Tragedi di Stadion Kanjuruhan menewaskan 131 jiwa. Berbagai pihak menitikberatkan kesalahan pada suporter yang turun ke lapangan. Apakah benar kesalahan terbesar ada pada suporter Arema FC?
“MORE THAN 100 PEOPLE KILLED BY THE POLICE, REMEMBER THE DEAD OF KANJURUHAN!” – tribute suporter Bayern Munchen di Stadion Allianz Arena, Jerman pada 4 Oktober 2022.
Ada pilu di Malang, Jawa Timur. Stadion Kanjuruhan menjadi saksi bisu. Sebanyak 131 jiwa meregang nyawa dan tak akan kembali. Tidak hanya Indonesia, dunia juga menangis haru. Ini adalah tragedi terbesar kedua di dunia sepak bola.
Setelah duka, terbitlah penyelidikan perkara. Berbagai pihak mulai diperiksa. Titik-titik penyebab tragedi jadi topik hangat di segala penjuru. “Siapa yang salah? Siapa yang paling bertanggung jawab?” tanya banyak pihak.
Melihat diskursus yang ada, tidak sedikit yang menaruh beban dosa kepada suporter Arema FC. Apalagi, ini bukan bentrokan antar suporter karena Kanjuruhan hanya berisi Aremania. “Jika suporter menerima kekalahan 2-3 atas Persebaya dengan lapang dada, tragedi ini tidak akan terjadi,” kira-kira demikian ungkap banyak pihak.
Menariknya, kasus menyalahkan suporter juga terlihat pada tragedi Hillsborough pada 30 tahun yang lalu. Sebanyak 96 suporter Liverpool FC tewas ketika The Reds melawan Nottingham Forest di semifinal Piala FA.
Suporter yang tidak kondusif hingga temuan botol-botol minuman keras (miras) menjadi pemberitaan media-media Inggris, seperti The Sun. Dua dekade kemudian, The Sun menyampaikan permintaan maafnya melalui terbitan bertajuk 23 Years After Hillsborough.. The Real Truth.
“We are profoundly sorry for false reports,” tulis media yang telah terbit sejak tahun 1964 itu.
Pada tragedi Kanjuruhan, pola serupa tampak diulangi. Pemberitaan terkait kerusuhan Aremania dan temuan botol miras diangkat ke hadapan publik. Entah disengaja atau tidak, para suporter cenderung ditempatkan sebagai akar masalah.
Lantas, jika melihatnya secara holistik, tepatkah suporter Arema ditempatkan sebagai pendosa dalam tragedi ini?
Sepak Bola Bukan Sekadar Olahraga
Untuk menjawabnya, tulisan Ken Yeager, associate professor psikiatri di The Ohio State University yang berjudul For Many Sports Fans, It’s Not ‘Just A Game’ dapat menjadi permulaan yang bagus.
Menurut Yeager, penggemar olahraga memiliki respons psikologis dan fisiologis terhadap apa yang terjadi pada tim yang mereka dukung selama dan setelah pertandingan. Secara spesifik, Yeager menyebut apa yang terjadi di lapangan dapat mempengaruhi kadar kortisol dan testosteron. Keduanya adalah hormon yang membuat tubuh merasa berenergi dan bergairah.
Ketika melihat tim yang didukung menang, kadar kortisol dan testosteron akan meningkat. Ini membuat para suporter mengalami euforia karena merasa begitu senang dan bersemangat. Sebaliknya, jika tim yang didukung kalah, produksi dua hormon itu akan memicu stres, amarah, hingga perasaan putus asa.
Menurut Yeager, fenomena ini akan semakin kuat apabila berada di tengah massa yang begitu padat. Dalam crowd psychology, dijelaskan bahwa individu akan sulit untuk menahan godaan untuk tidak mengikuti perilaku massa di sekitarnya. Teori ini menjelaskan fenomena-fenomena sederhana, seperti kenapa kita refleks bertepuk tangan ketika melihat penonton lain melakukannya.
Dalam penelitian berjudul Football Fans’ Emotions: Uncertainty Against Brand Perception, Elena Shakina, Thadeu Gasparetto, dan Angel Barajas menyebut satu lagi kata kunci penting, yakni ketidakpastian. Berbeda dengan olahraga lainnya seperti golf atau MotoGP, sepak bola adalah permainan tim yang hasilnya sering kali sulit ditebak.
Klub yang tengah berada di posisi satu liga bisa kalah dengan klub yang tengah terseok-seok dan terancam degradasi. Menurut Shakina, Gasparetto, dan Barajas, situasi yang tidak pasti ini membuat momen emosional menjadi begitu kuat.
Pada kasus Arema vs Persebaya, momen emosional itu terbaca jelas. Kekalahan Singo Edan atas Bajul Ijo tampaknya begitu mengejutkan Aremania. Rekor 23 tahun tidak kalah di kandang ketika menjamu Persebaya pecah pada pertandingan malam itu.
Singkatnya, jika panitia pelaksana (panpel) pertandingan, Kepolisian, dan berbagai pihak yang terlibat lainnya memahami dimensi psikologis tersebut, tragedi yang menewaskan 131 jiwa sekiranya dapat dihindari.
Strategic Surprise
Meminjam penjelasan peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A. Laksmana, dalam tulisannya Why the Covid-19 Pandemic was a ‘Strategic Surprise’ for Indonesia, apa yang terjadi di Malang dapat disebut sebagai strategic surprise.
Strategic surprise adalah situasi atau serangan yang sebenarnya dapat diprediksi, tetapi tetap terjadi karena kurangnya persiapan dari pihak terkait. Evan mencontohkan strategic surprise pada serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 silam.
Amerika Serikat (AS) sebenarnya telah mendapat informasi intelijen bahwa Jepang akan menyerang. Namun, karena AS meremehkan serangan itu – mungkin karena menilai kekuatan militer Jepang tidak seberapa, Pearl Harbor menjadi pelabuhan api yang merah membara.
Seperti yang dicatat sejarah, serangan itu begitu mengejutkan AS. Paman Sam pun sadar bahwa mereka harus terlibat dalam Perang Dunia II. Invasi Jerman Nazi harus segera dihentikan.
Simpulan terjadinya strategic surprise sekiranya diperkuat dengan temuan berbagai fakta. Pertama, pihak Kepolisian tidak mengikuti aturan FIFA karena membawa dan menembakkan gas air mata. Kedua, panpel mencetak tiket melebihi kapasitas stadion yang hanya 30 ribu.
“Polisi sudah sampaikan bahwa hanya boleh mencetak 25 ribu tiket, tapi kemudian panpel Arema mencetak sampai 45 ribu tiket. Ini overcapacity dari Stadion Kanjuruhan. Ini pelanggaran prosedural yang sangat fatal,” ungkap Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer pada 2 Oktober 2022.
Ketiga, berdasarkan temuan terbaru Komnas HAM, dua suporter Arema yang pertama kali turun ke lapangan bukan untuk menyerang pemain, melainkan memberikan semangat. Ini dibuktikan dengan tidak adanya pemain Arema yang mengalami luka.
“Kalau ada yang bilang eskalasi penanganan itu timbul karena suporter merangsek masuk ke dalam lapangan, sampai sore ini, kami mendapat informasi bahwa tidak begitu kejadiannya,” ungkap Komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan/Penyelidikan Choirul Anam pada 5 Oktober 2022.
Menurut Choirul Anam, situasi tidak langsung rusuh ketika suporter turun ke lapangan. Terdapat jeda waktu 15 sampai 20 menit dari wasit meniup peluit hingga terjadinya kerusuhan. Ini membuatnya menaruh tanda tanya. Kenapa pihak kepolisian menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton?
Sebagai penutup, sepertinya kita dapat menarik kesimpulan bahwa tragedi ini berakar pada tidak adanya pihak yang membayangkan skenario terburuk. Padahal, apabila memahami crowd psychology, seharusnya berbagai pihak yang terlibat menyadari adanya potensi momen emosional yang sulit terkontrol.
Dengan demikian, rencana-rencana pengamanan seharusnya sudah disiapkan dengan matang. Dalam berbagai pemberitaan, kita justru melihat fakta sebaliknya. Tidak hanya soal penembakan gas air mata, pintu stadion yang tertutup menjadi tempat penumpukan suporter yang ingin keluar dari stadion.
“Di mana pun pertandingan sepak bola, 15 menit terakhir pintu harus terbuka memberikan kesempatan penonton keluar terlebih dahulu,” ungkap Komisioner Kompolnas Wahyurudhanto pada 4 Oktober 2022. (R53)