“Kan tidak bisa mendadak. Kalau memang itu saya lihat lagi. Apalagi waktunya mendesak. Tidak memungkinkan kan kita waktu ajukan ke dewan.” – Tri Rismaharini
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]pa kepanjangan dari THR? Benar, THR selama ini dikenal sebagai singkatan dari Tunjangan Hari Raya, aliran duit yang hadir jelang hari besar keagamaan. Meski demikian, sepertinya THR belakangan ini bisa memiliki kepanjangan yang lain. Berdasarkan beberapa pemberitaan terakhir, THR bisa juga berarti “Tjahjo Hadapi Risma”.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) belakangan memang terlibat perdebatan soal pembayaran THR untuk PNS. Hal ini dipicu oleh surat edaran Mendagri yang menyebutkan bahwa pembayaran THR dan gaji ke-13 PNS dibebankan kepada APBD, bukan APBN.
Sebagai kepala daerah, Risma tampak terkejut oleh surat edaran Mendagri tersebut. Menurutnya, pembayaran THR dari APBD hanya akan menjadi beban bagi APBD Kota Surabaya. Hal ini membuat Wali Kota Surabaya perempuan pertama itu mengaku keberatan atas surat tersebut.
Terlihat bahwa Risma sebagai pemimpin di tingkat kota berani menentang – atau setidaknya mempertanyakan – kebijakan pemerintah pusat tersebut. Ini bisa menjadi penanda bahwa ada rivalitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mengapa bisa terjadi perdebatan ‘Tjahjo Hadapi Risma’?
Asal Tjahjo Hadapi Risma
Surat edaran Mendagri soal pembayaran THR dan gaji ke-13 PNS memang tergolong memberatkan bagi beberapa daerah. Bagaimana tidak, daerah terpaksa merogoh kocek APBD mereka dalam-dalam untuk menyelamatkan kesejahteraan abdi negara mereka masing-masing.
Banyak kepala daerah buka suara terkait kebijakan Tjahjo yang dianggap sepihak tersebut. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno misalnya, menyebut bahwa Jakarta harus jungkir balik untuk mencairkan dana tersebut. Lebih tragis, Bupati Rembang Abdul Hafidz menyatakan bahwa PNS di kabupatennya tidak akan menerima THR karena minimnya dana yang tersedia.
Risma boleh jadi salah satu kepala daerah yang blak-blakan melontarkan kritik terhadap kebijakan sang Mendagri. Ia mengaku harus merogoh-rogoh keuangan kotanya jika ingin THR dicairkan melalui APBD. Hal ini kemudian memunculkan perdebatan berwujud ‘Tjahjo Hadapi Risma’.
Menurut Risma, ia tidak bisa begitu saja menyiapkan pos khusus untuk membayar THR dan gaji ke-13 PNS. Penganggaran itu tidak bisa dilakukan mendadak karena harus melalui mekanisme di DPRD. Ia mengaku bahwa kotanya masih memiliki uang, tapi itu sudah direncanakan untuk pos lain.
Poin Risma sepertinya bukanlah soal ada atau tidak ada dana. Mantan PNS Kota Surabaya tersebut tampak mengambil penekanan pada hal yang bersifat prosedural. Realokasi anggaran idealnya harus melalui APBD Perubahan (APBD-P). Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan mekanisme khusus dengan DPRD.
Terlihat bahwa kebijakan pemerintah pusat ini seperti membuka rivalitas antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks Tjahjo Hadapi Risma, terjadi perdebatan antara negara dengan kota. Risma sebagai pemimpin kota tampak berani untuk menantang kekuasaan negara dalam polemik THR.
Kota Menantang Negara
Munculnya kota sebagai penantang negara pernah dibicarakan oleh Benjamin Barber dalam bukunya yang berjudul If Mayors Ruled the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities. Ia menangkap fenomena bahwa belakangan negara semakin disfungsional, bahkan lumpuh. Sementara itu, kota-kota kini muncul sebagai kekuatan global yang baru.
Menurut Barber, mayor atau wali kota akan muncul sebagai kekuatan baru yang menentang negara. Ada beberapa faktor mengapa wali kota berpotensi menggantikan peran negara di mata masyarakat. Salah satunya adalah mereka bisa menjalankan roda pemerintahan secara pragmatis, jauh dari tekanan kekuatan nasional dan internasional.
Wali kota juga cenderung akan terlihat lebih minimal afiliasi politiknya. Mengutip perkataan mantan Wali Kota New York, Amerika Serikat, Fiorello La Guardia: “There is no Democratic or Republican way of fixing a sewer.” Unsur partisan akan berkurang dalam diri wali kota yang fokus bekerja.
Fakta:
– Presiden Jokowi bikin kebijakan THR untuk PNS & pensiunan di Indonesia
– PNS di daerah tak semuanya siap & ada alokasi utk THR, termasuk Risma, walikota yg sama2 dari PDIPIni berpotensi menimbulkan bencana kebijakan di berbagai daerah. pic.twitter.com/yVzgFsAfky
— Abah (@Abaaah) June 5, 2018
Terlihat bahwa Risma muncul sebagai sosok wali kota penantang negara tersebut. Risma selama ini memang terlihat lebih banyak bekerja untuk kotanya ketimbang mengurusi urusan pemerintah pusat. Dalam konteks THR, ia juga terlihat seperti sedang melindungi kotanya.
Langkah Risma mempertanyakan pemerintah pusat dapat dilihat sebagai upayanya untuk melindungi keuangan kotanya. Jelas, ia tidak ingin kotanya sembarangan mengambil dana tanpa prosedur yang tepat. Di sisi lain, ia juga ingin menunjukkan keberpihakan pada para PNS-nya bahwa ia harus tetap membayar apa yang menjadi hak para pegawai tersebut.
Risma tampak ingin melepaskan diri dari tekanan kekuatan nasional seperti yang dikemukakan oleh Barber. Ia tampak hanya ingin menerapkan asas good governance di mana proses penganggaran dilakukan sesuai dengan prosedur resmi melalui DPRD. Hal ini sejalan dengan pemikiran Barber bahwa wali kota adalah tawaran terbaik dalam mewujudkan good governance.
Risma juga melepaskan diri dari belenggu urusan kepartaian. Sebagaimana diketahui, Risma didukung oleh PDIP, partai asal Tjahjo. Sikap mempertanyakan kebijakan THR menunjukkan bahwa ia tidak partisan dalam mengambil kebijakan.
Sikap ini jelas menguntungkan bagi Risma. Merujuk pada Barber, kota merupakan inkubator inovasi sosial, politik, dan ekonomi. Kota juga tempat tinggal dari populasi masyarakat. Ada kecenderungan bahwa masyarakat merasa lebih dekat dengan kota ketimbang negara. Sikap Risma membuat masyarakat tersebut akan merasa pemimpin yang berpihak kepada mereka adalah wali kota, bukan pemerintah pusat.
Berdasarkan kondisi tersebut, langkah Tjahjo yang mengambil rivalitas dengan Risma dan kepala-kepala daerah lain dalam polemik THR bisa saja salah langkah. Negara yang sudah dianggap disfungsional, akan semakin ditinggalkan rakyat yang lebih loyal kepada para wali kota.
Menanjaknya Popularitas Wali Kota
Jika dicari kasus lebih spesifik, terdapat pula polemik antara Wali Kota London Sadiq Khan dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Ada nuansa serupa antara Tjahjo Hadapi Risma dengan Khan vs May, yaitu soal anggaran.
Khan mengritik keras May karena pemotongan anggaran keamanan yang dilakukan oleh pemerintahannya. Menurut Khan, hal ini berakibat pada meningkatnya aksi kekerasan di kotanya. Secara khusus, ia menyebut pemerintahan May anti-London.
May sendiri boleh jadi salah memilih musuh. Sebagai pemimpin tertinggi Partai Konservatif, mencari polemik dengan Khan, Wali Kota dari Partai Buruh, dapat berbuah bahaya bagi partainya di Pemilu Inggris nanti.
Tidak pernah ada yang bisa membayangkan Khan akan sepopuler sekarang. Pria berdarah Pakistan tersebut tidak pernah dianggap sebagai calon bintang bahkan di dalam partainya sendiri. Kursi Wali Kota London ternyata mampu mendongkrak popularitasnya di Inggris.
Selama menjadi Wali Kota, Khan memang terlihat sangat sibuk membangun kotanya. Ada suasana yang ingin dibangun bahwa ia sedang bekerja untuk rakyat. Hal ini termasuk kritiknya soal anggaran keamanan ibukota Inggris tersebut. Ia jelas ingin menunjukkan bahwa ia peduli dengan perlindungan dan keamanan warga London.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Barber bahwa Khan memang bekerja pragmatis untuk kepentingan rakyatnya, terlepas dari tekanan pemerintah pusat. Hal ini mirip dengan langkah Risma yang mempertanyakan kebijakan pemerintah soal dana THR.
Sama seperti Risma, urusan ideologi partai tidak lagi menjadi soal bagi Khan. Ia disebut-sebut memang mengambil jarak dari kebijakan Jeremy Corbyn selaku pemimpin Partai Buruh. Ia memilih sibuk bekerja untuk kotanya.
Kota London kemudian seperti terpisah dari pemerintahan Inggris di bawah May. Hal ini berakibat pada menanjaknya popularitas Khan sehingga namanya dibicarakan sebagai kandidat untuk menjadi Perdana Menteri. Terlihat bahwa pesona seorang Wali Kota mulai bisa menggeser popularitas politikus di tingkat pusat.
Bagi beberapa pihak, Khan bahkan diprediksi tidak akan melanjutkan masa jabatannya sebagai Wali Kota dan menjadi kandidat kuat mengisi kursi Perdana Menteri. Hal ini jelas tantangan bagi May dan Partai Konservatif.
Menanjaknya popularitas Khan dapat pula tertular pada Risma dalam pertarungan Tjahjo Hadapi Risma. Risma dan Surabaya dapat muncul sebagai pihak yang membuat negara semakin disfungsional. Masyarakat kemudian merasa semakin terpisah dari negara dan lebih dekat dengan Surabaya yang pemimpinnya bekerja untuk mereka.
Bukan tidak mungkin popularitas Risma bisa menguntungkannya secara elektoral. Hal ini misalnya pernah dialami oleh Joko Widodo (Jokowi). Menanjaknya pamor Jokowi sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta berhasil mengantarnya ke kursi RI-1. Risma bisa saja mengalami hal serupa jika pamornya sebagai wali kota terus menanjak.(H33)