Tragedi Kanjuruhan yang terjadi dalam waktu semalam telah menghilangkan ratusan nyawa manusia tak bersalah. Sesuai perkembangannya, tragedi Kanjuruhan mulai dilihat bukan hanya sebagai tragedi biasa, melainkan juga tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena adanya dugaan penggunaan gas air mata secara sengaja. Lantas, bagaimana bisa terjadi?
Kerusuhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 usai pertandingan sepak bola Arema FC dengan Persebaya Surabaya menewaskan 133 orang dan ratusan sisanya mengalami luka-luka.
Menurut Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), terkait tragedi Kanjuruhan yang menewaskan banyak orang tersebut dinilai terdapat unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Disamping itu, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara terhadap hak asasi manusia secara individu.
Menurut Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1 ayat 6, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dalam pasal 8 dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
Seharusnya, terkait dengan tragedi Kanjuruhan ini, pemerintah dapat bertanggung jawab dengan baik dalam menegakkan hukum terhadap pelaku-pelaku tindak pidana dalam tragedi yang menewaskan ratusan nyawa manusia ini.
Tentunya, ini merujuk pada dugaan penyerangan gas air mata oleh aparat kepolisian yang diarahkan ke suporter di tribun sebagai pemicu kerusuhan terjadi. Akibatnya tindakan penembakan gas air mata tersebut menghilangkan jumlah korban yang sangat masif.
Terkait tragedi Kanjuruhan yang diduga terjadi secara sistematis hingga adanya korban dalam jumlah yang masif. Maka dari itu, diperlukan pengusutan secara tuntas dalam tragedi Kanjuruhan ini.
Lantas, bagaimana memaknai tragedi Kanjuruhan ini dari sudut pandang pelanggaran HAM?
Adanya Upaya Yang Sistematis?
Dalam tragedi Kanjuruhan ini dugaan besar yang beredar di masyarakat adalah terdapat upaya sistematis yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian dan petugas keamanan dalam menangani kerusuhan yang terjadi pada malam usai pertandingan berlangsung.
Sorotan pertama adalah mengenai aksi turun lapangan yang biasa dilakukan oleh para suporter kepada tim pemain sepak bola dalam hal ini khususnya suporter Aremania kepada tim sepak bola Arema FC.
Hal tersebut disalah artikan oleh petugas keamanan dan aparat kepolisian yang menilai sebagai suatu aksi yang dapat membahayakan.
Dengan hal tersebut, petugas keamanan dan aparat kepolisian secara langsung melakukan tindakan pengamanan dengan melakukan penembakan gas air mata ke arah suporter di dalam tribun.
Atas tindakan pengamanan yang dilakukan petugas keamanan dan aparat kepolisian tersebut patut ditanyakan, apakah ada instruksi atau arahan untuk melakukan penembakan gas air mata secara besar-besaran itu ke arah suporter?
Dugaan ini semakin menguat dikarenakan tembakan gas air mata yang diarahkan ke arah penonton dalam tribun dan adanya upaya pencegahan serta penyelamatan diri setelah para korban terpapar gas air mata. Hal ini menimbulkan suatu kepanikan dalam kerumunan massa yang berbondong-bondong ingin menyelamatkan diri dari gas air mata tersebut.
Padahal, sebelum ditembakkan gas air mata, aparat pengamanan stadion bisa melakukan beberapa hal terlebih dahulu, seperti dinamisasi massa yang sudah jelas pasti akan crowded atau berkerumun akibat kerusuhan yang terjadi, misalnya. Sehingga, jika memang kerusuhan tak terhindar lagi dan gas air mata perlu digunakan, jumlah korban yang berjatuhan tidak akan fatal dan tidak masif.
Terlebih lagi, gas air mata disemprotkan oleh aparat mengarah ke kerumunan penonton sangat disalahkan dalam aturan FIFA yang berlaku. Ini artinya, secara internasional penggunaan gas air mata dianggap sebagai sesuatu yang sangat perlu dihindari jika memang tidak benar-benar dibutuhkan.
Dengan demikian, karena aparat keamanan tiba-tiba saja memutuskan menggunakan gas air mata, aksi itu dinilai bukan untuk mengamankan penonton dari suatu kerusuhan, melainkan untuk melukai para penonton dan juga suporter yang berada didalam tribun tersebut.
Sehingga pertanyaan-pertanyaan besar yang tersisa adalah, apakah sebelum penembakan gas air mata tersebut, petugas keamanan dan aparat kepolisian sudah melakukan tahapan untuk dinamisasi massa yang crowded dengan baik? Atau kenapa para penonton tidak digiring keluar secara perlahan dari dalam tribun menuju pintu keluar dengan baik? Kenapa petugas keamanan dan aparat kepolisian tidak bersikap persuasif dengan adanya peringatan verbal terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan yang membahayakan serta melukai para korban?
Dengan adanya upaya yang dinilai sistematis ini, maka tragedi Kanjuruhan dianggap bukan hanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh aparat saja, melainkan juga merupakan pelanggaran HAM berat.
Dari sini, diperlukan identifikasi lebih lanjut, apakah ada suatu perintah atau komando atas tindakan aparat kepolisian tersebut yang dinilai bukan hanya tindak pidana biasa melainkan adanya unsur dari pelanggaran HAM berat?
Bukan Hanya Tindak Pidana Biasa
Pelanggaran HAM terus terjadi dikarenakan ada berbagai faktor yang dapat memicu adanya pelanggaran HAM baik dalam faktor internal maupun eksternal.Faktor internal pelanggaran HAM dapat terjadi dikarenakan adanya sifat egoisme, intoleransi, kurangnya empati, serta rendahnya tingkat kesadaran HAM.
Faktor eksternal pelanggaran HAM dapat terjadi dikarenakan adanya penyalahgunaan kekuasaan, lemahnya sistem hukum, penyalahgunaan teknologi, serta adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, dalam tragedi Kanjuruhan, bisa dinalarkan bahwa ada kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dalam lemahnya sistem hukum yang mengatur akan prosedur pengamanan dalam kerusuhan.
Dalam pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Pelanggaran HAM serta pasal 7 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dijelaskan bahwa Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida (pemusnahan kelompok secara sistematis dan disengaja) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Terkait tragedi Kanjuruhan ini, menurut Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, terdapat dua pelanggaran HAM berat yang terjadi, yaitu penggunaan aparat kepolisian dan TNI sebagai pengamanan pertandingan dan pendekatan represif menggunakan gas air mata. Serta indikasi pelanggaran HAM kedua yang dinilai ada unsur kesengajaan yaitu pintu stadion yang menjadi akses keluar yang secara sengaja ditutup.
Hal-hal tersebut memperjelas bahwa dalam tragedi Kanjuruhan ini bukanlah hanya tindak pidana biasa yang dilakukan oleh oknum aparat, melainkan adanya pelanggaran HAM berat yang menitikberatkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Yang mana sebelumnya sudah ada peringatan dan permohonan ampun dari korban yang ditujukan kepada petugas keamanan dan aparat kepolisian atas tindakan penembakan gas air mata yang diarahkan ke para suporter di dalam tribun.
Romli Atmasasmita, guru besar ilmu hukum Universitas Padjajaran, berpendapat bahwa pelanggaran HAM berat adalah tindakan yang bersifat sistematis dan meluas. Unsur sistematis dan meluas tersebut merupakan faktor penting dan signifikan yang membedakan antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau perundang-undangan pidana lainnya.
Atas tragedi Kanjuruhan yang dinilai terjadi sangat sistematis dan mengakibatkan kematian banyak korban, diharapkan dapat diusut dengan tuntas dengan mengindahkan hukum yang berlaku. Begitu pula dengan aparat penegak hukum dapat mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang telah dilakukan.
Diharapkan pula, pemerintah memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM serta dapat bertanggung jawab atas kejadian ini. Jangan sampai kejadian yang mengerikan ini terulang kembali di masa yang akan datang. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memperbaiki dan memperkuat regulasi hukum yang ada. (S82)