Berdasarkan laporan tahunan Wahid Foundation, sebagian pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia justru dilakukan oleh aktor negara. Bahkan pada tahun 2018, jumlah pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aktor negara mengalami peningkatan. Temuan ini memperlihatkan ketikakseriusan pemerintah dalam memperjuangan hak kebebasan beragama.
PinterPolitik.com
Banyak pihak yang mengatakan bahwa toleransi beragama di Indonesia semakin menurun lima tahun ke belakang atau dengan kata lain selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada tahun 2017, Setara Institute mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi belum efektif menjalankan peran negara dalam melindungi hak kebebasan beragama. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya intoleransi beragama selama tiga tahun Jokowi memimpin.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga pernah mengatakan bahwa negara adalah sumber intoleransi. Selama 2014-2018, KontraS mencatat terjadi 488 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Kritik juga datang dari Human Right Watch (HRW) yang menilai Jokowi memilih untuk tidak menggunakan kemampuan politiknya untuk menjamin kebebasan HAM di Indonesia termasuk dalam hal kebebasan beragama. Pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Negara Intoleran?
Kembali ke laporan Wahid Foundation, sepanjang tahun 2018, telah terjadi 276 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, di mana 130 atau 47 persen di antaranya dilakukan oleh aktor negara.
Porsi aktor negara ini mengalami peningkatan sekitar 36 persen jika dibandingkan dengan tahun 2017.
Lebih lanjut lagi, Wahid Foundation juga menjelaskan bahwa kepolisian daerah, pemerintah daerah, dan Kejaksaan Negeri menjadi tiga aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran.
Lalu kenapa negara, diwakilkan oleh pejabat dan lembaga pemerintahnya, yang seharusnya menjaga toleransi malah menjadi sumber intoleransi?
Menurut Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, ada tiga faktor kenapa pemerintah daerah melakukan hal-hal intoleran.
Pertama, lemahnya pengetahuan dan kesadaran pejabat daerah terhadap HAM dan konstitusi. Kedua, adanya tekanan kelompok tertentu terhadap pemerintah daerah untuk mengambil tindakan yang diskriminatif. Ketiga, adanya aturan di tingkat pusat yang tidak sejalan dengan HAM.
Selain tiga faktor di atas, nampaknya ada satu faktor lagi yang menyebabkan negara bersifat intoleran, yaitu kepentingan politik.
Di level pemerintah daerah misalnya, salah satu bentuk pelanggaran kebebasan beragama hadir dalam bentuk peraturan-peraturan daerah (Perda) diskriminatif yang hanya mementingkan satu kelompok agama tertentu.
Kasus Perda yang dinilai diskriminatif salah satunya seperti Qanun No.4 tahun 2016 oleh Pemprov Aceh dan “Perda Injil” oleh DPRD Kota Manokwari.
Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ade Reza Hardiyan, kebutuhan politisi untuk meraup suara dalam Pemilu adalah alasan di balik munculnya Perda yang menabrak kebebasan beragama
Hal senada juga disampaikan Michael Buehler, profesor asal University of London.
Menurut Buehler, Perda Syariah muncul karena partai atau politisi di daerah butuh dukungan politik dari kelompok Islam. Padahal, lanjut Buehler, politisi yang menerbitkan Perda itu sendiri bukan pegiat agama melainkan yang berasal dari kelompok “Islamis oportunis”.
Permasalahan Perda intoleran ini juga yang membuat Jokowi diminta untuk membuat Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) guna mengevaluasi dan mencegah munculnya Perda bermasalah.
Tumbal Politik
Seperti pendapat Ulung, pelanggaran kebebasan beragama juga berasal dari aturan di tingkat pusat.
Salah satu aturan yang paling sering dipermasalahkan adalah Pasal 156 di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau yang lebih dikenal dengan nama Pasal Penodaan Agama.
Pasal inilah yang menurut banyak pihak, seperti Yenny Wahid dan Andreas Harsono, harus dievaluasi karena menjadikan negara sebagai aktor intoleransi, termasuk digunakan oleh aktor non-negara untuk “menyerang” kelompok agama lain.
Memang pasal ini tidak dicptakan oleh pemerintahan periode ini melainkan berasal dari hukum kolonial Belanda yang kemudian ditambahkan pada masa pemerintahan Soekarno.
Namun, sejak reformasi, besarnya dampak negatif pasal ini semakin terlihat.
Berdasarkan catatan Amnesti Internasional Indonesia, antara tahun 1965-1998 hanya ada 10 orang yang pernah dijerat dengan pasal ini. Sementara pada 2005-2014 jumlahnya bertambah lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 106 orang.
Yang paling mengundang perhatian dari penggunaan Pasal Penodaan Agama adalah kasus dipenjarakannya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun 2017.
Kasus Ahok yang divonis melakukan penodaan agama kemudian dilihat banyak pihak sebagai titik mundurnya toleransi beragama di Indonesia.
Harapan evaluasi pasal ini muncul ketika DPR berencana untuk melakukan dan menyelesaikan revisi KUHP – yang sudah direncanakan sejak tahun 2005 – pada tahun 2019.
Namun, harapan ini tidak bertahan lama.
Dengan berbagai kritik dan kerusakan toleransi yang disebabkan oleh Pasal Penodaan Agama, DPR maupun pemerintah terlihat menutup mata dan tetap mempertahankan pasal ini.
Dalam RKUHP yang ditargetkan selesai pada 24 September 2019, sejauh ini DPR mengatakan bahwa Pasal Penodaan Agama akan tetap dipertahankan.
Tidak hanya dipertahankan, bahkan dalam RUU KUHP pasal ini mengalami beberapa perubahan yang berpotensi semakin memperburuk kebebasan beragama di Indonesia.
Ambil contoh permasalahan makna atau penafsiran hukum yang muncul di Pasal 2, 250, dan 313, yang berpotensi menjadi ruang terbitnya Perda-Perda intoleran dan kembali menjadikan pasal penodaan agama sebagai pasal “karet”.
Kemudian penamaan pada Bab VII yang berjudul “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” juga menjadi masalah karena menjadikan agama sebagai subyek hukum.
Lalu, mengapa RKUHP tidak menjadi solusi pelanggaran kebebasan beragama?
Agenda RKUHP dinilai sudah dipolitisasi dan dijadikan sebagai alat dagang atau “tukar guling” politik antara DPR maupun pemerintah (presiden).
Ada indikasi intoleransi politik menguat. #infografis
Selengkapnya dalam tulisan indepth berjudul "Pilpres 2019 Dihantam Intoleransi?" di https://t.co/xcS6dR1dxG pic.twitter.com/lRCm8UMBcP
Tukar guling yang dimaksud adalah DPR dan pemerintah sama-sama mendapatkan “jatah peraturan” yang menguntungkan bagi masing-masing pihak.
Anggapan ini muncul karena DPR dan pemerintah terlihat sama-sama setuju dengan RKUHP. Kemudian dalam pembahasannya, DPR tidak melibatkan ahli dan terkesan terburu-buru menyelesaikan RKUHP, padahal masih banyak pasal yang bermasalah.
Selain itu, DPR juga dianggap ingin buru-buru menyelesaikan RKUHP hanya karena ingin meninggalkan warisan kinerja.
Dengan demikian, pelanggaran kebebasan beragama yang berasal dari KUHP tetap terjadi bahkan berpotensi semakin buruk karena nampaknya DPR dan pemerintah, demi kepentingan politik, tidak mengevaluasinya secara benar.
Akibatnya, di periode pemerintahan yang kedua, keseriusan Jokowi dalam menyelesaikan masalah pelangaran kebebasan beragama di Indonesia patut dipertanyakan.
Bukan tanpa sebab, keraguan terhadap keseriusan Jokowi sudah dimulai sejak Pilpres 2019.
Dalam masa kampanya, visi-misi Jokowi-Ma’ruf Amin dinilai kurang membahas atau mengelaborasi secara jelas masalah pelanggaran kebebasan beragama.
Sementara pada pidatonya Juli 2019 lalu di Sentul yang berujudul “Visi Indonesia”, Jokowi sama sekali tidak membahas masalah kebebasan beragama ataupun HAM.
Melihat adanya motif politik di balik munculnya peraturan-peraturan intoleran dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengevaluasinya, bisa dikatakan bahwa nampaknya bagi sebagian pejabat pemerintah, kepentingan politik jauh lebih penting dibanding hak kebebasan beragama di Indonesia.
Fakta ini memperlihatkan adanya ironi karena negara yang seharusnya menjaga toleransi, malah menjadi sumber intoleransi.
Terlebih lagi ketika pemerintah sering membanggakan Indonesia yang dijadikan sebagai contoh negara toleran di panggung internasional, katakanlah misalnya dalam pencalonan menjadi anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022.
Pada akhirnya, hasil penelitian beberapa LSM yang mengatakan bahwa negara menjadi sumber utama intoleransi terbukti kebenarannya. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah sekaligus pertanyaan besar yang harus dialamatkan pada pemerintahan Presiden Jokowi. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.