Site icon PinterPolitik.com

Tito Kuda Hitam Terbaik di 2024?

Tito Kuda Hitam Terbaik di 2024

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. (Foto: JPNN)

Polemik menteri ad-interim interim plus arahan mengenai anatomi virus Covid-19 yang dianggap tidak sesuai dengan kompetensinya justru dinilai mengekspos sebuah proyeksi positif tersendiri bagi karir politik Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Proyeksi apakah itu?


PinterPolitik.com

Jika publik masih ingat, beberapa tahun lalu terdapat sebuah reality show bertajuk Jika Aku Menjadi yang berusaha memberikan sudut pandang tentang bagaimana seseorang merasakan sebuah profesi serta kehidupan yang berbeda, di mana umumnya merupakan kehidupan para kaum marjinal.

Program tersebut pula yang mungkin, dalam konotasi berbeda, dapat menggambarkan fenomena jamak tumpang tindihnya tupoksi di tataran elite pemerintahan belakangan ini.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang baru pulang dari Singapura, membawa buah tangan berupa wawasan khusus tentang virus pencetus Covid-19 yang ia sampaikan di depan para anak buahnya pada awal pekan ini.

Tito menjelaskan seluk-beluk anatomi virus Covid-19, baik dari sisi epidemiologi, struktur virus, serta kelemahan dan kekuatan. Menurutnya, hal tersebut penting sebagai wawasan kognitif dan bahan untuk mencari upaya-upaya pencegahan yang efektif terhadap penanganan Covif-19 oleh para jajarannya.

Reaksi bernada minor seketika datang dari publik yang terfokus pada kapasitas Tito karena dianggap tidak sesuai dalam menjelaskan persoalan teknis terkait virus Covid-19.

Di linimasa bertebaran berbagai rasionalisasi bahwa di level elite pemerintahan terdapat persoalan overlap atau tumpang tindih yang akut. Selain Tito yang dikatakan melampaui tugas Menteri Kesehatan (Menkes), publik mengkomparasikan pula fenomena lain seperti Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang justru mengurusi masalah pertanian yang dianggap jauh lebih ideal jika menjadi tupoksi Menteri Pertanian (Mentan).

Sementara di sisi lain, Mentan sendiri seolah sempat mengemban tupoksi Menkes saat mempromosikan kalung kesehatan penangkal Covid-19. Ditambah lagi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum lama ini justru tampak fokus pada persoalan ekonomi dan resesi ketika berbicara konteks Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kembali pada konteks Mendagri Tito, efek kunjungannya dari Singapura tampaknya juga tidak hanya menjadi awal impresi minor publik atas pembicaraan “anatomi virus”, tetapi juga menimbulkan kritik atas polemik beredarnya surat internal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang penunjukkan Mahfud MD sebagai Mendagri Ad-Interim yang awalnya cukup mengejutkan publik.

Desas-desus pun bermunculan dan turut ditanggapi oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera. Mardani menyebut Tito harus menjelaskan ada apa di balik ihwal yang oleh Ketua DPP PKS itu disebut di luar kebiasaan, serta dalam keperluan apa sang Mendagri berkunjung ke Singapura.

Polemik tersebut agaknya menyingkap dua makna menarik tersendiri pada sosoknya, yakni betapa pentingya jabatan yang diampunya serta karakteristik spesifik dari gaya kepemimpinan mantan Kapolda Metro Jaya itu.

Lalu, bagaimanakah signifikansi dari makna tersebut terhadap karier politik Mendagri Tito Karnavian ke depan?

Tito, “Nyawa” Jokowi?

Meski bukan bermaksud mengecilkan konteks, polemik yang disinggung Mardani memang dapat dijelaskan secara sederhana sebagai sebuah kelalaian administratif dan prosedural.

Selain itu, pihak Istana melalui Sekretaris Menteri Sekretaris Negara, Setya Utama menyebut bahwa penunjukan menteri ad-interim adalah hal yang lumrah, dan artinya tak memengaruhi legitimasi Tito sebagai Mendagri secara dramatis.

Kendati begitu, presumsi di balik perhatian Mardani menyiratkan makna bahwa posisi Tito Karnavian begitu vital. Ya, berdasarkan amanat konstitusi, Tito bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Menhan merupakan triumvirat jika negara dalam keadaan genting akibat Presiden serta Wakil Presiden (Wapres) tak lagi dapat menjalankan tugasnya.

Dalam tulisan berjudul The Ethics of the Right-hand Man, Uzi Benziman mengatakan bahwa setiap pemimpin memiliki right-hand man atau tangan kanan – dan berarti pula orang kepercayaan – yang secara spesifik dapat terlihat pada sosok-sosok seperti penasihat hingga menteri tertentu.

Selama ini, memang nama Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko sering disebut-sebut sebagai tangan kanan Presiden Jokowi. Seperti Erin Cook dalam What Does Indonesia’s New Cabinet Reshuffle Mean for Jokowi’s Future? yang menyebut Moeldoko adalah tangan kanan Jokowi karena eks Wali Kota Solo itu sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman kepemimpinan Moeldoko saat menjadi Panglima TNI.

Namun dengan rasionalisasi serupa, pengalaman dan kepemimpinan Tito sebagai mantan Kapolri yang sarat prestasi dinilai turut mengindikasikan bahwa saat ini, Mendagri-lah yang sesungguhnya merupakan right-hand man Presiden Jokowi.

Jika ditarik ke belakang, hubungan istimewa Presiden Jokowi dan Tito bersemi saat diangkatnya eks Kapolda Papua itu menjadi Kapolri pada tahun 2016. Di luar adanya intrik terkait nama Budi Gunawan, manuver berani Presiden Jokowi yang lebih memilih Tito yang tergolong masih junior kala itu menandakan awal keistimewaan tersendiri bagi hubungan keduanya.

Apalagi fakta sebelumnya menunjukkan jika posisi Mendagri diisi oleh kader PDIP yakni Tjahjo Kumolo. Sosok yang dinilai juga secara tidak langsung mewakili kepentingan penyokong Presiden Jokowi secara politik.

Artinya, ketika Tito diangkat sebagai Mendagri, sebuah posisi yang sangat strategis bagi tata kelola dan perpanjangan tangan pemerintah dari segi kebijakan maupun secara politik, boleh jadi hal itu menasbihkan bahwa Tito merupakan right-hand man Presiden Jokowi saat ini.

Kemudian, akankah kepercayaan tersebut berarti besar bagi karir politik Tito? Serta bagaimana dengan dampak dari kritikan yang justru diterimanya belakangan ini?

Kuda Hitam Paling Menjanjikan?

Secuil sentimen negatif atas arahan “anatomi virus Corona” Tito kepada para anak buahnya di Kemendagri yang dianggap di luar kompetensinya, tentu dapat dengan mudah dinegasikan.

Terlebih jika melihat signifikansi arahan Tito itu secara utuh, di mana bertujuan untuk memperkaya pengetahuan kognitif seluruh jajarannya agar terus bekerja dengan maksimal dalam berbagai porsi tugas yang dilaksanakan dalam penanganan Covid-19.

Jaan Sidorov dalam Explanatory and Declarative Leadership mengutip sebuah tipe kepemimpinan dari Mark Goulston, yakni explanatory leadership. Berdasarkan track recordnya, termasuk penjelasan mengenai “anatomi virus Corona”, Mendagri Tito tampak pantas disebut memenuhi kriteria dan karakteristik explanatory leadership.

Disebutkan Sidorov, explanatory leadership bertumpu pada kerangka rasional dari pengalaman serta signifikansi peristiwa di masa lalu dan saat ini. Dan oleh karenanya, tipe kepemimpinan ini selalu “mempersenjatai” audiens serta mereka yang dipimpinnya dengan wawasan dan pengetahuan.

Sidorov menyebutkan Abraham Lincoln, Franklin Delano Roosevelt, serta Hillary Clinton sebagai sosok dengan karakteristik kepemimpinan explanatory. Dan karakteristik tersebut turut membuat kualitas rekam jejak ketiganya sebagai pemimpin tergolong paripurna.

Kala menjabat Kapolri, Tito dinilai memang lekat dengan sosok pemimpin yang memberikan penjelasan dan pengetahuan dengan maksimal. Kasus Anarko Sindikalisme pada hari buruh setahun silam misalnya. Dengan kapasitasnya, Tito menjabarkan secara rinci aspek historis hingga perkembangannya di tanah air kepada publik.

Bahkan, Mariel Grazella dalam tulisannya yang berujudul Tito Karnavian Signifies the Nation’s Future menyebut Tito dengan “man with a plan” atau sosok yang memiliki atau selalu memiliki rencana.

Sebagai perwira polisi cerdas dengan berbagai prestasi di bidang akademik serta profesinya, Tito sebagai forward-thinker disebut begitu menekankan pentingnya pengetahuan konseptual dalam kepemimpinan dan organisasi.

Dengan kapasitas tersebut dan didukung dengan pengalaman serta posisi vitalnya kini sebagai Mendagri, Tito dinilai memenuhi sejumlah pra-syarat dan modal politik yang kuat jika nantinya dinamika politik mengantarkannya pada kontestasi pemimpin bangsa kelak.

Hal tersebut bahkan pernah disinggung oleh pengganti sementaranya tempo hari, Mahfud MD yang menyebut jika Tito adalah tokoh muda yang cerdas dan setiap pekerjaan yang dilakukannya selalu terukur. Bahkan Mahfud mengungkapkan harapan secara tersurat agar Tito dapat menjadi Presiden di 2024.

Meski terkesan berbau intermeso, nyatanya kinerja Tito sebagai Mendagri turut mendukung ekspektasi Mahfud tersebut. Hal ini sejalan dengan survei teranyar Indonesia Political Opinion (IPO) yang menyebut Tito merupakan menteri paling responsif selama pandemi Covid-19.

Dengan sederet kapasitas dan prestasi yang dimiliki, cukup sulit kiranya untuk mengesampingkan Tito dalam proyeksi pemimpin bangsa di masa mendatang.  Kemudian tinggal bagaimana Tito terus bekerja secara profesional dan melanjutkan tradisi berprestasinya saat masih berdinas di Trunojoyo.

Jika pra-syarat itu dapat dipenuhi dan dukungan publik serta politik kemudian mengarah padanya, Indonesia tentu akan memiliki opsi pemimpin dengan gaya serta progresitivitas yang lebih segar. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version