Keinginan Titiek Soeharto untuk menggantikan posisi Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar disebut-sebut mewakili aspirasi perubahan: bukan hanya untuk kekuasaan, tetapi juga haluan partai.
PinterPolitik.com
“In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.” – Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Presiden ke-32 Amerika Serikat
[dropcap]M[/dropcap]ungkin, menjadi seorang presenter siaran sepakbola bukanlah bakat Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto. Tak heran, hanya 3 kali memandu siaran langsung pertandingan sepakbola Piala Dunia 2006, Titiek langsung ‘dipecat’ SCTV – tentu bukan dalam artian tersurat, karena ia adalah salah satu komisaris stasiun TV tersebut.
Kritik dan cercaan dari para gila bola tanah air memang menjadi pengangkat popularitasnya saat itu, seiring gosip 25 persen hak siar yang dibayarkan sebagai ‘imbalan’ penampilan penanda come back Keluarga Cendana di pentas nasional. Mungkin Titiek tak mau kalah bersaing dengan kakak-kakaknya Bambang dan Tutut yang memang dikenal sebagai pengusaha televisi.
Yang jelas, menjadi politisi sepertinya lebih cocok untuk Titiek. Kini, saat kisruh melanda tubuh Partai Golkar pasca penetapan tersangka dan penahanan sang Ketua Umum, Setya Novanto (Setnov) menjadi pergunjingan tak terkendali, nama mantan istri Prabowo Subianto ini muncul lagi. Bukan sebagai cameo, tapi tak tanggung-tanggung: menjadi salah satu calon pengganti Setnov!
Yang setuju ibu TitiekSoeharto mengantikan SN sebagai Ketum Partai Golkar, Silakan share sampai ramai#MbakTitiekKetuaGolkar pic.twitter.com/sePkmjmXK4
— Yayat Ruhiyat (@Yat_R) November 19, 2017
Belakangan, nama yang paling santer disebut dan paling berpeluang untuk menggantikan Setnov memang adalah Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. (Baca: Mungkinkah Setnov Dimakzulkan?)
Namun, munculnya nama Titiek tentu bukanlah kebetulan – seperti kata Franklin D. Roosevelt di awal tulisan ini: tidak ada kebetulan di dunia politik. Titiek juga menjadi salah satu kader Golkar yang secara terbuka menyatakan keinginannya untuk menggantikan Setnov di puncak partai kuning tersebut.
Hal ini tentu menarik, mengingat pasca reformasi, kiprah trah Soeharto di dunia politik tidak begitu jelas terasa. Dengan posisinya yang sekarang ini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Titiek berpeluang merebut pucuk pimpinan di Golkar, menjadi penerus trah Soeharto di dunia politik, dan berpotensi mengubah jalur politik partai yang dibesarkan oleh sang ayah ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin?
Penerus Trah Soeharto
Bukan tanpa alasan banyak masyarakat yang masih mengidolakan Soeharto. Bahkan, tidak sedikit yang menginginkan trah atau keturunan Soeharto kembali berkuasa di Indonesia. Terlepas dari berbagai kasus HAM, korupsi dan kondisi yang ‘terkungkung’ saat itu, para ‘penggemar’ Soeharto menyebut kondisi saat ini tidak lebih baik dari zaman Soeharto dulu – hal yang mungkin perlu diperdebatkan lebih jauh lagi.
Yang jelas, bermodalkan kekuatan finansial yang mumpuni, trah Soeharto masih sangat mungkin menjadi penguasa di negeri ini. Pada titik ini, peluang Titiek sebagai anggota Keluarga Cendana yang aktif berpolitik jauh lebih besar dibandingkan Tommy Soeharto untuk memenangkan kekuasaan – dalam skala partai maupun dalam skala yang lebih besar – karena Tommy punya catatan hukum berat terkait kasus pembunuhan. (Baca: Tommy Soeharto: Ke Jokowi atau Prabowo?)
Persoalannya tinggal kapabilitas kepemimpinan Titiek yang sejauh ini belum terbukti. Saat ini, Titiek memang menjabat sebagai anggota DPR RI dan posisi terakhirnya sejak Juli lalu adalah anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP). Namun, kapabilitasnya memang belum bisa diukur sejauh ini.
Lalu, seberapa besar kekuatan finansial Titiek Soeharto? Sejauh ini, tidak ada informasi pasti tentang seberapa kekuatan finansial Titiek – terutama untuk beberapa tahun terakhir. Namun, data finansial di tahun 1999 yang dikutip dari CNN menyebut total kekayaan Titiek saat itu diperkirakan mencapai 75 juta dollar (Rp 1,1 triliun kurs saat itu).
Jika asumsinya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus membaik dan tidak ada kerugian berarti dari sektor bisnis milik Titiek, bisa dipastikan jumlah tersebut tentu jauh lebih besar saat ini. Sebagai perbandingan, kekayaan Tommy Soeharto saat ini mencapai lebih dari 655 juta dollar atau Rp 8,8 triliun – jumlah yang diketahui.
Warisan Gurita Bisnis Soeharto?
Titiek tercatat memiliki beberapa jaringan bisnis layanan keuangan, listrik, komputer, perbankan, dan properti. Ia juga tercatat sebagai pemilik Grup Daya Tata Matra (Datam) dan Grup Maharani. Bahkan ia juga disebut menjadi chairman di Mulia Group, terutama di PT Mulia Intipelangi, pemilik Mal Taman Anggrek.
Mulia Group merupakan grup bisnis milik 4 bersaudara: Tjandra Kusuma, Djoko S. Tjandra, Gunawan Tjandra dan Eka Tjandranegara. Nama terakhir saat ini menjadi orang terkaya ke-26 di Indonesia, sementara Djoko Tjandra adalah salah satu buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hubungan Titiek dengan grup ini memang sempat mencuatkan gosip terkait adanya praktik KKN – walaupun hal ini belum bisa dibuktikan.
Titiek juga tercatat pernah menjabat sebagai komisaris di beberapa perusahaan, termasuk di PT Surya Citra Media yang menjadi induk stasiun TV SCTV. Ia juga tercatat pernah punya share di beberapa resort di Bali, bisnis di PT Sanur Hastamitra dan PT Sanur Dinamika (perusahaan milik Salim Group), PT Pesona First Pacific (Salim Group), dan franchise PepsiCo Indonesia.
Peneliti HAM Indonesia, Andreas Harsono dalam tulisannya untuk Corp Watch menyebut Titiek Soeharto menjadi bagian dari privilege Keluarga Cendana dalam kepemilikan bisnis minyak, plastik, suku cadang pesawat hingga petrokimia. Soeharto memang disebut ‘memiliki’ sekitar 1.247 perusahaan yang dikuasai oleh sekitar 20 konglomerat – disebutkan dalam jurnal Asian Wall Street edisi Mei 1998.
Reportase Majalah TIME juga menyebut Keluarga Cendana memiliki total 3,6 juta hektar real estate di berbagai wilayah di Indonesia – wilayah yang jika ditotal lebih luas dari negara Belgia. Jumlah itu termasuk 100.000 meter persegi wilayah utama perkantoran di Jakarta dan 40 persen dari wilayah Timor Timur. Jika benar, maka dengan warisan kekayaan tersebut, secara finansial, kekuatan politik Titiek Soeharto tidak perlu diragukan lagi.
Berbeda dengan Tommy, Titiek tidak mempunyai ganjalan berarti sebagai politisi. Namanya memang sempat mencuat ketika pengadilan menjatuhkan putusan ganti rugi Rp 4,4 triliun atas Yayasan Supersemar. Namun, persoalan tersebut tidak banyak berarti dan secara spesifik sulit menghambat karier politiknya.
Berebut Kursi Beringin
Khusus di tubuh Golkar, Titiek terlihat dekat ke kubu Aburizal Bakrie (Ical) – walaupun ia juga cukup dekat dengan Akbar Tandjung. Kedekatannya dengan Ical bisa dipastikan karena Ical-lah yang mengangkat Titiek menjadi salah satu Wakil Ketua Golkar pada Munas Bali 2014.
Terkait pergantian posisi Ketua Umum, Airlangga Hartarto merupakan salah satu calon terkuat untuk menggantikan posisi Setya Novanto – tentu saja ditengarai dengan bermodalkan dukungan dari pemerintah dan beberapa kubu di Golkar. Namun, munculnya nama Titiek boleh jadi menunjukkan ada kubu di Golkar yang tidak menginginkan jabatan itu jatuh ke Airlangga.
Jika mundur ke belakang, hubungan Airlangga dengan Ical memang terlihat kurang begitu baik. Airlangga adalah salah satu tokoh Golkar yang mundur dari pencalonan pada pemilihan Ketua Umum di Munas Bali 2014 karena menurutnya ada indikasi kecurangan. Ia kemudian bertemu dengan Agung Laksono dan diangkat menjadi Ketua DPP oleh kepengurusan Golkar Munas Ancol.
Apakah mungkin munculnya nama Titiek adalah karena Ical kurang setuju atas pencalonan Airlangga? Tidak ada yang tahu pasti. Politik internal Golkar masih akan berlangsung dinamis beberapa hari ke depan.
Titiek tentu saja punya kesempatan dengan memanfaatkan dukungan Ical, atau dengan dukungan faksi Golkar yang masih pendukung Soeharto dan Keluarga Cendana, atau bahkan sisa-sisa Golkar yang masih mendukung Prabowo untuk memenangkan kursi Ketua Umum Golkar.
Arah Golkar yang saat ini mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo juga membuat beberapa faksi tidak begitu suka. Ical misalnya hadir dalam perayaan kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang didukung Prabowo Subianto.
Jika mampu mengkapitalisasi dukungan tersebut, Titiek bukan tidak mungkin merebut pucuk pimpinan Golkar. Apalagi, saudaranya – Tommy Soeharto – juga masih punya pengaruh yang cukup besar di Golkar. Jika hal ini terjadi, maka Golkar sangat mungkin berubah haluan. Pertarungan ini juga akan sangat ditentukan oleh proses politik menjelang putusan praperadilan Setnov pada 30 November nanti.
Pada akhirnya publik tentu akan menunggu bagaimana kiprah putri Soeharto ini. Dengan usia yang masih 58 tahun, jika mampu meraih kursi kekuasaan di Golkar, bukan tidak mungkin Titiek Soeharto suatu saat bisa maju menjadi calon presiden RI – impian yang sepertinya tidak akan pernah bisa diwujudkan oleh Tommy adiknya. Peluang ini terbuka mengingat ia pernah diwacanakan menjadi cawapres Aburizal Bakrie menjelang pilpres 2014 lalu.
Peta politik yang dinamis dan perebutan pengaruh di partai beringin ini akan sangat menentukan wajah kontestasi di Pilpres 2019. Yang jelas, masyarakat akan menanti bagaimana kiprah Titiek dan kelanjutan drama tiang listrik serta rebutan kursi panas di pucuk Golkar ini. (S13)