Titiek resmi hengkang dari Golkar, apakah ini berarti karirnya akan gemilang bersama Partai Berkarya?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]aat Titiek Soeharto menyatakan keluar dari Golkar dan menyebut partai bersimbol beringin hitam tersebut tak membutuhkannya lagi, sosok Ronald Reagan tiba-tiba saja teringat. Di tahun 1962, dirinya berkata Partai Demokrat sudah meninggalkannya sehingga ia harus pindah ke Partai Republik. Keputusan Reagan saat itu, membuat karir politiknya moncer. Ia terpilih sebagai Gubernur California, dan satu dekade berikutnya menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ke-40.
Keputusan Titiek berpindah ke Partai Berkarya, memang belum bisa menjamin dirinya akan menjejaki karir politik semulus karir Reagan. Namun jika Titiek masih kuat menyimpan hasrat dan berusaha banyak, siapa yang bisa membendung kelak?
Titiek Soeharto sudah sejak dulu menyimpan hasrat ingin mengembalikan Golkar ke akarnya. Yang dimaksud dengan akar, adalah mengembalikan partai kepada keluarga Cendana alias keluarga Soeharto. Tentu kepentingannya tersebut bertabrakan dengan kepentingan politisi lain di dalamnya.
Hal paling mudah bisa terlihat dari bagaimana dirinya ikut mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar pada Desember 2017 lalu. Terekam bagaimana Titiek sempat optimis dan bahagia, bisa memasuki bursa pencalonan Ketum Golkar. Saat itu, Akbar Tandjung, Try Sutrisno, Emil Salim, dan Haryono Suyono satu persatu dimintaii nasehat dan petuahnya.
Kepada media, anak keempat Soeharto ini menyatakan miris dengan Golkar yang dikaitkan dengan partainya koruptor. Dari sana, Titiek juga berkata ingin mengembalikan marwah Golkar kepada akarnya. Tetapi sayang, beberapa hari kemudian, Airlangga Hartarto ternyata terpilih secara aklamasi sebagai ketua yang baru.
Langkah yang persis sama, juga pernah ditempuh adiknya di tahun 2009 silam. Sebelum keluar dan mendirikan Partai Berkarya, Tommy juga berhasrat menjadi pemimpin partai penopang ayahnya itu. Tetapi pahit harus dikecap anak bontot Soeharto ini, sebab tak ada satu pun suara yang mendukungnya, bila dibandingkan dengan Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Aburizal Bakrie.
Kini Titiek dan Tommy, serta Retnosari Widowati Harjojudanto (Eno Sigit) yang notabene adalah cucu Soeharto, sudah berada dalam satu naungan partai yang punya misi meneruskan perjuangan Soeharto di Indonesia.
Dengan keputusan pindah ini, apakah Titiek benar bisa menemukan jalannya bersama Partai Berkarya? Sebesar apa peluang yang dimiliki diri dan Partai Berkarya untuk sukses Pilpres 2019?
Rumus Tetap Bersinar
Titiek tentu saja bukan politisi pertama yang loncat dari satu partai ke partai lain. Jika hendak mengingat sejenak, ada nama Priyo Budi Santoso yang juga pindah dari Golkar ke Partai Berkarya. Lalu, Ruhut Sitompul juga pernah keluar dari Golkar, lantas ke Demokrat, dan saat ini berada di PDIP.
Bahkan Basuki Tjahaja Poernama pun demikian, ia pindah dari Partai Partai Indonesia Bersatu (PIB), masuk Golkar, lalu berlabuh ke Gerindra, hingga terakhir berpolitik sempat diusung oleh PDIP.
Fenomena perpindahan politisi dari satu partai ke partai ini, tentu tak bisa dilepaskan dengan hasrat politik yang dimilikinya. Tentu seorang politisi akan memilih bergabung dengan partai yang mendukung kepentingannya.
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Profesor Leif Lewin dalam essay-nya berjudul Self Interest and Public Interest in Western World. Lewin menulis bahwa politisi memang termotivasi untuk melindungi, membangun kekuatan, dan pengaruhnya dalam posisi terpilih mereka. Cara paling utama yang dilakukan adalah bertahan atau berpindah ke ruang organisasi yang paling banyak menampung kepentingannya (self-interest).
Lebih jauh lagi, Lewis menyebut bahwa dalam praktik seperti ini politisi akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya (self-interest) dibandingkan dengan kepentingan bersama (public-interest).
Dengan penjelasan dari Lewis itu, tentu kepindahan Titiek ke Partai Berkarya diiringi dengan keberadaan wadah yang lebih besar dan luas untuknya, guna mencapai hasrat pribadi (self-interest). Hasrat atau kepentingan Titiek bisa terlihat untuk membuat Cendana kembali menguat, selain tentunya mengembalikan pengaruh Soeharto.
Tetapi langkah Titiek untuk mendapatkan kepentingan pribadi di Partai Berkarya, tak hanya bisa sukses tanpa adanya parameter lain. Bila hendak dirumuskan, Titiek bisa berkiblat kepada aturan Louis Jacobson, pengamat politik asal AS, yang menulis Does Party Swithing Help or Hurt a Politician’s Career?
Jacobson memperhatikan bahwa ada tiga indikator yang dapat membuat langkah politisi makin meroket, atau setidaknya tak jatuh saat berpindah partai politik. Elemen tersebut antara lain adalah tingkat kekayaan, kekuatan memegang suara massa, dan ideologi, hingga tingkat kepercayaan publik terhadap partai sebelumnya.
Nah dengan berbekal ukuran yang digariskan Jacobson (yakni tingkat kekayaan, kekuatan memegang suara massa dan ideologi, hingga tingkat kepercayaan publik terhadap partai) apakah langkah Titiek dengan bergabung bersama Partai Berkarya sudah tepat untuk mendongkrak karier politiknya? Lalu apakah Partai Berkarya bisa ikut terangkat pula?
Ada Strategi di Dalamnya
Bicara soal pengaruh dan kekayaan, bergabungnya Titiek bersama Partai Berkarya, makin membuat kekuatan trah Soeharto menjadi fokus dan terpusat. Tak hanya Titiek, Partai Berkarya juga diisi oleh cucu Soeharto, Retnosari Widowati Hardjojudanto alias Eno Sigit. Bahkan, Tutut Soeharto pun dikabarkan bakal menyusul pula masuk ke dalam partai.
Dari sini, Partai Berkarya secara tidak langsung menjadi tempat berkumpul para politisi keturunan trah Soeharto. Lebih jauh lagi, dengan misinya, yakni hendak meneruskan perjuangan Soeharto, partai ini pasti juga akan mendulang dukungan dari pendukung Soeharto.
Dengan demikian, Titiek punya modal besar untuk mempertahankan suara massa pendukung Soeharto bersama dengan keluarganya alias Partai Berkarya. Bamsoet, politisi Golkar dan Ketua DPR, bahkan mengakui bahwa ketokohan Soeharto masih sangat berpengaruh di kalangan grassroot (akar rumput) Golkar. Dari sini, Bamsoet mengajak supaya Golkar giat menjaga dan meningkatkan elektabilitas, sebab tanpa trah Soeharto dalam partai beringin, habis sudah.
Walau banyaknya jumlah pendukung Soeharto tak terpapar dalam angka, tetapi dari pernyataan Bamsoet dan sejarah partai Golkar, ketokohan Soeharto masih diperhitungkan di dalamnya. Hal ini dapat ditambahkan pula dengan hasil survey Indo Barometer yang pada April lalu, menyebut Soeharto adalah presiden paling berhasil di Indonesia. Dari sana, aroma romantisme Soeharto sempat kembali menyeruak.
Tak hanya mengumpulkan keluarga dan pendukung Soeharto saja, kekuatan kapital juga berarti akan terpusat di Partai Berkarya. Sudah jadi rahasia umum bila trah Soeharto memiliki harta melimpah, sebagai contoh kecil, Tommy Soeharto si Ketum Berkarya pernah masuk sebagai salah satu dari “150 Orang terkaya di Asia” tahun 2016.
Selain Tommy, Tutut juga memiliki aset senilai 700 juta dollar, hanya Titiek yang mengantongi 75 juta dollar.
Fakta ini, membuat Titiek dan Partai Berkarya berhasil memenuhi kriteria kekuatan meraup massa pendukung Soeharto dan juga kekayaan yang digariskan oleh Jacobson. Kekuatan kapital yang berpengaruh ini, membuat Berkarya tak harus bergantung pada kekuatan lain di luar partai dan trah Soeharto. Makin kecil pula untuk berkompromi.
Kekuatan kapital atau kekayaan melimpah juga pernah membuat Michael Bloomberg seenak jidat pindah dari satu partai ke partai lain, bahkan dirinya tidak peduli dengan kejatuhan partai yang melanda setelah kepergiannya, sama sekali tak mempengaruhi dirinya.
Selain itu, kesempatan Titiek untuk lebih dominan atau setidaknya ‘bersinar’ juga lebih besar bila berada di Partai Berkarya. Di partai terdahulu, Titiek (maupun Tommy) tak mempunyai ruang sendiri untuk menempati jabatan tinggi partai penopang ayahnya. Sebaliknya, dalam tiap kesempatan pemilihan Ketum, Titiek tenggelam dengan keberadaan tokoh lain.
Lantas, bagaimana dengan tingkat kepercayaan partai yang Titiek datangi dan tinggalkan?
Bisakah Berjaya?
Tak bisa dipungkiri bila keberadaan Partai Berkarya, utamaya memang bergerak sebagai ‘penawar rindu’ kalangan Soehartois. Semangat ini menjadi pegangan Berkarya sebagai alternatif pilihan partai politik yang meramaikan Pilpres 2019.
Tetapi sejauh apa kekuatan ketokohan yang melekat di partai ini?
Golkar sebelumnya juga lekat dengan label sebagai partai Soeharto, sebab selama 32 tahun memimpin, dirinya disokong oleh Golkar. Namun memasuki Reformasi, Golkar berusaha melepaskan citra Soeharto di dalam tubuhnya, selain berusaha melepaskan diri dari partai korup.
Persepsi masyarakat terhadap Golkar melunak, saat Setya Novanto diadili dan dilengserkan dari Golkar. Saat Golkar menyatakan dukungan pada Presiden Jokowi, Golkar dianggap sedang memasuki fase yang baru. Semangat tersebut, sempat membahana di berbagai media.
Sementara Partai Berkarya, sejak awal memiliki tujuan untuk meneruskan perjuangan Soeharto. Maka, saat ditanya soal kerja dan tujuan, kader Berkarya menjawab mereka bermodalkan ketokohan Soeharto.
Ketokohan Soeharto memang masih berpengaruh, baik untuk Golkar, Berkarya, dan anak-cucunya. Tetapi, nostalgia politik tak cukup kuat untuk membuat elektabilitas dan popularitas partai terdongkrak, terutama bagi Partai Berkarya.
Dalam politik nostalgia restoratif yang dijalankan oleh Partai Berkarya beserta anak-anaknya, dengan jargon mengulang kembali ‘Orde Baru di bawah Soeharto’, bertolak dengan rindu pembangunan yang dilakukan Soeharto.
Hal tersebut disampiakan oleh Yunarto Wijaya, Direktur Charta Politika, yang menyatakan bahwa memang masih ada sebagian masyarakat yang rindu Soeharto, tetapi bukan ketokohannya melainkan rindu terhadap pembangunan yang dilakukan Soeharto. Yunarto melanjutkan, dirinya ragu anak-anak Soeharto bisa mencapai hasil yang diharapkan.
Bila benar demikian, maka setelah mampu memusatkan kapital dan massa pendukung Soeharto, Titiek harus berhati-hati memainkan ‘romantisme’ ayahnya. Bagaimana pula, romantisme Soeharto dalam benak pendukungnya juga meliputi pembangunan yang berhasil dan stabilitas keamanan yang diciptakan pada masa Soeharto.
Bila elemen kekayaan dan massa sudah mantap dipegang, kini waktunya Titiek dan Partai Berkarya menghaluskan nostalgia agar dirinya gemilang usai hengkang dari Golkar. Nah, mampukah Titiek dan Partai Berkarya mewujudkannya? (A27)