Video Tito yang viral memaksanya harus meminta maaf. Di satu sisi, ia memang buta sejarah, tapi di sisi lain ia juga dizalimi. Mengapa?
PinterPolitik.com
[dropcap]G[/dropcap]una menghindari adanya kontroversi lebih jauh, Tito akhirnya melayangkan permintaan maaf melalui Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam Indonesia, Hamdan Zoelva. Melalui keterangannya, Zulva berkata, “Beliau (Tito) mengatakan kalau memang ada yang kurang, ada yang salah, saya memohon maaf. Beliau sampaikan begitu,” jelas Zulfa.
Pihak yang awalnya ‘merongrong’ Tito adalah Tengku Zulkarnain, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga petinggi Front Pembela Islam (FPI). Ia langsung pula mengirimkan sebuah surat terbuka kepada Tito yang kurang lebih berisi bahwa pernyataan Tito berpotensi memecah belah umat islam dan ia diwajibkan meminta maaf atas hal tersebut.
Inilah video pidato Kapolri Tito Karnavian soal NU-Muhammadiyah di Banten. Pidato yang disampaikan pada 8 Februari 2017 kini sedang menuai protes beberapa pihak. pic.twitter.com/FrYqsZLryJ
— iNews (@OfficialiNewsTV) January 31, 2018
Di sisi lain, perlu pula mengetahui bila video Tito yang beredar tersebut sebetulnya video lama yang beredar sejak dua tahun lalu, yakni pada Februari 2016. Namun secara ajaib, video tersebut tiba-tiba kembali muncul dan menuai perdebatan. Tak salah pula bila banyak yang mencurigai adanya oknum yang dengan sengaja memainkan isu ini, mungkin demi tujuan dan kepentingan tertentu.
Walau Syarikat Islam sendiri sudah menyatakan kalau permasalahan tersebut sudah selesai, namun masih saja ada Netizen yang menggulirkan dan memperdebatkan. Di sisi lain, tak salah pula bila mengatakan kalau pernyataan Tito tersebut menunjukkan kurangnya pengetahuan sejarah Islam di tahan air seperti yang dikatakan oleh sejarawan dan intelektual Islam, Azyumardi Azra.
Dia berkata melalui Tempo bila, banyak tokoh Indonesia tak paham akan sejarah bangsanya sendiri, Tito Karnavian adalah salah satunya. “Banyak orang tidak tahu tentang eksistensi ormas Islam di Indonesia. Bukan hanya Kapolri, kebetulan tertangkap ketidaktahuannya. Seandainya ditanyakan kepada pejabat atau tokoh-tokoh negeri ini, sedikit dari mereka yang paham,” ujarnya.
Lantas apa bentuknya ketidakpahaman sejarah Tito dalam video tersebut? Lalu, dari sisi mana Tito dizalimi? Ada apa pula dengan Tengku Zulkarnain dan MUI?
Organisasi Islam dan Kemerdekaan
Seperti yang disebutkan oleh Azyumardi Azra, ada banyak tokoh yang punya pengetahuan rendah soal sejarah bangsa. Sebelum Tito, Anton Charliyan, calon gubernur Jawa Barat dari partai Gerindra yang juga mantan Irjen Polisi pun demikian.
Anton Charliyan pernah berkata, bila Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Hasyim As’syari adalah Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Padahal, Hasyim Asyari sudah meninggal saat BPUPKI didirikan di tahun 1923 dan yang berada di dalamnya adalah anaknya bernama Wahid Hasyim.
Sementara Tito berkata, selain NU dan Muhammadiyah, organisasi Islam yang ada berpotensi merontokkan NKRI juga tak sepenuhnya tepat. Organisasi Islam pertama di Indonesia malah berjasa mengorganisir massa, menghimpun kekuatan untuk melawan ketimpangan yang disebabkan monopoli ekonomi penjajah. Salah satunya adalah, Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1912.
SDI menjadi cikal bakal organisasi terbesar di Indonesia dengan anggota lebih dari 2 juta jiwa. Saat Haji Samanhudi, pendiri SDI, merasa kewalahan mengurus organisasi ini sendirian, ia pun menyerahkannya kepada HOS Tjokroaminoto. Tjokroaminotolah yang kemudian mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). SI di bawah HOS Tjokroaminoto berbasis di Surabaya.
Melalu SI, keresahan masyarakat karena mengalami kemiskinan terwadahi. Disatukan dengan agama, keresahan tersebut diolah menjadi sebuah bentuk advokasi dan aksi-aksi. Ini pula yang dilakukan oleh organisasi Jamiatul Akhir atau Jamiat Kheir yang berbasis di Tanah Abang, Jakarta.
Jamiatul Kheir bahkan lahir jauh sebelum SDI ada, yakni sudah sejak ada sejak 1901. Tahun 1920, Jamiat Kheir baru mendapat pengakuan sebagai organisasi dari pemerintah Belanda.
Sama halnya seperti SDI, gerakan ini fokus pada masalah sosial dan kerakyatan. Banyaknya orang yang jatuh miskin akibat pemerintahan Belanda, membuat organisasi islam seperti ini sangat berkembang pesat. Kekuatan ini digunakan untuk melawan kolonialisme Belanda.
Organisasi Islam NU dan Muhammadiyah juga lahir atas perjalanan panjang perkembangan organisasi Islam yang bergonta ganti jas, kepengurusan, dan juga ideologi. Walau begitu, semua disatukan dengan upaya mengadvokasi masyarakat melawan Belanda.
Organisasi Islam di masa perjuangan dibangun di atas ideologi kuat, yakni islam. Tetapi mereka tidak kaku dan tidak menolak pemikiran dari luar, misalnya dengan ideologi marxisme atau liberalisme. Selain itu, kegiatan organisasi islam diselaraskan dengan persoalan rakyat, seperti masalah para petani, kaum buruh, pedagang, dan lain-lain.Di masa itu pula, lahir tokoh-tokoh intelektual Islam progresif seperti Haji Misbach, Haji Agus Salim, hingga HOS Tjokroaminoto.
Dengan demikian, ungkapan Tito yang secara tak langsung menyebut hanya NU dan Muhammadiyah yang berjasa membangun negeri, tak adil, selain tentu saja buta sejarah. Bila melihat beberapa contoh ormas Islam yang disebutkan di atas, gerakan mereka malah menyumbang usaha dan keringat tak sedikit bagi keutuhan NKRI. Lebih jauh, bahkan keberadaan mereka yang menjalin keberadaan NKRI, bukan malah merontokkannya.
Namun bila melihat perkembangan ideologi yang terus menerus terjadi pada ormas islam saat ini, bisa pula dikatakan perkembangan ideologi yang mengarah pada ‘ancaman keutuhan dan keberadaan’ NKRI, mulai menjangkiti. Jika hendak menyebut salah satu yang berbahaya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bisa menjadi salah satunya.
HTI Tak Beroperasi ‘Senyap’
HTI dibubarkan oleh pemerintah bukan tanpa alasan. Walau pasal yang menjeratnya sarat polemik, yakni RUU Ormas yang rawan disalahgunakan, namun HTI berdiri dengan membawa ide radikal. Radikal di sini memiliki arti bahwa mereka menginginkan adanya perubahan sistem negara menjadi sistem khalifah. Tujuan tersebut tentu saja berseberangan dengan Pancasila. Ini pula yang mungkin atau lebih dekat dengan penerjemahan Tito akan ormas yang berusaha merontokkan NKRI.
Walau sudah dinyatakan sebagai ormas berbahaya dan dibubarkan, bukan berarti ideologi hilang sama sekali. Hei Wang Weng, seorang penulis di New Mandala mengemukakan bahwa walau HTI sudah dibubarkan, penyebarannya tak serta merta berhenti. Hingga hari ini, bahkan tanpa HTI, ideologi khilafah terus bisa disebarkan.
Felix Siaw tokoh HTI yang populer (pengikutnya di media sosial mencapai jutaan orang), barangkali bisa dinilai sebagai ustadz yang radikal. Tetapi, jika para pendukung melihatnya, ia lebih dipandang sebagai ustadz gaul. Buku-buku terbitannya, lekat dengan persoalan anak muda, terutama soal asmara. Siapa yang tak tahu Yuk Putusin Aja? Karena sangat populer, bahkan buku ini juga akan diangkat ke layar kaca. Ini pun belum menyebut kesuksesan bisnis fashion istrinya dengan label Alila, dan penerbitannya.
Cara Felix yang sebenarnya seorang mualaf inilah yang perlu diwaspadai. Ia memakai pendekatan apik, mempraktekkan ideologi HTI dengan memakai konsep yang inklusif, yakni Rahmatan lil Alamin (keberkahan untuk semua makhluk hidup). Namun bagaimana menjalankan ajaran dakwah inklusif dari seseorang yang memegang ideologi radikal HTI? Strategi ini yang menjadikannya bisa ‘bebas’ mempromosikan ideologi HTI, tanpa membawa nama organisasi dan bahkan aman dari pelanggaran hukum.
Jika apa yang dianggap Tito sebagai ormas berbahaya adalah HTI, tentu hal itu bisa diterima. Walau dalam perjalanannya, HTI ‘jarang’ memakai cara-cara kekerasan dan lebih persuasif, untuk mempromosikan ideologinya, namun ia tetap saja berseberangan dengan NKRI.
Lantas, sebagai pihak yang merongrong Tito Karnavian, posisi Tengku Zulkarnain juga membingungkan. Sebagai orang penting di MUI dan pihak yang memaksa supaya Tito memohon maaf, ia seakan tak mendapat dukungan dari tempatnya berasal. Benarkah ini hanyalah pernyataan personal dirinya saja?
MUI dan Tengku Zulkarnain, Jarang Seirama
Saat Tengku Zulkarnain melayangkan surat pribadi yang ditunjukan kepada Tito Karnavian, MUI langsung mengambil suara dan berkata apa yang dilakukan Tengku adalah pernyataan pribadi, bukan mewakili lembaga MUI.
Perkataan tersebut datangnya tak sembarang, yaitu dari Ma’aruf Amin, sang Ketua MUI. “Karena memang tak ada maksud untuk menafikan peran ormas-ormas lain tidak berjasa di negeri ini,” jelas Ma’ruf. Wakil Ketua MUI juga ikut berkata bila kritik Tengku Zulkarnain kepada Tito adalah atas nama pribadi, bukan secara lembaga.
Perbedaan ini tak hanya terjadi sekali saja, MUI seringkali lebih memilih untuk berjauhan dengan beberapa pernyataan dan kejadian yang menimpa petinggi Front Pembela Islam (FPI) tersebut. Saat Tengku Zulkarnaen ditolak oleh warga Dayak beberapa waktu lalu, MUI hanya memberi pernyataan bila pihaknya tak tahu menahu kabar tersebut.
Begitu pula saat Tengku Zulkarnaen ketahuan melakukan kesalahan saat mencantumkan sebuah ayat Alqur’an. Salah satunya adalah saat sang ustadz tersebut berkata siapapun yang menghina ulama, maka akan disambar petir sampai hangus. Tengku Zulkarnain menyebut pernyataan itu ada di Surah Attaubah ayat 20 – 22. Namun saat diteliti, apa yang dikatakannya tak ada. MUI memilih menolak menganggapi hal tersebut.
Tengku ini juga memiliki catatan yang kerap menyerang Jokowi dan Tito Karnavian dalam beberapa kesempatan. Tentu saja apa yang dilakukannya berpolemik bagi MUI, sebab bagaimana pun, MUI membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk tetap bisa ‘kuat’ di Indonesia.
MUI sejak awal berdiri memang memiliki hubungan yang kompleks dengan pemerintah, sebagai pendiri dan penyalur dana kepada lembaganya. Setelah kejatuhan Soeharto di tahun 1998, peran MUI secara sedikit tapi pasti mulai berkembang ke ranah formal, yakni ke dalam sistem negara dengan kerangka sistem dan tradisi islam. MUI mendapat peran dengan mengeluarkan fatwa dan sertifikasi halal. Ini yang menjadikan MUI sebagai salah satu ormas perkumpulan ulama terbesar dan terkuat di Asia Tenggara.
Walau kuat, MUI tetap saja membutuhkan peran pemerintah untuk tetap menjalankan fungsi formalnya tersebut. Dengan demikian, sebetulnya posisi Tengku Zulkarnaen di dalamnya menjadi sebuah riak tersendiri. Bila mengumpulkan jejak Tengku Zulkarnaen yang hampir selalu berseberangan dengan pemerintah, bukan tak mungkin kehadiran video lama dari Tito dan segala polemiknya memang sengaja dihadirkan untuk memperkeruh suasana. (Berbagai Sumber/A27)