HomeNalar PolitikTradisi Politik Baru ala Jokowi?

Tradisi Politik Baru ala Jokowi?

Peristiwa ketika Presiden Jokowi menanyakan para menterinya yang ingin maju di pilpres ditafsirkan sebagai tekad RI-1 untuk membawa kultur baru dalam suksesi kepemimpinan nasional 2024. Lantas, mungkinkah Jokowi mampu mewujudkan tradisi baru dalam politik Indonesia?


PinterPolitik.com

Komunikasi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju terlihat sangat terbuka dan cair. Hal ini dibuktikan dengan adanya penyampaian keinginan para menteri mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.

Pernyataan para menteri yang terbuka menyatakan ingin maju di Pilpres 2024 dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Jokowi dalam mengelola kabinetnya. Jokowi mengingatkan para menterinya untuk tetap fokus bekerja meski tahapan Pemilu 2024 dimulai sebentar lagi.

Arsul Sani, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), melihat fenomena tersebut sebagai sesuatu yang positif. Menurutnya, semakin banyak orang yang menyatakan kesiapan maju nyapres justru semakin bagus.

Panda Nababan, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), membenarkan informasi  tentang para menteri yang mempunyai keinginan maju menjadi calon presiden (capres) di Pilpres 2024. Mereka telah menyatakan kesiapannya saat ditanya langsung oleh Jokowi.

Diketahui dalam sebuah pertemuan, Jokowi bertanya kepada empat menteri, yaitu Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian), Sandiaga Uno (Menparekraf), Erick Thohir (Menteri BUMN), dan Prabowo Subianto (Menhan). Tak hanya menteri, Ketua DPR RI Puan Maharani juga mendapatkan pertanyaan yang sama.

Saat Jokowi menanyakan pencapresan kepada Prabowo, terdapat jawaban yang berbeda dibanding jawaban menteri lainnya. Dengan diplomatis, Prabowo mengatakan akan maju dengan seizin Jokowi. Seolah Prabowo ingin menyampaikan dua hal sekaligus. Pertama, informasi akan maju; dan kedua adalah pernyataan untuk meminta restu atau izin dari Jokowi.

Dialog antara Jokowi dan Prabowo ini bukanlah peristiwa biasa. Peristiwa ini menarik dikarenakan di era Jokowi terkesan ada fenomena saling meminta restu antara pemimpin sebelumnya dengan calon pemimpin berikutnya.

Lantas, apakah peristiwa yang memperlihatkan saling memberikan restu ini hanya ditampilkan di era Jokowi? Kemudian, seperti apa suksesi kepemimpinan pada era presiden-presiden Indonesia sebelumnya?

jokowi tahu menteri ingin nyapres ed.
Jokowi Tahu Menteri Ingin Nyapres

Suksesi Presiden Indonesia

Meskipun lintas sejarah politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh visi besar politik Jawa, tapi untuk perihal suksesi kepemimpinan di Indonesia terlihat sangat berbeda dengan tradisi peralihan politik Jawa itu sendiri.

Kita mengenal peralihan kekuasan dalam politik Jawa dilakukan secara turun temurun. Peralihan suatu jabatan atau kewenangan dilakukan kepada keturunan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini biasanya terjadi pada pemerintahan otokrasi tradisional.

Suksesi yang dimaksud ialah sebuah rotasi atau regenerasi elite yang merupakan keharusan dalam sebuah sistem demokrasi. Ini ditandai dengan tingginya partisipasi rakyat atau legitimasi, juga pengaruh pemimpin sebelumnya dalam lingkup elite.

Benedict Anderson dalam bukunya The Idea of Power in Javanese Culture. From the book Culture and Politics in Indonesia, menggaris bawahi bahwa permasalahan suksesi yang dimaksud bukan hanya terkait pergantian kekuasaan semata, tetapi legitimasi yang hadir dalam suksesi. Dalam tataran elite, legitimasi  ini sangat dipengaruhi oleh restu pemimpin sebelumnya.

Baca juga :  Ironi Jokowi & “Lumpuhnya” Pasukan Penjaga Perdamaian PBB

Suksesi ini akan sangat mempengaruhi  dan juga menentukan kedudukan seorang pemimpin ataupun pengambilan keputusan kebijakan negara. Dan dalam  konteks Indonesia, presiden sebelumnya dianggap gagal memberikan dukungan politik mereka bagi presiden selanjutnya. Hal ini dapat dilacak dari deretan presiden Indonesia terdahulu.

Bambang Supriyadi dalam tulisannya Suksesi Kepemimpinan di Indonesia, mengatakan bahwa kepemimpinan pasca Soekarno di Indonesia diwarnai dominasi militer, khususnya Angkatan Darat yang beraliansi dengan teknokrat.

Soeharto bukanlah produk politik era sebelumnya. Bahkan sebaliknya, pemerintahan Orde Baru adalah antitesis dari  pemerintahan Orde Lama. Terjadi suksesi politik secara demokratis melalui lembaga politik, tapi restu politik tidak didapatkan rezim ini.

Di era Soekarno dan Soeharto, efektivitas pemerintahan terlaksana akibat akumulasi kekuasaan yang besar di tangan presiden. Karena Soekarno dan Soeharto merupakan pemimpin otoriter, kekuasaan besar keduanya tidak digunakan untuk mempersiapkan pemimpin selanjutnya.

Sistem politik pun berubah di era Reformasi, tapi restu dalam proses suksesi pun tidak ditemukan di era ini. Pada kasus BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), alih-alih memberikan restu kepada pemimpin selanjutnya, keduanya justru gagal mempertahankan kursi kekuasaannya.

Kasus Megawati Soekarnoputri sekiranya lebih baik. Sama seperti Jokowi, Megawati justru disebut bertanya kepada menteri yang ingin maju. Namun, tradisi restu tidak terjadi karena Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut mengatakan tidak maju kepada Megawati.

Sementara SBY, meskipun memimpin selama dua periode alias paling lama di era Reformasi, sang Jenderal nyatanya gagal meletakkan tradisi restu bagi pemimpin selanjutnya. Saat ini, Partai Demokrat bahkan turun kasta menjadi partai tengah.

Dalam konteks politik hari ini, pola komunikasi politik yang diperlihatkan oleh Presiden Jokowi dengan para menterinya yang ingin menjadi capres, dapat ditafsirkan sebagai tekad Presiden Jokowi untuk membawa kultur baru dalam suksesi kepemimpinan nasional 2024.

Ini sebuah angin segar dan harus didukung oleh semua elemen bangsa. Suksesi kepemimpinan nasional memang mestinya demikian. Berakhir dengan damai, berjalan mulus, dan tidak meninggalkan konflik apa pun.

Selain kita terhindar dari luka dan beban sejarah, suksesi yang mulus akan menjamin keberlangsungan program-program pembangunan yang penting bagi kemajuan bangsa ini. Dengan adanya suksesi yang damai, program-program yang bagus dari pemerintahan sebelumnya bisa diteruskan oleh pemerintahan berikutnya.

Semua bisa terlaksana jika terdapat restu atau dukungan politik yang merupakan preseden politik bagi era selanjutnya. Dukungan publik dipercaya sebagai modal politik berharga bagi para kandidat yang ingin maju di pilpres. Dan dukungan pemimpin sebelumnya dapat membuat dukungan publik lebih meningkat.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Pada kasus Jokowi, citra dan dukungan masyarakat terhadapnya yang masih besar dapat menjadi modal penting bagi kandidat yang berlaga di Pilpres 2024. Kita semua tentu dapat melihat, berbagai relawan terlihat menarasikan kandidat dukungannya sebagai penerus Jokowi.  

Lantas, mampukah Jokowi merealisasi hadirnya tradisi baru dalam proses suksesi kepemimpinan politik di Indonesia?

infografis jokowi on a hot streak
Jokowi On A Hot Streak

Warisan Tata Krama Jokowi

Gestur politik berbeda yang diperlihat Jokowi baru-baru ini tampaknya membantah pernyataan sejumlah pihak yang meragukan sosok Jokowi sejak awal kemunculannya.

Jeffrey Winters, pengamat politik Indonesia asal Northwestern University, misalnya, pernah mengatakan Jokowi merupakan presiden terlemah secara politik sejak masa Gus Dur.

Menurut berbagai pihak, kesalahan utama Jokowi karena bergerak terlalu cepat dari seorang wali kota menjadi pemimpin negara besar seperti Indonesia.

Akibat dari akselerasi jabatan yang begitu cepat, Jokowi dinilai tidak mampu untuk memilah siapa pemain politik pada level nasional, bagaimana mereka menjalin jaringan, serta apa agenda dan bagaimana integritas mereka.

Dampak dari lemahnya pengaruh Jokowi ini terlihat dari hubungan Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati yang begitu kompleks. Walaupun Mega tidak memiliki posisi formal dalam pemerintahan, tetapi dia disebut-sebut sangat mempengaruhi pemerintahan Jokowi.

Akselerasi politik Jokowi yang seolah menerabas jenjang politik mapan rupanya dianggap positif oleh ilmuwan politik lainnya. Sebut saja seperti Marcus Mietzner yang melihat akselerasi politik Jokowi merupakan fenomena kebangkitan kekuatan politik di Indonesia.

Dengan tren populisme yang dibawa oleh Jokowi, Mitzner melihat Jokowi dapat mengambil peluang untuk mengakumulasi kekuatan politik  untuk tunduk pada dirinya, termasuk kekuatan politik yang berjejaring dalam kelompok yang biasa disebut oligarki.

Lebih jauh, Jokowi dapat dianggap sebagai pemimpin kuat dikarenakan mampu merangkul kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Hingga saat ini kita tidak melihat oposisi yang benar-benar murni di era pemerintahannya.

Jika tradisi baru yang digagas Jokowi tentang peralihan kekuasaan, tidak hanya suksesi kepemimpinan tetapi juga mendapatkan restu politik pemimpin sebelumnya terjadi, maka Jokowi dapat dikatakan meletakkan “tata krama” politik baru.

John Pamberton dalam bukunya Notes on the 1982 General Election in Solo, membahas secara khusus istilah “pesta demokrasi” untuk menjuluki pemilu di Indonesia. Menurutnya, kata “pesta” di situ tidak tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “festival”. Kata pesta lebih pas bila dirujuk ke kegiatan jamuan resmi terkait upacara umum atau ritual domestik.

Dalam jamuan ritual domestik Jawa, tata krama penting dalam pelaksanaan acara. Ritual yang khidmat dalam tradisi Jawa, substansi sejatinya yaitu restu, dan restu didapatkan dari tiap orang yang hadir untuk empunya acara.

Walhasil, restu atau endorsement politik merupakan bagian dari adab politik yang terejawantahkan dari fenomena pesta pernikahan, khususnya yang berlangsung dalam adat Jawa. Mungkin ini akan menjadi warisan politik dari kepemimpinan Jokowi. (I76)


Jokowi Tiga Periode
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...