Pilkada DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Menunggu berlangsungnya gelaran tersebut, simak olahan data mengenai toleransi di kedua tubuh paslon ini!
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, pasangan cagub, baik Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi, sama-sama melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui tema toleransi dan keberagaman. Seperti yang kita ketahui, isu SARA pada Pilkada DKI Jakarta, sudah memasuki tahapan yang mengkhawatirkan. Mulai dari sentimen terhadap masyarakat keturunan Tiongkok, penolakan menyolati warga yang memilih pasangan calon tertentu, hingga menggambarkan kelompok beragama tertentu sebagai pelaku kebrutalan.
Hal ini bisa jadi memiliki singgungan dengan identitas Ahok sebagai politisi keturunan Tionghoa beragama Kristen yang berada dalam tubuh birokrasi pemerintahan, dengan organisasi massa Islam asal Jakarta dan sekitarnya.
Tak hanya itu, pihak Ahok juga kembali menambah daftar kasus pelecehan agama dengan pelaporan yang dibuat pihak Advokat Cinta tanah Air (ACTA). Video kampanye bertajuk #beragamituBasukiDjarot, dianggap beberapa pihak menyerang kelompok agama tertentu karena menampilkan segerompolan orang berpeci dan bersorban membawa spanduk ‘Ganyang Cina’. AA Gym mengatakan kalau video tersebut mengandung fitnah keji.
Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dahlia Umar, memberikan pernyataan bahwa tidak ditemukannya usur SARA yang dilayangkan oleh ACTA kepada pihak Ahok-Djarot, “yang kami terima itu versi 30 detik, yang menurut ketentuan, maksimal memang harus begitu. Kami tidak menemukan unsur-unsur SARA dalam video itu.” (Baca: Cuit AA Gym, Upaya Eksis?)
Di samping tuduhan yang sudah ditangkis oleh pihak KPU tersebut, video kampanye kubu Ahok-Djarot menampilkan bersatunya tiap elemen masyarakat dari beragam suku, agama, dan lapisan sosial masyarakat. Proyeksi kekuatan sebuah pemerintahan yang maju, terletak pada bersatunya masyarakat dari berbagai etnis dan agama. Kesemuanya berada dalam satu payung persamaan dan cita-cita memajukan bangsa.
Maka dari itu, narasi, “jangan tanya dari mana asalmu, apa agamamu, namun apa yang sudah dilakukan untuk bangsa,” menjadi tagline video #beragamituBasukiDjarot. Sedangkan kubu Anies-Sandi mengeluarkan video bertajuk kebhinekaan yang dibagikan di akun Facebook.
Dalam video tersebut, Anies menampilkan hubungan serta kehangatan dengan semua komunitas, mulai dari anggota DPRD, pengusaha, anak muda milenial, pengemudi angkot, nelayan, hingga warga bantaran kali. Ia juga bernarasi bahwa akan menyediakan tempat berdialog dalam memulihkan kerukunan antar umat beragama.
Namun janji kampanye yang disuguhkan kedua belah pihak terhadap keberagaman dan merangkul seluruh golongan, apakah benar-benar sudah tergambar dalam tubuh tim suksesnya sendiri? Mari kita telisik bersama!
Telisik Keberagaman Kedua Sisi
Perbandingan dari sisi gender dan agama, dilakukan untuk melihat kubu manakah yang paling mendekati keberagaman dan merangkul semua pihak, seperti yang berusaha diwujudkan.
Tim Sukses Anies-Sandi memiliki beberapa divisi yang berisi 17 orang anggota, sedangkan tim sukses Ahok-Djarot, memiliki 113 orang anggota yang juga bergabung dalam divisi-divisi. Untuk mendapatkan hasil yang tidak ‘jomplang’, kami mengambil sampel masing-masing 17 anggota, baik dari tim sukses Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi.
Metodologi penelitian dilakukan dengan mengolah data-data anggota tim pemenangan pihak Anies-Sandi dan Ahok-Djarot. Data-data ini, didapatkan dari data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dimasukan oleh pihak timses sendiri. Asumsi gender dan agama didasarkan pada nama, profil media sosial, rilisan media daring, serta keterangan yang dikeluarkan oleh masing-masing individu. Hasil survei yang dikeluarkan di bawah ini tidak bersifat konklusif.
Tim sukses Ahok-Djarot memiliki tingkat keberagaman lebih tinggi dari segi gender dibandingkan tim sukses Anies-Sandiaga yang hampir didominasi oleh laki-laki. Dalam 17 anggota timses Anies-Sandi, hanya terdapat dua perempuan dalam struktur organisasi. Walaupun juga masih rendah, dalam tubuh timses Ahok-Djarot terdapat 3 perempuan dalam 16 anggotanya.
Bagaimana dengan agama? Topik yang membuat Ahok terseret ke meja hijau akibat dugaan kasus pelecehan agama dan penyerangan terhadap kelompok agama tertentu, kini kita bandingkan.
Hasil komparasi menggambarkan kubu Ahok-Djarot memiliki keberagaman agama lebih tinggi, dibandingkan dengan kubu tim sukses Anies-Sandi. Agama Islam masih menempati agama mayoritas pada kedua tim, sedangkan Kristen menempati persentase sebanyak 31 persen di tim Ahok, sementara di tim Anies-Sandi hanya terdapat 7 persen.
Dengan begitu, dalam komparasi gender dan agama antara tim sukses Anies-Sandi dan Ahok-Djarot, keberagaman dan unsur kebhinekaan lebih banyak terdapat pada kubu timses Ahok-Djarot. Bisa dikatakan, kampanye #beragamituBasukiDjarot, lebih mungkin diwujudkan. Namun, tentu saja, usaha tersebut membutuhkan pekerjaan yang jauh lebih progresif dibandingkan mengisi penuh kuota perempuan atau pemeluk non-Muslim.
Permainan Politik Identitas
Data di atas sangat menarik jika coba dihubungkan dengan keadaan demografi agama serta pendidkan di DKI Jakarta. Menurut sumber yang dihimpun dari jakarta.go.id, Islam menempati agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Jakarta pada tahun 2014, yakni sebanyak 8,34 juta jiwa atau 83% dari total komposisi 10 juta jiwa. Diikuti agama Kristen sebanyak 862,9 ribu jiwa.
Anies-Sandi yang membawa identitas Muslim, bisa saja memiliki peluang besar menyaring pemeluk agama Islam DKI Jakarta. Tak hanya menjadi agama mayoritas masyarakat Jakarta, dalam tubuh tim pemenangan Anies-Sandi, sebanyak 72 persen anggotanya memeluk agama Islam.
Sedangkan anggota tim pemenangan Ahok-Djarot juga didominasi oleh agama Islam sebanyak 63 persen. Namun, pihaknya tidak membawa identitas muslim karena pihaknya secara empiris memiliki tingkat keberagaman yang lebih tinggi dibandingkan tim pemenangan Anies-Sandi, dari segi agama.
Walaupun demikian, terjerumus pada identitas adalah hal yang harus dihindari. Politik identitas hanya berpaku pada ras, etnis atau agama sebagai pengukur sistem pemerintahan yang baik. Padahal, ukuran tersebut tak pernah dapat menjelaskan atau bahkan menawarkan solusi terhadap struktur sosial yang timpang, keadilan yang tak merata, pendidikan yang tak meraih semua kalangan, dan lain sebagainya.
Perhelatan Pilkada DKI Jakarta, merupakan tontonan vulgar tentang bagaimana politik identitas dioperasikan. Dan gawatnya, hampir sukses. Pernyataan, “karena pemimpinnya bukan orang kita.” harus diinimalisir dan dihilangkan sama sekali. Karena betapapun banyaknya perbedaan kita, entah atas identitas agama atau ras, dengan pemilih atau pemimpin lain, perbedaan kita terhadap sistem pemerintahan jauh lebih nyata.
Dengan melihat tema kebhinekaan atau keberagaman yang coba diusung oleh kedua paslon, kira-kira yang mana akan dipilih oleh masyarakat? Tentu saja jawabannya baru dapat kita saksikan pada Rabu, 19 April 2017 nanti.
“The difference between you and your government is much bigger than the difference between you and me. And the difference between me and my government is much bigger than the difference between me and you. And our governments are very much the same” – Marjane Satrapi. (Berbagai Sumber/A27)