Fenomena menarik terlihat setelah terjadinya kerumunan pasca kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Mulai dari Pangdam Jaya hingga Koopssus TNI berhenti di Petamburan dan menurunkan baliho HRS. Lantas, mungkinkah HRS telah ditetapkan sebagai ancaman negara? Jika demikian, mengapa itu terjadi?
Lebih dari 100 hakim dan jaksa ditangkap, 145.000 pegawai negeri dipecat, 3.900 orang dari dinas sipil dan militer diberhentikan, 9.100 polisi diskors, hampir 900 tentara diamankan, 1.700 lainnya dipecat secara tak terhormat, dan 15 kantor media ditutup paksa. Serta puluhan ribu warga sipil diamankan.
Kira-kira begitulah akhir dari upaya kudeta gagal terhadap Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada Juli 2016 lalu. Masifnya pemberitaan tentang kudeta tersebut juga melambungkan satu nama yang dinilai paling bertanggung jawab, yakni Fethullah Gulen. Sejak 2013, Erdogan memang telah menempatkan Gulen dan pengikutnya sebagai pesakitan. Bahkan telah secara resmi menamakan gerakan Gulen sebagai FETO atau Fethullahist Terror Organization.
Menariknya, kasus Gulen yang telah resmi ditetapkan sebagai musuh negara oleh pemerintah Turki tidak sedikit disamakan dengan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) di Indonesia. Sama dengan Gulen yang aktif mengkritik pemerintah dan mengasingkan diri ke luar negeri, HRS juga menunjukkan pola serupa, khususnya setelah menetap di Arab Saudi.
Setelah kepulangannya pada 10 November lalu, indikasi bahwa HRS telah ditetapkan sebagai ancaman negara tidak sedikit disebut semakin kentara. Indikasi terkuat adalah turunnya TNI untuk menurunkan baliho HRS. Lalu, ada pula fenomena menarik, di mana Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI konvoi melintasi Petamburan, yang merupakan kediaman HRS.
Koopssus TNI sendiri terdiri dari 3 pasukan elite dari tiap matra, yaitu Den-81 Kopassus (AD), Den-Jaka Marinir (AL), dan Sat-Bravo Paskhas (AU) yang dibentuk langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Perpres Nomor 42 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Nah, berdasarkan Perpres tersebut, Koopssus TNI dibentuk dalam rangka menghadapi ancaman yang memiliki eskalasi tinggi dan dapat membahayakan ideologi negara, kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan melindungi segenap bangsa Indonesia. Serta alur komandonya berada di bawah Presiden yang diteruskan kepada Panglima TNI.
Mengacu pada turunnya TNI untuk menurunkan baliho HRS dan show of force atau unjuk kekuatan dari Koopssus TNI, mungkinkah HRS memang benar-benar telah ditetapkan sebagai ancaman negara?
Ancaman Negara?
Jauh sebelum unjuk kekuatan dari Koopssus TNI, sebenarnya terdapat indikasi kuat lainnya yang menunjukkan HRS ditetapkan sebagai ancaman negara.
Pada 10 November 2019, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengomentari pernyataan HRS yang mengaku memiliki bukti otentik bahwa terdapat intervensi pemerintah Indonesia terkait “pencekalan” dirinya di Arab Saudi.
Menariknya, dalam tanggapan tersebut Mahfud menggunakan kalimat bahwa negara juga mempunyai hak-hak untuk mempertahankan eksistensinya. Selaku ahli hukum, Mahfud tentu memiliki landasan hukum yang jelas dalam pemilihan kata-katanya. Oleh karenanya, penggunaan diksi “mempertahankan eksistensi” jelas menunjukkan makna tertentu yang layak untuk diinterpretasi.
Diksi “mempertahankan eksistensi” adalah diksi yang bermakna konsekuensi. Artinya, terdapat kausal yang menyebabkan konsekuensi itu terjadi, yakni memang terdapat ancaman negara.
Nah, jika dasar penggunaan diksi tersebut adalah adanya ancaman negara, maka boleh jadi Mahfud bertolak dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yakni negara memiliki hak untuk melakukan pembatasan-pembatasan HAM ketika dalam keadaan darurat yang esensial dan mengancam kehidupan suatu bangsa.
Sebelumnya, perlu untuk digarisbawahi, keadaan darurat tidak selalu identik dengan perang ataupun invasi dari negara lain, melainkan juga memuat ancaman ekonomi dan politik. Serta tindakan publik yang bertujuan subversif terhadap rezim konstitusional. Kasus Gulen yang ditetapkan sebagai musuh negara oleh pemerintah Turki adalah contoh dari yang terakhir.
Pada 28 Oktober 2005, Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2015. Artinya, memang terdapat celah hukum jika HRS memang benar-benar ditetapkan sebagai ancaman negara.
Konteks tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Pangdam Jaya Mayjen TNI, Dudung Abdurachman yang menyebut Front Pembela Islam (FPI) sebaiknya dibubarkan. Lalu sebelumnya, pernyataan Panglima TNI Hadi Tjahjanto terkait akan menindak segala bentuk ancaman juga tidak sedikit dikaitkan dengan situasi politik setelah kepulangan HRS.
Akan tetapi, kendati terdapat berbagai indikasi yang dapat dijadikan acuan bahwa HRS telah dianggap sebagai ancaman negara, persoalan tersebut masih sebatas spekulasi atau asumsi. Pasalnya sampai saat ini tidak terdapat pernyataan resmi dari negara yang menyebutkan demikian.
Pesan Kepada Masyarakat?
Terkait perdebatan mengenai turunnya TNI merupakan indikasi dari HRS telah ditetapkan sebagai ancaman negara atau tidak, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memiliki pandangan yang berbeda terkait ihwal tersebut.
Menurutnya, alih-alih melihat HRS dan FPI sebagai ancaman, Ia lebih yakin bahwa turunnya TNI, khususnya Koopssus TNI merupakan manuver yang lebih ditujukan kepada masyarakat luas.
Tegas Fahmi, HRS dan FPI dalam hal ini telah digunakan untuk menggertak, memaksa dan menakut-nakuti masyarakat untuk lebih patuh dan “tidak macam-macam” kecuali ingin berhadapan dengan perangkat kekerasan negara.
Lanjutnya, ini sebenarnya adalah psywar atau perang psikologis. Pihak di balik terjadinya manuver tengah mencari efek setelah berita turunnya TNI menyebar di berbagai media massa dan media sosial. Dengan kata lain, manuver tersebut sebenarnya tidak ditujukan khusus untuk menakuti mereka yang berada di Petamburan.
Lagipula, di luar dugaan HRS telah ditetapkan sebagai ancaman negara, pelibatan TNI dalam penurunan baliho sebenarnya tidak memiliki landasan hukum. Namun diungkapkan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian bahwa itu sesuai dengan peraturan yang ada, yakni Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34 tentang TNI yang mengatur tentang operasi militer selain perang (OMSP).
Donny sepertinya telah salah menafsirkan penggunaan Pasal 7 ayat (2) soal OMSP. Pasalnya OMSP tidak serta merta dapat dilakukan oleh TNI, khususnya dalam mengurusi persoalan di ranah sipil.
Untuk melaksanakan OMSP harus didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara, di mana kebijakan diputuskan secara resmi oleh Presiden dan mendapat persetujuan DPR.
Apabila sudah disetujui oleh DPR, TNI membuat nota kesepahaman (MoU) dengan lembaga terkait dengan tugas yang spesifik.
Tanpa melalui proses tersebut, TNI tidak memiliki kewenangan untuk bertindak di wilayah sipil. Dengan kata lain, tindakan TNI menurunkan baliho HRS sebenarnya melanggar hukum. Kendatipun nantinya persetujuan dari Presiden dan DPR diturunkan, hal itu tidak dapat dijadikan pembenaran atas tindakan sebelumnya karena hukum tidak berlaku surut.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat menyebutkan bahwa manuver TNI di Petamburan kemarin dapat memiliki beragam makna.
Pertama, itu mungkin adalah indikasi bahwa HRS telah ditetapkan sebagai ancaman negara. Kedua, itu dapat dimaknai sebagai psywar untuk memberikan efek gertak kepada masyarakat luas. Ketiga, manuver tersebut sebenarnya dapat dibenarkan apabila memang telah terdapat MoU antara TNI dengan Satpol PP.
Lantas, kemungkinan manakah yang paling mungkin? Itu tergantung dari cara kita melihatnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)