Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan keinginannya agar masing-masing kepala daerah memasang kamera-kamera closed-circuit television (CCTV). Apakah wacana pemasangan CCTV ini akan berujung pada lahirnya surveillance state (negara pengawasan)?
PinterPolitik.com
“And life ain’t a rehearsal, the camera’s always rollin’” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menemui Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Dalam pagelaran penganugerahan Penghargaan Swasti Saba Kota/Kabupaten 2019, Tito berkali-kali memuji Risma.
Tito mengaku telah mengagumi gebrakan-gebrakan Risma di Surabaya semenjak dirinya masih menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Mungkin, saking mengagumi pemerintahan Risma di Surabaya, Tito akhirnya mendapatkan inspirasi kebijakan baru yang ingin diterapkannya, yakni pemasangan kamera closed-circuit television (CCTV).
Bagaikan seseorang yang memberitahukan obat tradisional – atau mungkin modern dalam kasus ini – yang dianggapnya mujarab, rekan-rekan kepala daerah lainnya pun diminta oleh Tito untuk memasang sistem CCTV serupa. Mendagri mengatakan bahwa CCTV nantinya akan memberikan banyak manfaat.
Salah satunya adalah manfaat keamanan. “Obat” ini pernah dirasakannya sendiri ketika masih menjabat sebagai Kapolri dalam menangani kerusuhan aksi pada 21-23 Mei 2019. Kamera-kamera yang dipasang di ruang publik Jakarta kala itu membantunya mengungkapkan seluk beluk kerusuhan itu.
Selain itu, Tito juga memberikan manfaat CCTV lainnya, yakni pengaturan lalu lintas dan kebersihan. Dengan begitu, kemacetan dan tempat-tempat yang kotor dapat segera dilancarkan dan dibersihkan.
Namun, uniknya, Tito tidak hanya sekadar mengusulkan “obat” CCTV biasa, melainkan mendorong pemasangan CCTV versi forte. Mantan Kapolri ini berharap CCTV yang dipasang dapat memiliki teknologi facial recognition (pengenal wajah) yang terhubung dengan database penduduk yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Tentunya, sebagai solusi baru yang ditawarkan, CCTV pun tidak akan lepas dari berbagai pertanyaan. Mengapa pemasangan CCTV ini dianggap bermanfaat bagi masyarakat? Lantas, apakah solusi ini tidak menimbulkan efek-efek samping lain?
Surveillance State
Teknologi pengawasan seperti CCTV ini bisa jadi melengkapi kehadiran negara di antara masyarakat. Melalui teknologi-teknologi ini, negara bisa saja memiliki infrastruktur lebih dalam menyediakan kebutuhan bagi warganya, seperti keamanan.
Negara-negara yang menerapkan pengawasan semacam ini sering kali disebut sebagai surveillance state (negara pengawasan). Secara umum, upaya-upaya pengawasan ini dilakukan demi alasan keamanan, seperti pencegahan tindakan kejahatan dan pemberantasan terorisme.
Radha D’Souza dalam tulisannya yang berjudul The Surveillance State menjelaskan bahwa kemunculan negara pengawasan sebenarnya bermula dari lahirnya negara modern. Dibandingkan dengan negara-negara feodal yang mensyaratkan kesetiaan warga kepada pemilik tanah (landowners), kesetiaan di negara modern berubah menjadi terpusat pada entitas negara konstitusional.
D’Souza menggunakan pemikiran politik Thomas Hobbes yang menekankan pada istilah Leviathan – sejenis monster dalam tradisi Yahudi – guna menggambarkan munculnya fungsi negara.
Dalam Leviathan state, masyarakat harus menyepakati sebuah kontrak sosial untuk menyerahkan kekuasaan (self-rule), perlindungan (self-defense), dan pemeliharaan diri sendiri (self-preservation) demi mendapatkan payung perlindungan (protection) dari sang Leviathan.
Dalam arti lain, warga memberikan sebagian kebebasan dirinya kepada negara agar mendapatkan perlindungan dari negara. Fungsi keamanan nantinya akan dipegang dan dijalankan oleh negara.
Pelaksanaan fungsi keamanan – khususnya dalam sistem pengawasan – seperti ini dapat diamati di Tiongkok. Negara Tirai Bambu itu merupakan salah satu negara yang kini berhasil mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) dan teknologi pengenal wajah dalam sistem pengawasannya.
Jianan Qian dalam tulisannya di New York Times berusaha menjelaskan dinamika diskursus yang terjadi di masyarakat Tiongkok mengenai pengawasan melalui CCTV yang dilakukan oleh pemerintah negara itu. Mungkin, perwujudan Leviathan state benar-benar berjalan di negara tersebut.
Dalam Leviathan state, warga memberikan sebagian kebebasan dirinya kepada negara agar mendapatkan perlindungan dari negara. Share on XPasalnya, upaya pengawasan yang prevalen di negara itu disebutnya disambut oleh warga Tiongkok. Sistem CCTV yang disertai dengan teknologi facial recognition menjadi hal yang esensial bagi masyarakat.
Sebagian masyarakat Tiongkok merasa negaranya lebih aman untuk ditinggali dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS). Qian menilai bahwa banyak warga Tiongkok merasa tidak masalah apabila kebebasan-kebebasan individunya dianggap terampas demi keamanan selama mereka mematuhi hukum yang berlaku.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Apakah wacana yang diusulkan oleh Mendagri Tito juga bertujuan untuk menghadirkan fungsi Leviathan seperti di Tiongkok?
Hampir sama dengan sistem pengawasan Tiongkok, Tito menginginkan adanya pemasangan kamera-kamera CCTV yang memiliki teknologi pengenal wajah. Mendagri juga mengharapkan lingkup sistem pengawasan di banyak titik.
Alasan keamanan juga menjadi salah satu faktor yang menjadi perhatian. Hal ini telihat dari cerita Tito yang menganggap CCTV bermanfaat dalam menangani kasus kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019 di Jakarta.
Bukan tidak mungkin pengawasan ini akan membatasi kebebasan dan privasi masyarakat seperti di Tiongkok. Artinya, wacana pengawasan melalui CCTV ini boleh jadi menjadi cara pemerintah untuk menjalankan peran Leviathan – di mana kapasitas dan kapabilitas pribadi diserahkan untuk perlindungan sebagai gantinya.
Namun, apakah peran ala Leviathan yang menguat ini memiliki dampak sosio-politik lain?
Dampak Pengawasan
Alasan keamanan memang sering kali mewarnai diskursus utama atas penggunaan sistem pengawasan massal. Namun, beberapa pihak menilai sistem pengawasan massal juga dapat mencederai hak pribadi (privacy) dan hak politik seseorang.
Perdebatan mengenai ancaman pengawasan pada hak pribadi – seperti data pribadi – ini pada beberapa bulan lalu mewarnai diskursus politik di Inggris – salah satu negara yang juga menerapkan pengawasan massal melalui kamera CCTV berteknologi pengenal wajah.
Seperti yang dijelaskan oleh Mendagri Tito, CCTV yang diwacanakannya beberapa waktu lalu dapat merekam gerak-gerik seseorang. Teknologi pengawasan semacam ini memang dikabarkan dapat merekam aktivitas warga yang nantinya menjadi database bagi aparat-aparat keamanan.
Uniknya, sistem pengawasan semacam ini tidak hanya melibatkan lembaga keamanan dan pemerintah, melainkan juga sektor swasta. Big Brother Watch – lembaga independen di Inggris – sempat mengeluarkan laporan bahwa tempat dan sektor swasta turut menggunakan teknologi pengawasan CCTV pengenal wajah.
I thought about something like that since i wrote some facial recognition tools.
Privacy is a human right and facial recognition overcomes that fundamental law.
We should be extremely carefully about that piece of technology.
We live in a surveillance state faster than we think.— Mathias Klingner (@KlingnerMathias) November 18, 2019
Bukan tidak mungkin informasi pribadi yang terekam pada akhirnya jatuh ke tangan sektor swasta. Mendagri Tito sendiri menyebutkan bahwa wacana pengawasan CCTV di Indonesia nantinya dapat melibatkan jaringan CCTV yang dimiliki sektor swasta.
Kemungkinan penyalahgunaan sistem pengawasan ini tidak hanya berhenti pada lingkup privasi. Banyak pihak menilai bahwa pengawasan massal akan berdampak pada ruang gerak politik oposisi.
David Davis – anggota parlemen Inggris – dalam tulisan opininya di The Guardian menjelaskan bahwa sistem pengawasan ini dapat menakuti upaya-upaya demonstrasi, serta mencegah kebebasan berkumpul dan berserikat. Davis menyebutkan bahwa demonstran dapat dikenai tudingan hukum tertentu.
Apa yang dijelaskan oleh Davis bisa jadi benar. Pengawasan ini bisa jadi merupakan bagian dari upaya dari tatanan dominan untuk mendisiplinkan, menakuti, dan mencegah gerakan-gerakan yang dapat mengganggu status quo.
Setidaknya, asumsi inilah yang dijelaskan oleh Aziz Choudry dalam bukunya yang berjudul Activitsts and the Surveillance State. Choudry menyebut dampak semacam ini sebagai efek pedagogis dari praktik-praktik keamanan.
Uniknya, adanya teknologi pengawasan massal melalui kamera pengenal wajah ini disebut-sebut merupakan bagian dari upaya Tiongkok dalam “mengekspor” cara-cara otoritarianismenya. Pasalnya, 45 persen pendapatan global dari sektor teknologi ini mengalir ke negara Tirai Bambu itu.
Bukan tidak mungkin wacana pemasangan kamera akan memperluas permintaan atas teknologi-teknologi Tiongkok ini. DKI Jakarta misalnya, sempat menjadi pelanggan bagi teknologi kamera CCTV milik Tiongkok yang kini dipasang di Jalan Sudirman sebagai Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).
Namun, kemungkinan itu bisa saja belum pasti akan terjadi. Pemasangan kamera CCTV di kota dan kabupaten yang diungkapkan Tito pun belum dilaksanakan.
Yang jelas, bila kamera pengawasan ini benar-benar terpasang, hal-hal yang dilakukan oleh warga pada akhirnya dapat diketahui oleh pemerintah. Lirik rapper Drake di awal mungkin dapat menggambarkannya. Dalam hidup ini, kamera akan tetap terus merekam – secara harfiah. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.