Site icon PinterPolitik.com

TKI Dieksekusi, Tinjau Hubungan Saudi?

Jokowi saat bertemu dengan King Salman. (Foto: Kompas.com)

Eksekusi mati terhadap TKI tanpa pemberitahuan resmi menimbulkan kecaman. Banyak kalangan dari Indonesia yang berharap Jokowi ambil sikap tegas terhadap Arab Saudi.


Pinterpolitik.com 

“I wanted to put the national interest before my personal interests.”

:: Michael Gove ::

[dropcap]E[/dropcap]ksekusi mati TKI oleh pemerintah Arab Saudi membuat publik geram. Eksekusi itu dilakukan terhadap Tuty Tursilawati, TKI asal Majalengka yang didakwa membunuh majikannya. Kegeraman ini timbul karena pihak Arab tidak memberikan pemberitahuan resmi terlebih dahulu ke pemerintah Indonesia.

Salah satu pihak yang melakukan pengecaman, Migrant Care mendesak Pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah diplomasi untuk memprotes Arab Saudi.

Migrant Care mengingatkan kepada Presiden Joko Widodo untuk benar-benar serius merespons situasi seperti ini,

Kondisi ini juga menyebabkan keraguan terhadap komitmen Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi Adel Bin Ahmed Al-Jubeir saat bertemu dengan Menlu Retno yang berjanji memberi perlindungan kepada buruh migran Indonesia.

Langkah lebih tegas perlu diambil Pemerintah Indonesia terhadap Arab Saudi terkait dengan eksekusi mati TKI. Share on X

Persoalan TKI khususnya terkait dengan hukuman mati memang sudah menjadi persoalan klasik. Sudah berulang kali Indonesia mendapat berita pahit dari negeri minyak tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi tiap pemerintahan di Indonesia.

Khusus terhadap Arab Saudi sendiri, setidaknya dalam satu dekade tearkhir sudah lima orang yang dihukum mati tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Dalam pendekatan diplomatik, sikap yang dilakukan oleh Arab Saudi membawa luka terhadap hubungan yang sudah berlangsung.

Apabila kondisi seperti ini terus terulang, bukankah hal tersebut melecehkan dan merugikan Indonesia sebagai negara berdaulat? Lantas pertanyaannya adalah masih pentingkah menjalin kerja sama dengan Arab Saudi, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan?

Lemahnya Perlindungan

Eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati menambah deretan panjang TKI yang bekerja di Arab Saudi herus meyerahkan nyawanya di tangan algojo.

Ironisnya, pelaksanaan eksekusi mati tersebut tidak dilaporkan kepada Pemerintah Indonesia. Padahal, seseuai ketentuan internasional, tiga hari sebelum pelaksanaan hukuman mati, harus dilaporkan kepada Pemerintah asal terpidana.

Sebenarnya, tidak menjadi soal apakah hukuman mati di Arab Saudi itu sah atau tidak. Namun yang menjadi persoalan adalah prosedur yang dikenal dalam standar Internasional dan diakui oleh Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, yaitu hak Indonesia atas akses konsuler terhadap warga negaranya.

Konvensi ini memberi jaminan bahwa perwakilan Indonesia di Saudi harus terinformasikan tentang proses yang dialami oleh warganya secara terus-menerus mulai sejak tahap awal sampai pada tahap eksekusi.

Sayangnya, akses konsuler ini hanya diberikan pada tahap awal sampai pada tahap vonis berkekuatan tetap, namun tiba-tiba tertutup pada tahap eksekusi. Tidak ada informasi sama sekali tentang kapan dan di maan eksekusi ini dilakukan.

Melihat isu hukuman mati memang cukup kompleks. Perlu dilihat apa yang menyebabkan bahwa TKI pada akhirnya menjadi terpidana.

Jika mengacu pada kasus Tuty – dan ini berlaku pada sebagian besar kasus TKI, apa yang dilakukan oleh perempuan asal Majelengka tersebut bermula dari membela diri karena kerap mendapatkan pelecehan seksual.

Bahkan menurut Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Tuty tidak mendapatkan 6 bulan gaji kerjanya dari total masa kerja 8 bulan.

TKI seringkali mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ketika bekerja di negara penempatannya. Pelanggaran HAM yang dimaksud antara lain seperti, pelanggaran dalam bentuk tindak kekerasan psikologis, fisik, dan seksual seperti, penyiksaan, ekploitasi kerja, pemerkosaan, penahanan, dan masih banyak lagi.

Tenaga kerja sektor informal terutama perempuan merupakan sektor yang paling rentan mengalami pelanggaran HAM yakni kekerasan dan eksploitasi di tempat ia bekerja.

Artinya, ada persoalan yang kompleks saat melihat konteks kasus hukum yang menimpa TKI di Indonesia. Secara mendasar, ada persepsi yang menganggap bahwa profesi sebagai asisten rumah tangga sama dengan seorang budak yang mana boleh diberlakukan apapun oleh majikannya.

Persepsi tersebut dipengaruhi oleh ideologi zaman perbudakan yang belum sepenuhnya hilang. Menurut data Solidaritas Perempuan (SP), ada beberapa penyebab tingginya angka kekerasan yang dialami oleh TKI informal antara lain kekerasan terjadi di dalam lingkup rumah tangga di mana wakil pemerintah baik KBRI atau KJRI mengalami kesulitan melakukan pengawasan.

Selain itu, tindak kekerasan yang biasa terjadi belum dipahami sebagai bentuk kekerasan yang melanggar hukum Arab Saudi. Terlebih TKI informal tidak memiliki akses terhadap pelayanan hukum maupun medis dan tidak memilki pengetahuan yang cukup mengenai hukum negara setempat.

Kondisi ini menyebabkan situasi TKI terjepit, dan pada titik tertentu menyeret dirinya masuk dalam kasus hukum dengan ancaman hingga hukuman mati.

Data organisasi hak asasi manusia Reprieve menyebutkan terdapat 133 eksekusi di Arab Saudi pada periode Juli 2017 hingga 2018.

Jumlah itu hampir mencapai dua kali lipat jika dibandingkan dengan 67 eksekusi pada periode Oktober 2016 hingga Mei 2017.

Sementara itu, hingga hari ini masih ada 13 warga negara Indonesia atau WNI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, seperti yang disebutkan oleh Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhamad Iqbal.

Kondisi ini mengharuskan Pemerintah Indonesia memperhatikan nasib para TKI secara serius tanpa mengabaikan hak dasarnya sebagai manusia.

Bilateralisme

Bagi Arab Saudi, Indonesia adalah salah satu negara besar pemasok tenaga kerja terutama untuk sektor domestik.  Hal itu lantaran tenaga kerja Indonesia pada umumnya disukai oleh majikan Arab Saudi karena mereka santun, penurut, dan rajin bekerja.

Selain itu, gaji TKI terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga relatif murah antara 800-1.000 riyal per bulan atau sekitar Rp 3,2-4 juta. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan Upah Minimum Regional di beberapa daerah, misalnya DKI Jakarta sebesar Rp 3,1 juta.

Dalam pendekatan bilateralisme, dua negara melakukan kerja sama atas daasr adanya kepentingan nasional yang diharapkan bisa diambil dari negara tersebut.

Profesor Hubungan Internasional di Universitas Waseda, Atsushi Tago bahwa dalam hubungan bilateral perlu ada asas resiprositas, artinya bahwa kedua negara perlu menghargai dan melindungi warga negara di tempat ia berada.

Perlu adanya perasaan sejajar diantara kedua negara jika ingin meraih sebuah hubungan kerja sama yang positif. Jika salah satu merasa lebih tinggi, maka seperti yang disebut oleh Tago, hal itu masuk dalam kategori unilateralisme.

Hal ini disebabkan suatu negara mengabaikan realitas internasional dan bersikap sebagai negara hegemoni (hegemonic state). Dalam konteks Indonesia dan Arab Saudi, persoalan TKI mengarah pada prinsip bilateralisme yang timpang.

Hubungan diplomatik Indonesia dan Arab Saudi terkesan timpang dan tidak seimbang. Dalam praktiknya, Saudi kerap merasa lebih tinggi derajatnya dari Indonesia.

Kondisi ini disebabkan status Saudi sebagai negara kaya, produsen dan distributor minyak dunia (Petro Dollar). Terlebih, Saudi menjadi negara tujuan ibadah Haji dari seluruh umat Islam di dunia, sehingga merasa lebih tinggi derajatnya.

Rendahnya status Indonesia ini semakin parah dengan banyaknya TKI yang bekerja di sektor nonformal di Saudi, sehingga Indonesia semakin diremehkan. Kemudian, banyak sekali dari para TKI itu yang tersangkut masalah hukum di Saudi seperti kasus Tuty yang sudah dieksekusi mati.

Untuk meningkatkan bargaining position Indonesia di mata kerajaan Saudi, Indonesia setidaknya harus lebih banyak mengirimkan tenaga kerja terdidik dan profesional di sektor formal daripada sekedar mengirim TKI di sektor domestik atau non-formal ke Saudi.

Namun, untuk menanggapi kasus Tuty, Indonesia perlu mengambil langkah tegas kepada Saudi. Tidak cukup hanya sekedar moratorium atau penyampaian nota protes.

Pada tahun 2011 – dan sebenarnya masih berlaku hingga sekarang – Indonesia sudah lakukan moratorium terhadap pengiriman TKI ke Arab Saudi, langkah itu merespon terkait dengan kasus Ruyati, TKI yang mengalami kasus serupa dengan Tuty.

SBY kala itu bahkan menyebut pemerintah Saudi menabrak norma hubungan internasional dengan tidak menyampaikan pemberitahuan pelaksanaan eksekusi.

Moratorium tersebut nyatanya tidak memberikan dampak positif terhadap perlindungan TKI di Arab Saudi.

Dengan demikian, pemerintahan Joko Widodo perlu mengambil langkah-langkah strategis terhadap Arab Saudi.

Masih Penting Hubungan Dengan Arab Saudi?

Jika menilik hubungan Indonesia dan Arab Saudi secara umum, bisa dikatakan bahwa hubungan kedua negara ada kedekatan atas sentimen agama, namun faktanya jauh dari realisasi.

Bahkan ada sebuah anekdot bercerita soal para investor Jazirah Arab bertandang ke Indonesia dengan gaya salam khas cium pipi kanan (cipika) dan cium pipi kiri (cipiki) saat disambut pejabat di Indonesia. Sayangnya, para investor pulang ke negaranya berlalu tanpa realisasi investasi hingga jadi bahan gerutuan sang tuan rumah.

Jika mengacu pada Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani saat Raja Salman bersambang ke Indonesia 2017 lalu, ada 11 poin nota kesepahaman yang disanggupi bersama. Tapi sayangnya, dari 11 poin tersebut, tidak ada satu pun yang membahas secara spesifik terhadap perlindungan TKI.

Meski Menlu Retno sudah mengklarifikasi soal tidak masuknya poin perlindungan TKI, namun hal itu disayangkan oleh beberapa pihak. Sebab alasan Retno yang menyebut kalau persoalan TKI masuk dalam poin kejahatan internasional, masih bisa ditafsirkan secara luas.

Dari koridor ekonomi, realisasi investasi Arab Saudi tergolong kecil. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) punya catatan, sepanjang 2017 investor Saudi hanya membenamkan US$ 3,5 juta – ini masih lebih baik dari catatan 2016 yang hanya US$ 900 ribu. Ini angka investasi yang sangat kecil untuk negara yang masuk daftar G20 – kumpulan negara dengan perekonomian yang besar di dunia.

Selain sektor ketenagakerjaan, satu-satunya sektor yang cukup penting bagi kedua negara adalah dengan ibadah Haji ke Arab Saudi. Sektor ini menjadi hubungan pengikat yang lekat tidak bisa terpisahkan. Dua negara mendapatkan keuntungan, sebab Indonesia adalah negara mayoritas Muslim, sementara Arab Saudi memiliki Mekah dan Madinah sebagai destinasi utama bagi umat Islam.

Meskipun demikian, dilihat dari segi ekonomi, Arab Saudi lebih diuntungkan dari kondisi simbiosis ini. Haji merupakan ladang abadi bagi Arab Saudi. Pada tahun 2017, Saudi disebut mendapatkan pundi sebesar 32 miliar riyal atau setara dengan US$ 8,5 miliar atau Rp 100 triliun lebih.

Bagi Indonesia, tidak ada keuntungan lain selain kepuasan batin masyarakatnya.

Melihat kondisi tersebut, maka sudah selayaknya Indonesia meninjau kembali hubungan dengan Arab Saudi, khususnya terkait dengan sektor ketenagakerjaan. Untuk jangka panjang perlu upaya lain agar kasus-kasus sejenis bisa ditekan. Misalnya saja dengan menghapuskan hukuman mati di Indonesia terlebih dahulu, atau dengan meningkatkan kompetensi pekerja asal Indonesia, sehingga tidak hanya mengirim pekerja non skilled yang diangap remeh.

Terlepas dari kondisi tersebut, wajar jika masyarakat bertanya-tanya tentang manfaat hubungan Indonesia dengan negeri padang pasir itu. Jika sudah begini, perlukah Indonesia memutus hubungan dengan Arab Saudi? Berikan pendapatmu. (A37)

Exit mobile version