dibentuk untuk menindak lanjut instruksi Jokowi yang menyerukan agar jajarannya menuntaskan tragedi Kanjuruhan dan mengevaluasi penyelenggaraan sepak bola di Indonesia.
Jokowi juga memerintahkan Iwan dan Zainudin untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepak bola dan juga prosedur pengamanan penyelenggaraannya.
Namun, sembari berkembangnya investigasi, berkembang suatu perdebatan tentang aturan gas air mata di lapangan pertandingan. Jika mengikuti aturan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), seharusnya gas air mata sangat dilarang dalam pertandingan.
Lantas, apakah aparat telah salah total karena tidak mengikuti aturan FIFA tersebut?
Aturan FIFA atau Hukum Nasional?
Tragedi Kanjuruhan yang menghilangkan banyak korban hingga saat ini masih ditelusuri kebenarannya.
Bersamaan dengan itu, tindakan polisi dinilai tidak tepat saat melakukan penembakan gas air mata ke arah suporter di tribun, meskipun dengan dalil untuk mengalihkan kericuhan serta melakukan penertiban.
Disamping itu, FIFA sebagai federasi sepak bola internasional, mempunyai Lex Sportiva atau sistem hukum sendiri bidang olahraga yang berdaulat secara penuh menyelesaikan perkara yang terjadi dalam olahraga.
Penggunaan gas air mata oleh kepolisian dalam menangani kerusuhan di dalam stadion tersebut menjadi permasalahan karena melanggar aturan keselamatan FIFA.
Penggunaan gas air mata dilarang oleh FIFA dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19b, “No fire arms or crowd control gas shall be carried or used,” yang artinya tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau gas air mata.
Dalam pasal 19 tersebut dibahas tentang aturan petugas lapangan dan polisi dalam menjaga ketertiban stadion saat pertandingan berlangsung.
Maka dari itu, seharusnya penggunaan gas air mata untuk mengontrol kerusuhan dalam stadion saat pertandingan harus diperhatikan lebih hati-hati oleh aparat kepolisian. Tidak dibenarkan apabila ada kesewenangan yang semena-mena dalam penanganan ketertiban atas kericuhan yang terjadi di stadion Kanjuruhan.
Adanya lex sportiva FIFA sebagai aturan dalam bidang olahraga sepertinya cukup “berkonflik” dengan adanya hukum pidana yang menjadi hukum positif dalam kedaulatan negara Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur hukum yang berlaku di negaranya. Negara yang berdaulat ini memiliki kekuasaan yang tinggi.
Sehingga dalam tragedi Kanjuruhan ini, hukum pidana adalah yang seharusnya diutamakan sebagai hukum yang berlaku untuk menangani perkara yang terjadi. Hukum ini pun bisa diaplikasikan karena adanya unsur tindak pidana yang dilakukan oleh petugas keamanan dan aparat kepolisian dalam penanganan melakukan penertiban saat kericuhan terjadi di dalam stadion.
Atas kelalaian aparat kepolisian tersebut, Kapolri resmi mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat serta melakukan penonaktifkan terhadap sembilan anggota Brimob. Kepolisian memeriksa 18 anggotanya yang bertanggung jawab menggunakan senjata pelontar gas air mata.
Kepolisian juga telah menetapkan enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Di antaranya adalah, Direktur Utama PT LIB Ahkmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno. Ketiga orang tersebut dikenakan Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 360 KUHP dan atau Pasal 130 ayat 1 Jo Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2022.
Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman. Mereka dikenakan dengan Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 360 KUHP.
Menurut Deputi direktur Asia Human Rights Watch (HRW), Phil Robertson, penting dalam investigasi ini adanya sebuah tim independen yang temuannya nanti harus diumumkan secara terbuka kepada publik.
Organisasi Amnesty International Indonesia secara khusus juga menyerukan investigasi independen dan sesegera mungkin mengusut atas penggunaan gas air mata di dalam stadion.
HRW dan Amnesty mengatakan investigasi independen diperlukan untuk mencegah kejadian serupa tidak terjadi di masa mendatang.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk terkait Tragedi Kanjuruhan bertujuan untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan secara objektif dalam penegakan hukum serta secara transparan kepada publik.
Mahfud MD yang juga selaku ketua TGIPF menjanjikan investigasi atas tragedi Kanjuruhan ini dilakukan dalam waktu kurang dari sebulan.
Diharapkan TGIPF dapat menyelidiki dan mengungkap berbagai temuan dalam mengusut tragedi Kanjuruhan. Berbagai temuan yang akan menjadi fakta hukum untuk penyelidikan demi adanya keadilan sosial bagi korban dan masyarakat.
Namun, sembari berjalannya investigasi, mungkin terdapat pertanyaan besar di benak kita siapa yang paling harus bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan?
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Tidak bosan-bosannnya perlu disebutkan bahwa tragedi Kanjuruhan yang telah menghilangkan korban dalam jumlah banyak adalah salah satu insiden kerusuhan suporter terbesar di dunia.
Karena fakta itu sendiri, sudah sepantasnya pemerintah tergerak untuk menangani persoalan yang terjadi dalam tragedi Kanjuruhan ini.
Akan tetapi, hal buruk yang mulai jadi kebiasan publik dan pemerintah adalah, terkadang kita melihat suatu tragedi hanya melalui angka semata. Maksudnya, dalam tragedi ini jumlah angka kematian korban menjadi perhatian pemerintah dan sebagai pemicu pemerintah untuk bergerak menangani perkara ini lebih serius, padahal secara prinsip suatu peristiwa dengan korban jiwa sedikit apapun tetap perlu dapat perhatian utama pemerintah.
Sama halnya seperti pemerintah dalam menangani kasus Covid-19 di Indonesia. Pada awalnya, pemerintah bergerak secara komprehensif apabila angka kenaikan Covid-19 sudah melonjak tinggi. Namun, apabila angka kasus covid-19 sudah menurun seperti saat ini maka sudah tidak terdengar lagi upaya pencegahan dari pemerintah walaupun kasus covid-19 masih ada dalam kehidupan manusia.
Kematian dalam sebuah tragedi bukan hanya soal angka dan tidak pantas dipeyorasikan dengan menampilkan angka-angka kematian korban semata. Angka tidak bisa hanya untuk menjadi alasan perhatian pemerintah dalam keseriusannya menangani suatu tragedi.
Seperti yang telah diketahui, melalui beberapa pernyataan, aparat kepolisian selalu berusaha membenarkan diri atas tindakannya dalam melakukan penembakan gas air mata ke arah tribun penonton.
Seharusnya, polisi tidak perlu berupaya membela diri dengan dalih sudah ada anarki terlebih dahulu dan melakukan penembakan gas air mata dengan maksud untuk mengendalikan kerusuhan. Hal tersebut justru mengindikasikan bahwa kematian bukan jadi perhatian yang utama.
Kini, pemerintah melihat suatu kejadian bukan dikarenakan adanya problem moral melainkan adanya problem statistik yang diketahui oleh publik.
Hal terkait ini dijelaskan dalam teori face to face relation dari Emmanuel Levinas, yang membahas konsep wajah yang berimplikasi pada suatu tanggung jawab etis terhadap orang lain. Dalam teori ini menjelaskan adanya moralitas dikarenakan suatu tanggung jawab etis seseorang terhadap kehidupan orang lain.
Tanggung jawab etis ini mengandung sensibilitas yang mendasar bagi kepedulian seseorang terhadap rasa kemanusiaan dengan adanya sikap menghargai atau respek terhadap kehidupan orang lain.
Dalam tragedi Kanjuruhan yang melibatkan aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas pengamanan dan penertiban atas kerusuhan di stadion Kanjuruhan ini. Diharapkan aparat kepolisian dapat mempertanggung jawabkan tindakannya atas insiden yang merampas kehidupan manusia.
Diharapkan pemerintah dan aparat penegak hukum dapat menyelidiki dan menindaklanjuti tragedi ini dengan baik dan terbuka atas kebenaran yang terjadi kepada masyarakat dengan mempertimbangkan keadilan sosial bagi korban serta masyarakat.
Diharapkan pula, negara dan pemerintah dalam melihat suatu kejadian atau tragedi tidak hanya terfokus dalam statistik angka kematian saja melainkan adanya rasa tanggung jawab dalam kemanusiaan dan etika moral yang dikedepankan demi keadilan bagi masyarakat. S82