HomeNalar PolitikTombol Politik Identitas Rizieq Shihab

Tombol Politik Identitas Rizieq Shihab

Habib Rizieq Shihab menabuh genderang perang dan mengajak semua pendukungnya memaksimalkan politik identitas, memenangkan Prabowo-Sandi. Strategi politik ini punya dampak besar memenangkan calon tertentu, namun punya efek lanjutan terhadap lahirnya konflik sosial. Faktanya banyak perang kultural besar yang terjadi karena politik identitas ini.


PinterPolitik.com

“Politik identitas lebih kuat dan manjur digunakan kelompok kanan karena basis massa yang cenderung homogen”.

:: Sheri Barman, Profesor Ilmu Politik Columbia University ::

[dropcap]M[/dropcap]eskipun berada 7.900 kilometer dari Jakarta, Habib Rizieq Shihab tetap menyampaikan arahannya kepada kelompok pendukung dan ulama di barisannya, agar mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Hal itu ia sampaikan dalam sambutannya pada Ijtima Ulama II sehari yang lalu.

Keputusan itu dipertegas dengan ditandatanganinya Pakta Integritas yang berisi 17 poin yang harus dilaksanakan Prabowo jika terpilih sebagai presiden.

Beberapa poin dalam isi Pakta tersebut, antara lain menjamin kepulangan Rizieq dari Arab Saudi serta membersihkan nama imam besar Front pembela Islam (FPI) ini dari segala tuntutan hukum yang berlaku, menjaga agama-agama yang diakui pemerintah dari penistaan, serta menjaga mentalitas masyarakat dari pengaruh gaya hidup yang merusak.

Kampanye macam “jangan pilih calon yang dukung penista agama”, atau “jangan pilih pasangan yang didukung partai pembela penista agama”, atau “jangan pilih partai yang mengkriminalisasi ulama”, masih tetap akan laku dijual. Share on X

Menariknya, Rizieq juga menyinggung tentang politik identitas yang selama ini selalu diasosiasikan dengan kelompoknya. Menurut pria yang pernah mengenyam pendidikan di SMP Kristen Bethel Petamburan ini, para ulama dan habaib tidak pernah memainkan politik identitas yang berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), tidak pernah bersikap rasis, apalagi fasis.

Ia juga menyebut bahwa politik identitas yang selama ini digunakan oleh para ulama ialah yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan menganggap politik identitas tidak bisa dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Menurut Rizieq, Indonesia didirikan dan diperjuangkan menggunakan politik identitas. Bahkan konsepsi Pancasila dan NKRI adalah buah dari politik identitas. Aksi Soekarno yang menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan aksi Soeharto bersama TNI menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) juga menunjukkan politik identitas tersebut.

Pernyataan-pernyataan Rizieq tentu saja menimbulkan pertanyaan. Apakah ini berarti dirinya dan kubu ulama serta pendukung Prabowo akan kembali menggunakan “tombol” politik identitas ini melawan Jokowi di 2019? Akankah kesuksesan yang sama bisa terjadi lagi seperti yang berhasil diraih pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu?

Politik Identitas Rizieq, Sebuah “Tombol”

Pernyataan Rizieq tentang politik identitas tersebut di satu sisi bisa dibenarkan. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, memang politik identitas ke-Indonesian menjadi alat untuk menyatukan semua masyarakat melawan penjajah. NKRI dan Pancasila memang juga merupakan perwujudan politik identitas bangsa Indonesia.

Namun, pernyataan Rizieq ini punya tendensi politik yang besar. Arahnya adalah jelas untuk membenarkan penggunaan politik identitas tersebut dalam kontestasi mencari pemimpin di negara ini.

Dengan menyebutkan bahwa politik identitas adalah hal yang digunakan untuk meraih kemerdekaan, meredam perpecahan lewat dekrit Soekarno dan menumpas PKI, membuat seolah-olah hal tersebut dibenarkan penggunaannya.

Padahal, ada perbedaan konteks di masing-masing contoh yang disebutkan Rizieq tersebut dengan penggunaan politik identitas yang terjadi belakangan ini.

Baca juga :  Banteng Terbelah Tiga, Pramono di Mana?

Identitas yang diperjuangkan pada perang kemerdekaan adalah “Indonesia” – entitas yang tergambar dalam 3 poin Sumpah Pemuda 1928. Identitas agama atau suku memang ada, namun semuanya disatukan oleh semangat ke-Indonesiaan – hal yang membuat perjuangan bangsa menjadi lebih terarah dan pada akhirnya berhasil mengusir penjajah.

Tombol Politik Identitas Rizieq Shihab

Hal serupa juga terjadi dalam konteks Dekrit 5 Juli 1959 – walaupun oleh beberapa pihak dianggap punya tataran kepentingan politik Soekarno untuk berkuasa seumur hidup – yang punya makna politik identitas untuk meredam riak-riak perpecahan yang terjadi di masyarakat pasca belum sahnya konstitusi nasional akibat berlarut-larutnya pembahasan di Konstituante.

Sementara aksi penumpasan PKI – terlepas dari kontroversi percobaan kudeta Soeharto terhadap Soekarno yang kerap dituduhkan oleh banyak ahli politik dan peniliti asing – juga menjadi bagian dari politik identitas dengan Pancasila sebagai hal yang diperjuangkan melawan ideologi komunis.

Sebaliknya, politik identitas yang sering ditampilkan belakangan ini cenderung sektarian dan malah berpotensi memecah belah bangsa. Penggunaan isu SARA dalam kampanye politik misalnya, menyebabkan menguatnya predisposition atau kecenderungan intoleransi di masyarakat.

Hal ini pernah disampaikan oleh Menkopolhukam Wiranto yang menyebut penggunaan politik identitas pada saat Pilkada dan Pemilu akan memudahkan kemunculan konflik sosial.

Mantan Panglima ABRI era Soeharto yang oleh Robert W. Hefner disebut sebagai pendiri FPI bersama Kapolda Metro Jaya (1998-1999) Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman ini, mengamini fakta yang justru bertolak belakang dengan beberapa sikap kampanye politik yang ditunjukkan oleh sahabatnya, Rizieq Shihab.

Rizieq pada beberapa kesempatan kampanye justru mengharamkan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Rizieq bahkan sempat terkena kasus penodaan dasar negara Pancasila – ideologi yang justru menjadi identitas politik perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

Artinya, kata-kata pria yang terkenal dengan orasi menggelegarnya bahwa para ulama – termasuk dirinya – tidak pernah menggunakan politik identitas berbasis isu SARA, tentu saja kontradiktif dengan gerakan politik yang selama ini dilakukannya.

Council for Foreign Relations (CFR) menyebut Pilkada DKI Jakarta 2017 – terlepas dari fakta penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – menggambarkan tergerusnya toleransi beragama di Indonesia. Artinya, gerakan-gerakan demonstrasi saat itu yang salah satunya dimotori Rizieq memang menjadi pemicu kampanye politik berbasis SARA.

Selain itu, pernyataan Rizieq bahwa ia dan para ulama menggunakan politik identitas berbasis Ketuhaan Yang Maha Esa – konsepsi yang diterima oleh berbagai agama di Indonesia – juga bertolak belakang dengan klaim bahwa pihaknya tak menggunakan isu SARA itu. Huruf ‘A’ pertama dalam ‘SARA’ adalah agama.

Pada titik ini, kata-kata Rizieq tersebut bisa dianggap sebagai logical fallacy atau kesalahan reasoning – memberikan alasan – karena konteks “identitas” yang berbeda saat perang kemerdekaan dengan yang belakangan ini digunakan.

Fakta bahwa politik identitas meningkatkan angka intoleransi dengan sendirinya menafikan pembenaran Rizieq. Dirinya bahkan kembali mengajak pengikut dan pendukungnya untuk menggunakan isu yang sama menghadapi Jokowi di Pilpres 2019 nanti.

Pada konteks ini Rizieq mencoba kembali menekan “tombol” politik identitas. “Tombol” ini merupakan konsep yang dijelaskan oleh psikolog sosial Amerika Serikat (AS) sekaligus profesor Etika Kepimpinan New York University, Jonathan David Haidt dalam salah satu tulisannya tentang nasionalisme vs globalisme.

Haidt menyebutkan bahwa sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk melihat identitasnya lebih baik dari orang lain, namun membutuhkan stimulus dari luar untuk mengubah kecenderungan itu menjadi aksi atau sikap-sikap yang intoleran. Ia menyebut ada “tombol” di dahi orang-orang tersebut, yang karena stimulus atau kondisi tertentu, ditekan dan membuat aksi-aksi intoleran terhadap kelompok dengan identitas lain muncul ke permukaan.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Pendapat Haidt ini sekaligus membenarkan tulisan Karen Stenner dalam bukunya yang berjudul The Authoritarian Dynamic, yang menyebut bahwa “kecenderungan” atau predisposition menjadi intoleran hanya akan muncul jika orang atau kelompok tersebut mendapatkan perlakuan tertentu yang membangkitkan kecenderungan tersebut.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, “tombol” politik identitas ditekan saat ucapan Ahok dianggap meninsta agama, dan mendapatkan eskalasi gerakan setelah juga ikut dikampanyekan, salah satunya oleh Rizieq.

Sementara itu, dalam konteks Pilpres 2019, pernyataan Rizieq di Ijtima Ulama II tentu saja mengindikasikan bahwa sang imam besar sedang berupaya menggunakan strategi menekan “tombol” tersebut. Pertanyaannya mungkin adalah apakah strategi ini akan berhasil, mengingat Jokowi punya latar belakang personal yang berbeda dibandingkan Ahok.

Bisa Kalahkan Jokowi?

Profesor Ilmu Politik dari Columbia University, Sheri Barman dalam tulisannya di The Guardian menyebutkan bahwa politik identitas masih akan menjadi isu politik yang sentral.

Di AS misalnya, isu rasisme masih menjadi komoditas yang dijual Partai Republik, bahkan berpotensi menentukan hasil Pilpres 2020 nanti. Narasi yang dijual adalah “ketakutan” politis bahwa suatu saat kaum kulit putih akan menjadi kelompok minoritas dibandingkan ras kulit hitam dan imigran.

Barman juga menyebutkan bahwa faktanya isu politik identitas ini lebih kuat dan manjur digunakan oleh kelompok kanan karena basis massa yang cenderung homogen. Isu ini dianggap lebih kuat mengikat kelompok yang punya identitas serupa dan dalam garis politik yang cenderung berada di kalangan konservatif.

Pertanyaan terbesar dalam konteks Indonesia adalah apakah isu ini juga akan manjur digunakan lagi oleh Habib Rizieq dan kelompoknya untuk memenangkan Prabowo di 2019 nanti?

Memang dunia politik sangat dinamis, sehingga cukup sulit untuk membuat prediksi yang benar-benar tepat. Namun, agaknya hal ini cukup sulit terjadi lagi. Pasalnya, kubu Jokowi telah menggandeng Ma’ruf Amin yang – menurut Greg Fealy dari Australian National University – adalah ulama paling kuat secara politik di Indonesia.

Ma’ruf adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga yang mengeluarkan fatwa – pedoman yang salah satunya menjadi kunci keberhasilan politik identitas digunakan pada Pilkada Jakarta 2017. Selain itu, ia juga adalah Rais Aam – pemimpin tertinggi – ormas Islam independen terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU).

Artinya, kecil peluang Rizieq untuk mengkapitalisasi isu agama sama seperti Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Namun, kembali lagi, politik sangat dinamis, dan tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi sebelum pemungutan suara di April 2019 nanti.

Jika Jokowi “terselip lidah”, bukan tidak mungkin ia akan menjadi “Ahok Jilid II”. Rizieq sudah menabuh genderang perang dan semua mata akan menyaksikan aksi-aksi Jokowi. Kampanye macam “jangan pilih calon yang dukung penista agama”, atau “jangan pilih pasangan yang didukung partai pembela penista agama”, atau “jangan pilih partai yang mengkriminalisasi ulama”, masih tetap akan laku dijual.

So, Jokowi, hati-hati! (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.