Dengarkan artikel ini:
Penyanyi legendaris, Titiek Puspa, yang dikenal dengan sebutan “penyanyi Istana” meninggal dunia pada Kamis, 10 April 2025. Mengapa sosok Titiek Puspa memiliki pengaruh besar di dunia politik?
“Kepadamu Bapak kami Soeharto, terima kasih dari rakyat semua” – Titiek Puspa, “Bapak Kami Soeharto” (1987)
Kenny sedang membuka ponsel saat berita duka itu muncul di layar: Titiek Puspa, legenda musik Indonesia, tutup usia. Ia berhenti sejenak, terdiam, lalu memutar salah satu lagu Titiek yang pernah ia dengar dari neneknya, “Kupu-Kupu Malam.”
Baru kali ini Kenny sadar bahwa Titiek Puspa bukan sekadar penyanyi legendaris, tapi juga sering disebut sebagai “penyanyi Istana.” Ia membaca bahwa sejak era Soekarno, Titiek sudah tampil dalam berbagai acara kenegaraan, menyanyikan lagu-lagu yang sering membuat presiden dan para pejabat ikut larut dalam suasana.
Kenny pun bertanya-tanya, kenapa ya presiden Indonesia suka sekali dengan hal-hal yang berhubungan dengan musik dan nyanyian? Ia teringat saat Jokowi tampil di panggung menyanyikan lagu rock, atau saat BJ Habibie dengan penuh cinta menyanyikan lagu-lagu untuk istrinya, Ainun.
Semakin ia pikirkan, semakin jelas bahwa bukan hanya di Indonesia fenomena ini terjadi. Banyak pemimpin Asia—dari Rodrigo Duterte di Filipina sampai pemimpin Korea Utara—juga dikenal suka bernyanyi di depan publik atau dalam acara formal.
Apakah ada makna tertentu dari kebiasaan ini? Apakah ini cara mereka mendekatkan diri dengan rakyat? Apakah nyanyian menjadi bahasa lain yang lebih efektif dari pidato politik? Atau mungkinkah, ada sesuatu dalam budaya Asia yang membuat musik begitu menyatu dengan kekuasaan?
Hobi Pemimpin Asia: Bernyanyi?
Seusai mendengar lagu-lagu Titiek Puspa sepanjang malam, Kenny masih tak bisa berhenti memikirkan kenapa banyak pemimpin di Asia suka bernyanyi. Ia merasa ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—mungkin ada kaitannya dengan cara para pemimpin memandang relasi mereka dengan rakyat.
Keesokan harinya, Kenny membuka laptop dan mulai mencari artikel tentang budaya politik Asia. Ia menemukan sebuah tulisan menarik karya Yoshihiro Francis Fukuyama berjudul “Confucianism and Democracy” dalam jurnal Journal of Democracy (1995), yang menjelaskan bahwa banyak negara Asia Timur dan Tenggara menganut pola kepemimpinan paternalistik.
Paternalistik berarti pemimpin dipandang seperti “ayah” bagi rakyatnya—ia mengayomi, melindungi, dan kadang menunjukkan sisi personal demi membangun kepercayaan. Kenny merasa, dari sudut pandang ini, nyanyian bukan lagi hiburan semata, melainkan bagian dari bahasa kepemimpinan yang akrab, penuh perasaan, dan membumi.
Fukuyama menyebut bahwa dalam masyarakat dengan nilai-nilai Konfusianisme yang kuat, hubungan vertikal antara pemimpin dan rakyat justru dipererat lewat ekspresi emosional. Kenny kemudian teringat bagaimana Presiden Tiongkok atau pemimpin Korea Utara sering tampil dalam paduan suara atau menyanyikan lagu rakyat di acara resmi—bukan untuk bersenang-senang, tapi memperkuat legitimasi moral mereka.
Ini menunjukkan bahwa ekspresi seni sering digunakan pemimpin untuk membentuk citra sebagai figur hangat dan dekat. Ia pun membayangkan kembali Jokowi yang pernah bernyanyi di festival musik, dan Megawati yang sesekali bernyanyi lagu kenangan di acara partai.
Dari sini Kenny merasa bahwa bernyanyi mungkin adalah bagian dari strategi membangun kepercayaan dalam politik Asia yang paternalistik. Jika, di banyak negara Asia, pemimpin suka bernyanyi, bagaimana dengan di Indonesia?
Titiek Puspa: Puncak “Hobi Bernyanyi” Para Presiden?
Di sore yang mendung, Kenny duduk di teras rumah sambil membaca lebih banyak artikel tentang pertanyaan-pertanyaan ini. Setelah beberapa hari tenggelam dalam lagu-lagunya, ia merasa makin yakin bahwa Titiek bukan sekadar penyanyi legendaris, tapi bagian penting dari sejarah kepemimpinan di Indonesia.
Dalam satu artikel dari buku Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia karya Stefan Eklöf, Kenny menemukan penjelasan menarik tentang bagaimana seni digunakan oleh negara sebagai alat representasi kekuasaan. Pada era Orde Baru, musik, sandiwara, dan seni pertunjukan dijadikan saluran komunikasi simbolik antara pemimpin dan rakyat.
Titiek Puspa, dengan liriknya yang sederhana namun menyentuh, serta sikapnya yang santun, menjadi simbol dari harmoni yang ingin ditampilkan negara. Kenny membaca bahwa banyak pertunjukan Titiek di Istana Negara bukan hanya soal hiburan, tapi juga penguatan imaji pemimpin yang “paham selera rakyat.”
Dalam acara kenegaraan, nyanyian Titiek menjadi “penenang sosial” di tengah tekanan politik dan ekonomi. Kenny menyadari, melalui lagu-lagunya, Titiek secara tak langsung memenuhi kebutuhan para pemimpin untuk tampil dekat, hangat, dan penuh perasaan—citra yang dibutuhkan dalam sistem paternalistik Indonesia.
Buku Performing the Nation: Cultural Politics in New Order Indonesia karya Jörgen Hellman juga menjelaskan bagaimana negara memelihara bentuk-bentuk seni yang sejalan dengan narasi nasionalisme dan stabilitas. Kenny pun melihat bahwa Titiek bukan hanya dipilih karena suara emasnya, tapi karena ia mampu menjadi jembatan antara rakyat dan negara.
Di hadapan rakyat yang kadang sulit dijangkau oleh jargon politik, nyanyian menjadi bahasa yang lebih mudah dipahami. Dan di tangan Titiek Puspa, bahasa itu menjadi lembut, akrab, dan sekaligus strategis.
Bagi Kenny, kini jelas bahwa di Indonesia, pemimpin suka bernyanyi bukan hanya karena hobi—tetapi karena nyanyian adalah bagian dari cara mereka membangun kepercayaan dan membentuk makna kekuasaan. (A43)