Site icon PinterPolitik.com

TKA Tiongkok, Trump Perlu Ditiru?

Presiden AS Donald Trump bersama dengan Presiden Jokowi

Presiden AS Donald Trump bersama dengan Presiden Jokowi (Foto: Berita Islam)

Kedatangan gelombang pertama TKA Tiongkok di Kendari baru-baru ini telah disambut oleh demonstrasi dari masyarakat setempat. Sejak awal, kebijakan pendatangan ini memang menuai banyak sorotan minor dari berbagai pihak. Lantas, haruskah pemerintah Indonesia meniru kebijakan Presiden AS Donald Trump dalam masalah ini?


PinterPolitik.com

Tentu berat membayangkan posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Bayangkan saja, bahkan sebelum dirinya dilantik sebagai presiden terpilih pada Oktober tahun lalu, gelombang demonstrasi terbesar sejak kejatuhan Soeharto harus dirasakan. Setelah itu, kapal yang dinahkodai sang presiden nyatanya terus mengalami goncangan dahsyat yang silih berganti.

Mulai dari kasus Jiwasraya yang jamak dicurigai berkorelasi dengan Pilpres 2019, hingga yang terbaru, terkait pandemi virus Corona (Covid-19) yang memporak-porandakan perekonomian nasional. Terkhusus persoalan pandemi, ini tidak hanya memberikan bencana kesehatan dan ekonomi, melainkan juga semakin meningkatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi.

Salah satu bukti keras atasnya adalah, di tengah peningkatan angka pengangguran akibat pandemi, rencana pemerintah untuk mendatangkan 500 tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok ke Kendari, Sulawesi Tenggara menuai kecaman keras berbagai pihak karena dinilai tidak peka dengan situasi masyarakat saat ini.

Jika kondisinya normal, mungkin pendatangan itu tidak begitu merusak secara politik karena telah lama kebijakan semacam ini dilakukan. Akan tetapi, dengan situasi saat ini, kedatangan gelombang pertama TKA Tiongkok ke Kendari – 152 dari 500 TKA – bahkan sampai disambut oleh demonstrasi masyarakat.

Di belahan bumi yang berbeda, tepatnya di Amerika Serikat (AS), Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan yang dinilai tepat untuk merespon meningkatnya angka pengangguran domestik akibat pandemi Covid-19.

Kendati mendapatkan berbagai penolakan dari pelaku bisnis, Trump nyatanya tetap memberlakukan pembekuan sementara visa TKA yang ingin bekerja di AS. Alasannya? Ini untuk membuka setidaknya 525 ribu pekerjaan agar pekerja domestik AS dapat diserap.

Di luar kontroversi Trump, tentu kita dapat melihat bahwa kebijakan tersebut begitu positif, dan tampaknya dapat ditiru oleh Presiden Jokowi. Lantas, seberapa besar sekiranya kemungkinan Presiden Jokowi untuk meniru kebijakan Trump tersebut?

Nasionalisme Ekonomi

Telah menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dengan jargon America First-nya, Trump secara terang-terangan telah menerapkan nasionalisme ekonomi. Konsep ekonomi ini menekankan pada intervensi negara terhadap mekanisme pasar. Ini misalnya dengan kebijakan kontrol domestik atas ekonomi, tenaga kerja, pembentukan modal, hingga pada pengenaan tarif dan pembatasan lainnya tentang pergerakan tenaga kerja, barang, dan modal – kerap disebut sebagai proteksionisme.

Kebangkitan nasionalisme ekonomi sendiri dapat dipahami sebagai respon keraguan atas pasar bebas terkait sejauh mana sistem ini membawa keuntungan. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, sistem pasar bebas telah berulang kali dipercaya berkonsekuensi pada terjadinya krisis moneter global.

Pada prinsipnya, nasionalisme ekonomi menempatkan posisi pasar berada di bawah negara, dan harus melayani kepentingan negara. Alih-alih untuk mewujudkan kebaikan bersama seperti yang disebutkan oleh Adam Smith, nasionalisme ekonomi justru berposisi “realistis” dengan ingin mendapatkan keuntungan terbesar bagi dirinya sendiri.

Mengacu pada Mehmet Akif Okur dalam tulisannya Economic Nationalism: Main Concepts And Recent Trends, nasionalisme ekonomi AS sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelum Trump, praktik ekonomi ini, di mana AS kerap melakukan proteksionisme telah masif terlihat. Itu misalnya terlihat jelas ketika perusahaan minyak Tiongkok, China National Offshore Oil Company (CNOOC) akhirnya membatalkan rencananya untuk menawar perusahaan minyak AS, Unocal karena mendapatkan tekanan yang keras dari politisi AS pada 2005 lalu.

Akan tetapi, kendati terlihat begitu menguntungkan, seperti yang ditulis oleh Adam S. Posen dalam The Cost of Trump’s Economic Nationalism: A Loss of Foreign Investment in the United States, nasionalisme ekonomi Trump sebenarnya memiliki risiko ekonomi tersendiri.

Posen misalnya mencontohkan, sejak Trump menerapkan konsep ekonomi ini, investasi masuk ke AS dari perusahaan mutinasional telah jatuh hampir mendekati nol. Menurutnya, itu akan berdampak pada berkurangnya pertumbuhan pendapatan jangka panjang, mengurangi jumlah pekerjaan bergaji baik yang tersedia, dan mempercepat pergeseran perdagangan global menjauh dari negeri Paman Sam.

Konteks side effects seperti yang ungkit Posen ini jelas terlihat pada gejolak yang diterima Trump ketika memberlakukan pembekuan sementara visa TKA yang ingin bekerja di AS. Seperti yang disebutkan sebleumnya, kebijakan ini telah membuat Trump mendapatkan berbagai kritik dari industri yang membutuhkan TKA. Akan tetapi, apabila kembali merujuk pada nasionalisme ekonomi, kebijakan Trump tersebut tentunya dapat dibenarkan.

Terlebih lagi, kebijakan ini juga dapat mendatangkan dampak positif secara politik. Seperti yang diketahui, saat ini Trump tengah berjuang di Pilpres AS. Dengan menerapkan kebijakan proteksionis semacam itu, tentunya itu dapat meningkatkan kesan di tengah masyarakat bahwa jargon America First Trump bukanlah bualan semata.

Lantas, jika kebijakan ala nasionalisme ekonomi dapat berdampak positif bagi Trump, haruskah Presiden Jokowi menirunya?

Jokowi Alami Dilema?

Jika menyebut Presiden Jokowi tidak peka atas peningkatan pengangguran di tengah pandemi sehingga memperbolehkan pendatangan TKA Tiongkok ke Kendari sepertinya kurang tepat. Hal tersebut misalnya dapat disimpulkan dalam pemaparan Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali yang dikenal dekat dengan sang presiden di Podcast Deddy Corbuzier pada 7 Mei lalu.

Tuturnya, adalah persoalan ekonomi yang menjadi halangan terbesar Presiden Jokowi untuk menerapkan lockdown. Lanjutnya, mantan Wali Kota Solo tersebut sangat risau perihal nasib masyarakat yang mengandalkan penghasilan harian jika lockdown diberlakukan.

Lantas, jika pernyataan Rhenald Kasali benar, mengapa kebijakan pendatangan TKA tetap diteruskan?

Jawabannya mungkin karena Presiden Jokowi telah berada di posisi dilematis. Jika merujuk pada AS yang telah lama menjadi aktor utama di aktivitas ekonomi global, menerapakan nasionalisme ekonomi atau proteksionisme adalah hal yang wajar. Pasalnya, dengan posisi tawar yag kuat, negara-negara lainnya mau tidak mau harus mengikuti atau toleran terhadap negara Paman Sam.

Beda halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini belum menempatkan dirinya sebagai pemain utama. Kasarnya, posisi tawar Indonesia tidaklah mencukupi untuk meniru AS. Hal tersebut misalnya terlihat dari Indonesia yang masih tergantung pada impor. Pun begitu pada ketergantungan Indonesia pada investasi Tiongkok.

Pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, terlihat jelas bagaimana sang jenderal secara implisit menyebutkan bahwa posisi Indonesia begitu tidak sebanding dengan Tiongkok.

“Ekonomi Tiongkok ini hampir 18 persen pengaruhnya ke ekonomi global, kalau Amerika Serikat 25 persen. Anda suka tidak suka, senang tidak senang, mau bilang apapun, Tiongkok ini merupakan kekuatan dunia yang tak bisa diabaikan”, tegas Luhut pada 5 Juni lalu.

Tidak hanya dari pernyataan Luhut, posisi yang begitu tidak simetris juga terlihat jelas dari pernyataan gamblang Konselor Bidang Ekonomi dan Bisnis Kedubes Tiongkok untuk Indonesia Wang Liping. Tuturnya pada 24 Juni lalu, pekerja lokal (Indonesia) kebanyakan kurang terampil dan hanya menjadi pekerja biasa, sehingga membuat pekerja lokal memiliki gaji yang lebih rendah dari pekerja Tiongkok.

Pernyataan terbuka Liping tersebut tentu saja dapat dibaca bahwa ia merasa dapat menyatakan sesuatu, kendatipun itu tidak “mengenakkan” bagi tuan rumah. Ini tentunya menunjukkan bahwa Liping memiliki kuasa yang cukup untuk bertindak demikian.

Apabila kita bertamu ke suatu rumah, tentunya kita akan menjaga sopan santun agar nantinya tidak diusir oleh tuan rumah bukan? Akan tetapi, bagaimana jika tamu tidak diusir meskipun telah melakukan tindakan sesuka hati? Tentunya itu menunjukkan ia memiliki pengaruh yang mampu menundukkan tuan rumah bukan?

Analogi sederhana ini dapat kita gunakan untuk memahami posisi Presiden Jokowi saat ini. Suka atau tidak, investasi Tiongkok telah jamak disebut menancap dengan dalam di republik ini. Meskipun itu berdampak pada berhasilnya Presiden Jokowi menjalankan ambisi proyek-proyek infrastrukturnya. Namun, secara politik, semakin menancapkan investasi Tiongkok, itu berbanding lurus terhadap berkurangnya pengaruh Indonesia terhadap negeri Tirai Bambu.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, kendatipun pembatalan pendatangan TKA Tiongkok dapat meningkatkan kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi. Namun, dengan posisi tawar Indonesia saat ini yang dinilai tidak mencukupi, itu membuat kebijakan tersebut sulit untuk diambil.

Terlebih lagi, kebijakan pendatangan tersebut tentunya bertolak dari kontrak kerja sama yang telah disetujui sebelumnya. Pemutusan kontrak sepihak boleh jadi akan membuat investor menurunkan kepercayaannya terhadap pemerintah Indonesia. Tentunya ini bukanlah hal yang diinginkan Presiden Jokowi di tengah ambisisnya untuk menyerap investor sebanyak mungkin.

Yah, bagaimanapun, kita lihat saja bagaimana Presiden Jokowi bersikap atas masalah ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version