Site icon PinterPolitik.com

Tommy Soeharto: Ke Jokowi atau Prabowo?

Tommy Soeharto: Ke Jokowi atau Prabowo?

Tommy Soeharto dan Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa (Foto: Rimanews)

Kunjungan Tommy Soeharto ke beberapa ulama dan pondok pesantren di Jawa Timur beberapa waktu lalu menimbulkan pertanyaan: akan ke manakah Tommy dan partainya berlabuh?


PinterPolitik.com

“Ideas pull the trigger, but instinct loads the gun” – Don Marquis (1878-1937), jurnalis

[dropcap]U[/dropcap]ntuk menjadi politisi, butuh lebih dari sekedar ide yang hebat atau kapabilitas yang mumpuni. Ada faktor ketajaman insting politik yang akan sangat menentukan kiprah seorang politisi.

Insting politik inilah yang kira-kira menjadi pertaruhan Hutomo Mandala Putra atau yang beken dengan nama Tommy Soeharto ketika memutuskan terjun aktif dalam dunia politik. Faktor predikat dirinya sebagai putera Presiden ke-2 Republik Indonesia tentu menjadi alasan lain mengapa Tommy menjadi salah satu tokoh yang populer, meskipun ia punya rekam jejak yang kurang bagus.

Insting ini juga yang tampak ketika pada akhir Oktober 2017 lalu, Tommy melakukan safari politik dengan mengunjungi beberapa pondok pesantren dan ulama di Jawa Timur. Kunjungan ini dianggap penting untuk menjalin silahturahmi dan sebagai bagian dari upaya Tommy mempersiapkan diri menjelang tahun politik di 2018 dan 2019.

Selain itu, Partai Berkarya yang didirikan oleh Tommy juga telah lolos verifikasi dan akan menjadi salah satu partai peserta Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Tentu publik menanti-nanti, ke manakah arah politik Tommy? Mau jadi Presiden? Atau Wakil Presiden? Atau ada tujuan lain?

Apalagi, Tommy punya kedekatan dengan ormas Islam yang keras seperti Front Pembela Islam (FPI). Apakah ini menjadi pertaruhan lain yang akan dilakukan oleh Tommy di 2019?

Safari Politik, Mau Ke Mana?

Menjadi Presiden Komisaris Grup Humpuss mungkin menjadi keniscayaan bagi Tommy, tentu saja karena ia yang mendirikan perusahaan tersebut. Tetapi, bagaimana dengan Presiden dan Wakil Presiden RI? Mungkin ini adalah mimpi yang akan sangat sulit diwujudkan Tommy. Kok bisa?

Pasalnya, Tommy pernah terjerat kasus hukum berat. Pada tahun 2002, ia pernah divonis 10 tahun penjara terkait kasus pembunuhan Hakim Syafiuddin Kartasasmita. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ada ketentuan yang mengatakan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah orang yang tidak pernah terlibat dalam kasus hukum berat dengan vonis lebih dari 5 tahun.

Fakta ini pula yang membuat Tommy memutuskan keluar dari Partai Golkar dan mendirikan Partai Berkarya karena catatan hukumnya menghalangi jalannya menjadi ketua Partai Golkar. Lalu, apa tujuan politik Tommy?

Bulan Mei 2017 lalu, Tommy juga sempat berkunjung ke Jawa Timur. Ia mendapat gelar ‘Gus’ dari para ulama pesantren. (Foto: Kompas.com)

Sebagai pebisnis, Tommy tentu punya kepentingan lain, terutama untuk mengamankan bisnisnya. Saat ini, jumlah kekayaan Tommy mencapai 655 juta dollar. Jumlah tersebut adalah yang tercatat, namun kekayaan Tommy diperkirakan lebih dari itu. Pada tahun 2016, Tommy ada di posisi 56 dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Mengamankan bisnis adalah hal yang paling masuk akal dilakukan oleh Tommy dengan terjun ke politik.

Partai Berkarya yang didirikannya juga menjadi salah satu modal politik yang penting. Menariknya, petinggi partai ini berisi purnawirawan militer dan pentolan ormas Merah Putih. Kemampuan menggaet purnawirawan militer menunjukkan bahwa Tommy masih mewarisi pengaruh mendiang ayahnya yang berlatar belakang militer.

Selain itu, kedekatannya dengan kelompok-kelompok fundamentalis Islam juga membuat Tommy mempunyai basis massa yang patut diperhitungkan. Bukan rahasia lagi jika Tommy adalah salah satu tokoh yang dekat dengan ormas keagamaan seperti FPI. Tommy juga dekat dengan banyak ulama karena faktor ayahnya. Hal ini membuat Tommy punya power yang tidak bisa dianggap enteng.

Sulitnya peluang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden mau tidak mau membuat Tommy harus mengarahkan dukungan pada salah satu kubu politik di 2018 dan 2019. Kemungkinan paling besar, pertarungan politik itu masih akan melibatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Lalu, ke manakah Tommy akan membuang jangkar kapalnya dan berlabuh?

Tommy, Ke Jokowi atau Prabowo?

Sebutan The King Maker mungkin menjadi gelar yang cocok untuk Tommy. Jika melihat latar belakangnya dan hubungannya dengan Prabowo Subianto, banyak pihak pasti akan menyebut Tommy mendukung Prabowo. Prabowo adalah ipar Tommy dan pernah menjadi bagian dari Keluarga Cendana.

Walaupun tidak pernah secara terbuka menyatakan dukungan terhadap Prabowo, banyak pihak yang menyatakan bahwa Tommy sangat mungkin mendukung Prabowo. Keduanya juga punya kedekatan yang sama dengan ormas-ormas Islam, seperti FPI.

Namun, jika melihat kepengurusan Partai Berkarya, tampak ada yang aneh. Partai ini justru diisi oleh orang-orang yang sering berseberangan dengan Prabowo, bahkan beberapa di antaranya adalah pendukung Jokowi.

Pada jabatan Ketua Dewan Kehormatan, ada nama Mayjen TNI (Purn) Muchdi PR yang merupakan salah satu sahabat Prabowo Subianto. Muchdi merupakan salah satu orang yang ikut membantu Prabowo mendirikan Partai Gerindra. Namun, seiring waktu, karena perbedaan pandangan, Muchdi keluar dari Gerindra. Bahkan pada 2014, Muchdi menjadi salah satu jenderal pendukung Jokowi melalui Relawan Matahari Indonesia.

Selain Muchdi, ada pula nama Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno yang pernah menjabat sebagai Menko Polhukam pada awal Jokowi menjadi Presiden. Saat ini Tedjo Edhy menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya. Tedjo Edhy mengaku diminta langsung oleh Tommy untuk bergabung.

Ada juga nama Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Berkarya. Menariknya, Syamsu Djalal adalah salah satu purnawirawan militer yang sering bersuara keras meminta Parabowo diadili dalam Mahkamah Militer untuk kasus pelanggaran HAM di tahun 1998. Jelas bahwa Syamsu Djalal sering berseberangan dengan Prabowo.

Petinggi partai lainnya adalah KH. M. Ghozi Wahib Wahab yang merupakan Kiai NU sekaligus cucu dari salah satu pendiri NU, Muhammad Wahib Wahab. Menariknya, Kiai Ghozi Wahib Wahab merupakan salah satu Kiai yang meminta MUI mencabut fatwa terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait surat Al Maidah ayat 15 pada menjelang Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Saat ini Kiai Ghozi menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Berkarya. Jika melihat fakta bahwa Ahok dekat dengan Jokowi dan bahwa isu penistaan agama adalah isu yang memenangkan pasangan yang didukung Prabowo, bisa dipastikan bahwa Kiai Ghozi kemungkinan berada di pihak yang berseberangan dengan Prabowo.

Artinya, dengan sekumpulan petinggi militer yang memihak pada Jokowi dan bertentangan dengan Prabowo, serta petinggi partai dari Kiai NU yang kemungkinan berseberangan dengan Prabowo, apakah mungkin Partai Berkarya mendukung Prabowo pada Pilpres 2019?

Hal ini akan menjadi pemandangan politik yang aneh. Sulit membayangkan Tommy menempatkan orang-orang yang pro Jokowi pada pucuk-pucuk pimpinan partai, kemudian ia menyatakan dukungan pada Prabowo. Atau jangan-jangan Tommy sebetulnya justru mendukung Jokowi?

Hal ini juga sulit dibayangkan, mengingat pada isu makar terhadap Jokowi di seputaran aksi 212, Tommy disebut-sebut sebagai salah satu pihak yang punya pengaruh dalam aksi tersebut. Tommy bahkan diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut.

Kesimpulan yang paling mungkin ditarik adalah Tommy ‘bermain dua kaki’. Ia sepertinya realistis bahwa kemungkinan Jokowi untuk memenangkan kontestasi politik di 2019 sangat besar. Mungkin hal inilah yang membuatnya mengisi petinggi partainya dengan orang-orang dari kubu militer yang berseberangan dengan Prabowo dan mendukung Jokowi.

Tommy realistis bahwa Prabowo akan sulit mengalahkan Jokowi jika ia memutuskan untuk maju lagi pada Pilpres 2019. Namun, jika sesuatu yang luar biasa terjadi dan Prabowo menang di 2019, Tommy juga tidak kesulitan untuk mendekati Prabowo.

Jika benar demikian, strategi politik ini adalah insting yang brilian dari Tommy. Tommy jelas menunjukkan bahwa walaupun ia punya peluang yang sangat kecil untuk menjadi Presiden – kecuali jika UU Nomor 23 direvisi DPR – Tommy mampu membaca peta politik dan melihat kemungkinan yang paling masuk akal untuk tetap mengakomodasi kepentingannya.

Menarik untuk ditunggu, apa lagi aksi Tommy selanjutnya. Di sisa waktu sebelum 2019, Tommy masih mungkin mengubah haluan partainya. Yang jelas, semuanya bergantung pada insting, dan seperti kata Don Marquis di awal tulisan ini: ide saja tidak cukup! (S13)

 

Exit mobile version