Citra Polri dipertaruhkan jika para petingginya diplot mengisi kursi gubernur sementara.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]pa jadinya kalau polisi jadi gubernur? Bukan, bukan polisi yang sudah masuk purna tugas. Perwira Polri aktif direncanakan akan mengisi posisi gubernur di dua provinsi. Perwira-perwira ini akan menjadi penjabat gubernur di provinsi yang masa jabatan gubernurnya telah habis.
Ada nama dua petinggi polisi yang diusulkan menjadi penjabat gubernur. Nama Irjen Pol. M. Iriawan diusulkan mengisi posisi Gubernur Jawa Barat (Jabar). Ada pula nama Irjen Pol. Martuani Sormin yang diusulkan jadi Penjabat Gubernur Sumatera Utara (Sumut).
Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, hal tersebut adalah hal yang lumrah. Ia menyebut bahwa hal ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Hal ini dilakukan karena jumlah pejabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak cukup untuk 17 provinsi.
Tjahjo bisa saja menganggap ini adalah hal yang wajar, tapi tidak semua sepakat. Para politisi menyimpan ragu para penjabat tersebut bisa netral saat Pilkada. Para pengamat juga khawatir para penegak hukum ini berubah fungsi jadi alat politik.
Publik kini menaruh harapan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka berharap Jokowi mau menolak usulan penjabat gubernur dari Polri. Tapi mengapa presiden harus menolak usulan tersebut?
Rawan Tidak Netral
Banyak pengamat yang mengkhawatirkan usulan petinggi Polri jadi orang nomor satu di daerah. Ada potensi bahwa kebijakan ini akan melanggar Undang-undang, apabila para jenderal tersebut tidak pensiun terlebih dahulu. Para pengamat juga mengingatkan bahwa polisi adalah alat negara di bidang penegakan hukum, bukan alat politik.
Para pengamat melihat adanya risiko penilaian buruk kepada institusi Polri. Masyarakat dapat menganggap polisi kini sudah terseret ke dunia politik praktis. Hal ini dapat pula mempengaruhi penilaian masyarakat soal netralitas Polri dalam pengamanan Pilkada.
Kekhawatiran juga diungkapkan oleh para politisi. Mereka mengkhawatirkan netralitas para aparat penegak hukum tersebut, saat menjabat sebagai gubernur. Apalagi Jabar dan Sumut diprediksi akan menjadi arena Pilkada yang cukup sengit.
Kritik Fadli Zon Soal 2 Jenderal Polri Jadi Plt Gubernur – nasional https://t.co/q2EJEyDmAm https://t.co/mAyz0a20Gk
— Fadli Zon (@fadlizon) January 25, 2018
Jika melihat dari pola yang ada, kekhawatiran para politisi ini bisa saja ada benarnya. Hal ini terutama jika melihat indikasi kedekatan institusi Polri dengan salah satu partai politik. Publik kerap menduga bahwa institusi penegak hukum ini memiliki kemesraan dengan PDIP. Apalagi Mendagri selaku pengusul juga berasal dari PDIP.
Sebagaimana pegawai negeri sipil (PNS), para petugas kepolisian juga rawan dimobilisasi. Pengamanan pada saat Pilkada bisa saja diatur oleh perwira tinggi yang menjabat sebagai gubernur. Akan sangat berbahaya jika pengamanan ini tidak netral dan memihak salah satu calon.
Kekhawatiran paling nyata nampak di gelaran Pilgub Jabar. Salah satu pasangan calon yang akan bertarung di gelaran tersebut berasal dari Polri. Ada nama eks Kapolda Jabar Anton Charliyan yang menjadi cawagub bagi TB Hasanudin di Pilgub Jabar. Secara kebetulan, pasangan calon ini didukung oleh PDIP.
Meski tidak ada calon dari kepolisian, rasa khawatir juga bisa muncul di Sumut. Citra PDIP sebagai partai polisi, bisa saja membuat publik curiga kalau Martuani hanya akan mengutamakan pengamanan kandidat Djarot-Sihar yang diusung PDIP.
Jika pola-pola tersebut benar, maka bisa saja ini juga menjadi strategi pukul balik untuk lawan-lawan PDIP. Berdasarkan peta yang ada, kandidat yang akan dihadapi PDIP berasal dari institusi lain, yaitu TNI. Ada nama Sudrajat di Pilgub Jabar dan Edy Rahmayadi di Pilgub Sumut.
Para purnawirawan jenderal ini memiliki pengalaman mengorganisasi massa dan mengatur strategi yang mumpuni. Jika memang jenderal polisi ini terkait dengan PDIP, bisa saja ini menjadi taktik untuk memberikan lawan setara bagi jenderal-jenderal TNI di sisi seberang.
Jabar dan Sumut yang ‘Basah’
Menempatkan dua jenderal polisi di Jabar dan Sumut merupakan langkah yang menarik. Dari 17 provinsi, hanya Jabar dan Sumut saja yang mendapat usulan tersebut. Kedua provinsi ini memang tergolong krusial dan strategis. Baik Jabar maupun Sumut kerap disebut sebagai lahan ‘basah’.
Secara demografi, kedua provinsi ini tergolong sebagai kantong penduduk di Indonesia. Jabar dan Sumut menduduki jajaran 10 besar provinsi dengan jumlah penduduk terbesar. Hal ini berarti kedua provinsi tersebut tidak hanya menjadi kantong penduduk, tetapi juga kantong suara di masa pemilihan. Siapapun yang memenangi Pilgub di kedua provinsi ini, maka akan lebih pede melenggang di Pemilu 2019.
Kedua provinsi ini juga memiliki potensi kerawanan yang tinggi di saat Pilkada. Jabar dan Sumut merupakan dua dari lima provinsi yang masuk kategori rawan konflik. Kedua provinsi ini membutuhkan pengamanan lebih agar Pilkada berjalan lancar.
Kerawanan keamanan inilah yang membuat Mendagri memilih petinggi Polri untuk duduk di kursi gubernur sementara. Mereka dianggap lebih mampu menjaga keamanan dan stabilitas di Jabar dan Sumut, ketimbang pejabat sipil.
Selain kondisi-kondisi tersebut, Jabar dan Sumut juga tergolong ‘basah’ secara ekonomi. Jabar merupakan rumah dari berbagai industri besar di negeri ini. Sementara itu, Sumut adalah raksasa ekonomi di Pulau Andalas. Secara khusus, Sumut juga memiliki potensi penyelundupan barang ilegal yang tinggi.
MASYARAKAT paham maksud ini mah…..???? pic.twitter.com/Rjly3uVrZP
— Mustofa Nahrawardaya (@NetizenTofa) January 26, 2018
Adanya kegiatan ekonomi yang tinggi ini, membuat kedua provinsi tersebut rawan pungutan liar (pungli) dan praktik suap. Tidak jarang, pungli dan suap ini melibatkan polisi dari jajaran bawah hingga elit. Bukan satu atau dua kali saja para polisi telah terjaring operasi Tim Saber Pungli, akibat mengutip uang.
Menyandang status gubernur dan jenderal polisi aktif, sekaligus membuat Iriawan dan Martuani memiliki posisi strategis. Mereka memiliki kekuatan sebagai pejabat pemerintahan sekaligus penegak hukum. Bukan tidak mungkin para pelaku bisnis nakal mengincar pengaruh kedua jenderal ini. Mereka bisa saja memberikan “hadiah selamat datang” kepada kedua jenderal ini agar bisnis mereka tetap lancar.
Kemdikbud dan Jabar Paling Banyak Diadukan ke Saber Pungli https://t.co/RUfCwLarrL pic.twitter.com/w6dxDTrQ7N
— BeritaSatu.com (@Beritasatu) November 10, 2017
Baik Iriawan maupun Martuani tentu tidak ingin namanya tertangkap menerima pungli atau suap. Alih-alih menjadi pelayan publik yang baik, mereka bisa saja menambah coreng di muka institusi Polri. Mereka tentu tidak ingin menghambat agenda perbaikan citra Polri di bawah Kapolri Tito Karnavian.
Jika para jenderal polisi ini ditunjuk menjadi penjabat gubernur, ada potensi bahwa mereka tidak akan fokus pada tugasnya. Mereka bisa saja terbelah pikirannya antara harus menjalankan pemerintahan dengan menjalankan tugas sebagai perwira Polri. Pengamanan aktivitas ekonomi dan ancaman pungli bisa saja mengganggu mereka dalam menjalankan roda pemerintahan.
Apabila keamanan yang menjadi alasan Mendagri, maka tugas ini sebaiknya difokuskan kepada Polda di masing-masing provinsi saja. Hal ini dapat dipandang lebih netral ketimbang opsi polisi jadi penjabat gubernur. Selain itu, polisi juga dapat lebih fokus pada keamanan baik untuk Pilkada maupun bagi aktivitas ekonomi. Melihat kondisi tersebut, pejabat sipil nampak masih menjadi pilihan paling aman untuk mengisi kursi gubernur sementara.
Ada pertaruhan citra jika memaksakan polisi jadi penjabat gubernur. Cap tidak netral bisa dibubuhkan pada institusi Polri. Hal serupa juga bisa berlaku kepada Presiden Jokowi jika meloloskan usulan Mendagri. Maka dari itu Pak Jokowi, tolong tolak petinggi polisi jadi gubernur! (H33)