IndonesiaLeaks, platform media baru yang menjadi wadah masyarakat untuk membagikan data terkait kepentingan publik ini meraih Udin Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia lantaran keberaniannya mempublikasikan investigasi Buku Merah. Di tengah kondisi media yang memilih tidak memperbesar riak dengan otoritas pemerintah dan kepolisian, IndonesiaLeaks sepertinya merupakan angin segar atas hal tersebut.
PinterPolitik.com
Manusia “dikutuk” untuk menjadi bebas. Itulah tuduhan bapak eksistensialisme, Jean Paul Sartre terkait hakikat manusia. Atas tuntutan mengenai kebebasan, manusia senantiasa menjadi cemas dan gelisah ketika berhadapan pada berbagai bentuk pengekangan yang memeras nafas-nafas kebebasannya.
Saat ini, sepertinya lentik-lentik jemari kita begitu tertahan untuk berujar. Bukan tanpa alasan, semenjak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diterapkan, ini menjadi martir pemerintah untuk “mengangkut” berbagai pihak yang dinilai mencederai martabat negara untuk dijebloskan ke dalam penjara berjeruji dingin.
Tidak hanya kita, sudah menjadi rahasia umum bahwasanya media-media massa juga menahan diri agar tidak menciptakan riak besar terhadap pemerintah. Ini cukup menjadi ironi, mengingat peletakan dasar hukum yang mengatur kebebasan pers nyatanya tidak meregangkan jemari pers untuk memberitakan sesuatu.
Entah bagaimana ceritanya, terdapat peraturan tidak tertulis yang teramini oleh kesadaran kolektif media, bahwasanya terdapat hal-hal yang tidak dapat diberitakan – atas hal ini, mungkin kita cukup mengetahui dalam diam.
Kutukan kebebasan Sartre, benar-benar tenggelam di gelapnya pengekangan. Namun, sepertinya telah terjadi percikan api kecil yang memberi sinar yang melegakan.
Sinar itu adalah IndonesiaLeaks.
Kendati platform media ini begitu muda, nyatanya ia mampu dan berani untuk mempublikasikan hasil investigasi, salah satunya terkait kasus Buku Merah.
Penamaannya didasarkan pada barang bukti berupa buku berwarna merah yang berisi catatan aliran uang kasus suap kepada hakim konstitusi Patrialis Akbar pada Januari 2017. Suap itu sendiri terkait uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Ihwal yang menyebutkan Buku Merah menjadi begitu krusial adalah adanya dugaan aliran uang yang salah satunya mengalir kepada Tito Karnavian yang kini menjabat sebagai Kapolri.
Mengenai lanjutan ceritanya, dapat ditebak, berbagai teror dan upaya peretasan terus menemani sepak terjang IndonesiaLeaks. Inilah yang kemudian dijelaskan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bahwa IndonesiaLeaks menghadapi upaya pembungkaman pers gaya baru.
Atas keberaniannya inilah, AJI Indonesia menghadiahi IndonesiaLeaks sebagai pemenang Udin Award tahun 2019 karena dinilai telah meneruskan spirit Udin, wartawan Harian Bernas yang gugur ketika menjalankan tugas jurnalistiknya.
Tentu pertanyaannya adalah apakah kehadiran IndonesiaLeaks adalah bukti kecemasan publik terhadap tak lagi adanya oposisi kekuasaan – umumnya diambil perannya oleh pers – yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan seimbang?
State of Fear
Dalam kondisi saat ini, kita harus cukup berhati-hati untuk memberi penilaian, khususnya kepada lembaga negara. Ini menimbang pada tipologi dari John R. Searle dalam tulisannya Social Ontology (2006) yang membagi adanya dua pengamat (observer) dalam menilai realitas.
Pengamat pertama adalah observer independent, yaitu realitas yang independen (terlepas) dari penilaian kita. Contohnya adalah gravitasi, fotosintesis, ataupun solar sistem.
Sedangkan yang kedua adalah observer relative, yaitu realitas yang dependen (bergantung) dari penilaian kita. Kategori kedua ini adalah apa yang selama ini kita alami, seperti kita menilai adanya pengekangan, adanya ketidakadilan, dan sebagainya.
Fenomena-fenomena itu disebut relatif karena tanpa adanya manusia yang menilai, tidaklah mungkin fenomena tersebut eksis. Beda halnya dengan fotosintesis misalnya, tanpa kehadiran manusia, tumbuhan dan pepohonan senantiasa akan terus memproduksi makanan dan oksigen.
Mengingat fenomena sosial bergantung pada konsensus sosial yang menilainya, tidak mengejutkan, terdapat perbedaan-perbedaan tidak terhindarkan antara masyarakat ataupun pemerintah dalam menilai sedang berjalan ke mana negeri ini.
Di tengah situasi serba relatif itu, terdapat satu yang pasti, sebagaimanapun relatifnya kondisi yang ditemui manusia, akan selalu tercipta simbol-simbol atas kondisi fenomena sosial.
Merupakan kondisi alamiah manusia untuk memproduksi simbol. Kondisi ini kemudian melahirkan istilah animal symbolicum – makhluk yang menciptakan simbol – dari Ernst Cassirer. Terminologi ini merupakan perpanjangan dari tradisi Aristoteles yang menetapkan manusia sebagai animal rationale atau makhluk yang berpikir.
Oleh karenanya, tidak terhindar bagi kita selaku makhluk pencipta simbol, bahwa fenomena-fenomena sosial kita maknai dalam simbol-simbol tertentu, katakanlah dalam bentuk simbol pengekangan misalnya.
Merujuk pada Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die (2018), diungkapkan bahwa salah satu tanda perilaku otoriter adalah membatasi kebebasan sipil.
Levitsky dan Ziblatt memberikan pertanyaan, apakah mereka (pemerintah) mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan, atau hukum yang membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau polisi tertentu?
Membaca pertanyaan tersebut, sulit bagi kita untuk menghindari diri tidak menghubungkannya dengan pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang UU ITE.
Pasalnya, sampai saat ini, UU ini telah banyak memakan korban dan dinilai oleh berbagai pihak sebagai pasal karet. Salah satunya adalah Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) yang sudah jauh-jauh hari merekomendasikan mencabut dan meninjau ulang pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi dalam UU ITE.
ICJR bahkan menilai UU ITE menimbulkan keresahan dan berpotensi memecah belah masyarakat. Menyambung pernyataan ICJR tersebut, sepertinya kita benar-benar telah merasakan keresahan ini. Atas dasar UU ITE, kita perlu berpikir dua kali untuk sekedar menumpahkan kejenuhan pada lembaga negara atau pada proses demokrasi misalnya, bahkan lewat saluran-saluran kebebasan berekspresi di media sosial.
Kembali merujuk pada Levitsky dan Ziblatt, menimbang pada UU ITE tersebut, sepertinya lumrah kita menilai pemerintah boleh jadi telah berlaku otoriter.
Atas luapan keresahan ataupun atas kekhawatiran bahwa pemerintah telah berlaku otoriter, ini menciptakan kondisi yang disebut dengan state of fear, yaitu kondisi di mana tercipta ketakutan di tengah laku kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, boleh jadi kehadiran IndonesiaLeaks adalah perwujudan perlawanan terhadap kondisi tersebut. Persoalannya adalah apakah gerakan baru ini bisa benar-benar mewakil perlawanan masyarakat secara keseluruhan.
Zero-Sum Game
Gunnar Thesen, dalam tulisannya yang berjudul Political Agenda-Setting as Mediatized Politics? (2014) menyebutkan bahwa media massa memainkan peranan penting dalam zero-sum game, yaitu permainan yang menciptakan kalkulasi nol.
Maksud Thesen adalah, media dapat menjadi pihak yang dapat melawan narasi politik dari politisi ataupun partai politik (parpol). Ketika politisi melempar sebuah narasi, katakanlah revisi UU KPK dan RKUHP yang merupakan narasi bersimbol negatif (-), media lalu berperan untuk memberi respon kritik yang menolak keduanya, di mana ini merupakan narasi bersimbol positif (+).
Dalam hitungan matematis, negatif yang bertemu dengan positif akan menghasilkan kalkulasi nol. Ini yang disebut dengan zero-sum game.
Akan tetapi, seperti apa yang diungkapkan Thesen, kerap kali zero-sum game tersebut tidak menghasilkan kalkulasi nol karena tidak berimbangnya narasi politisi dengan media. Ketika politisi melemparkan narasi -3, kemudian media hanya memberi narasi +1, tentu hasilnya adalah -2.
Pada konteks Indonesia kini, narasi pengekangan sepertinya memiliki nilai yang lebih besar dari upaya perlawan yang hanya dilakukan oleh beberapa media. IndonesiaLeaks misalnya, media baru ini tentu tidak mampu memberikan perlawanan narasi berlebih kepada pemerintah.
Dalam buku merah tercatat ada dugaan aliran uang kepada Tito Karnavian. #IndonesiaLeaks pic.twitter.com/u6vBZqlo7O
— IndonesiaLeaks (@inaleaks) October 17, 2019
Ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, kolumnis David Zurawik mengeluhkan hilangnya “keseimbangan” media di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Ini tidak terlepas dari media yang kerap berlaku partisan, sehingga tidak memberikan narasi tandingan yang berimbang.
Pada dasarnya, media dapat mengambil peran sebagai oposisi bagi pemerintah. Ini mungkin dapat menjawab keresahan masyarakat atas keberlanjutan demokrasi di tengah kabar akan begitu gemuknya koalisi pemerintah.
Ini tentu mencederai logika demokrasi ketika parpol yang kalah dalam Pemilu sudah seharusnya menjadi pihak penyeimbang atau oposisi untuk memainkan perannya dalam melakukan check and balance.
Pada akhirnya, di tengah tensi politik yang tinggi saat ini, boleh kita berharap pada media berani seperti IndonesiaLeaks untuk mengambil peran parpol yang kalah sebagai oposisi. Namun, melihat tidak berimbangnya kekuatan narasi, sepertinya state of fear menjadi tidak terhindarkan. (R53)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.