Site icon PinterPolitik.com

Titian Terjal Optimisme 2021 Airlangga

Titian Terjal Optimisme 2021 Airlangga

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. (Foto: Humas Kemenko Perekonomian)

Seri pemikiran Fareed Zakaria #29

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto optimis bahwa perekonomian Indonesia akan bangkit di tahun depan, yang mana salah satunya dikarenakan eksistensi vaksin Covid-19. Lantas, apakah optimisme tersebut berbanding positif dengan preseden dan realita yang ada?


PinterPolitik.com

Jelang hari-hari terakhir di tahun 2020, sebagian besar masyarakat dunia menatap warsa baru dengan harapan yang mungkin jauh berbeda dari pergantian tahun-tahun sebelumnya.

Tak lain dan tak bukan, pandemi Covid-19 beserta dampak multi dimensi yang ditimbulkannya, membuat impresi dari sebagian besar hari di tahun 2020 sebagai momen kelabu.

Bukan hanya dari sisi setiap individu, berbagai negara pun mulai membangun proyeksi akan seperti apa pemerintahan dan kondisi domestik berbagai aspek di tahun mendatang.

Indonesia pun seolah menjadi negara yang cukup optimis bahwa kondisi di tahun 2021 akan lebih baik. Teranyar, optimisme itu dihembuskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto.

Dalam agenda Outlook Perekonomian Indonesia 2021 dengan tema Meraih Peluang Pemulihan Ekonomi 2021, Airlangga optimis bahwa tahun depan akan menjadi momentum pulihnya perekonomian Indonesia yang terdampak hebat sepanjang sepuluh bulan pandemi berlangsung.

Data dan variabel perekonomian yang terlihat jelang akhir tahun 2020 menjadi landasan keyakinan eks Menteri Perindustrian itu.

Selain faktor tersebut, optimisme juga dilandasi dari telah hadirnya vaksin Covid-19 di tanah air. Sekali lagi, Airlangga menyebut bahwa vaksinasi merupakan game changer perekonomian nasional di tengah hantaman pandemi Covid-19.

Vaksin disebut akan meningkatkan rasa aman di masa pandemi, yang kemudian diharapkan dapat mengarahkan masyarakat untuk memulai kembali aktivitas serta mobilitas perekonomiannya.

Menjadi hal yang lumrah dan sama sekali tidak keliru memang bagi pemerintah untuk memunculkan optimisme tersebut. Akan tetapi, apakah optimisme, khususnya yang berkorelasi dengan vaksinasi itu selaras dengan realita yang ada? Serta mengapa Airlangga mengedepankan optimisme tersebut?

Optimisme Satu-Satunya Kunci?

Agaknya tidak terlalu dini memang untuk merencanakan tatanan kehidupan di berbagai aspek untuk menyongsong era setelah pandemi. Salah satunya yang dihadirkan analis politik terkemuka Amerika Serikat (AS) yang juga kolumnis The Washington Post, Fareed Zakaria.

Melalui publikasi terbarunya yang berjudul Ten Lessons for a Post-Pandemic World, Zakaria menjabarkan sejumlah pembelajaran yang dapat diambil dalam menatap dunia pasca pandemi Covid-19.

Sharon Johnson, seorang profesor emeritus dari Oregon State University, menyebut bahwa publikasi tersebut cukup relevan untuk menjadi road map di tahun 2021 dan seterusnya.

Sebagai satu dari tiga guncangan hebat terhadap seluruh sistem apapun di dunia dalam tiga dekade terakhir, selain 9/11 dan krisis keuangan global tahun 2008, optimisme dikedepankan sebagai ihwal yang esensial dan tersirat dalam konklusi publikasi Zakaria itu.

Baca juga: Vaksin Ditantang, Jokowi “Menendang”

Dalam proses menyongsong era yang baru, optimisme dalam setiap subjek dan dimensi kehidupan disebut menjadi kunci untuk bisa keluar dari kemudaratan pandemi Covid-19.

Zakaria sendiri berangkat dari analogi drama sejarah berjudul Lawrence of Arabia. Kisah tersebut menyoroti perjalanan diplomat sekaligus petualang Inggris, Thomas Edward Lawrence.

Lawrence berhasil meyakinkan sekelompok suku Arab untuk melakukan serangan kejutan terhadap Kekaisaran Ottoman, yang pada intinya kesuksesan tersebut bertumpu pada mindset optimisme dan frasa “nothing is written”.

Relevansinya ialah bahwa pandemi sebagai skenario kurang menyenangkan yang dihadapi setiap negara saat ini, sesungguhnya telah membuka kemungkinan untuk optimisme, perubahan, maupun reformasi.

Karenanya, sikap optimisme dan mindset resiliensi untuk melalui kekacauan dan krisis saat ini sangat dibutuhkan. Bersanding dengan frasa nothing is written, masa depan agaknya benar-benar ada di tangan kita sendiri, termasuk sebagai sebuah bangsa.

Lebih dalam lagi, jika ditinjau dari aspek psikologis, optimisme yang disampaikan Airlangga kiranya memang cukup urgen dan esensial untuk dikemukakan di tengah upaya bangkit dari situasi krisis serta dampak pandemi di periode atau era yang baru.

David M. Sachs dalam Hope, Greed and Fear menyebutkan bahwa faktor-faktor psikologis nyatanya turut memiliki andil penting di balik krisis dalam dimensi hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya.

Masing-masing faktor tersebut berfokus pada elemen yang berbeda, salah satunya optimisme sebagai ihwal yang konstruktif.

Konsep pemahaman terhadap traumatic experience atau pengalaman traumatis, dimana analogi upaya dalam membantu individu pulih dari pengalaman traumatis di hidupnya, memberikan perspektif yang serupa dan berguna untuk memahami urgensi pemerintah untuk mengedepankan optimisme di saat krisis secara umum, untuk pulih dalam level traumatic experience-nya.

Mengacu pada postulat Zakaria dan Sach itu, optimisme Airlangga secara umum terhadap pemulihan ekonomi, plus yang kaitannya dengan optimisme pasca vaksinasi, agaknya memang memiliki urgensi tersendiri.

Baca juga: Vaksin Covid-19, Manuver Rahasia Airlangga?

Selain itu, hal tersebut sekaligus dapat dipahami pula sebagai respons pemerintah terhadap traumatic experience yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia akibat pandemi Covid-19.

Ihwal optimisme itu yang kemudian menjadi fundamental penting di saat krisis, yang juga nyatanya cukup berguna ketika menyongsong era atau periode yang baru.

Akan tetapi, apakah optimisme perekonomian dari sisi mengedepankan pentingnya vaksinasi Covid-19 yang diyakini sebagai game changer itu secara konkret akan berjalan mulus?

Salah Kaprah Andalkan Vaksin?

Di balik urgensi optimisme dari pemerintah yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, utamanya yang berkorelasi dengan vaksinasi Covid-19, realita dan kecenderungan yang ada di lapangan mungkin tak serta merta berbanding lurus.

Salah satu tantangan serta kendala terbesar yang kemungkinan besar dihadapi ialah soal trust atau kepercayaan dari publik. Zakaria dan Sach sendiri memiliki similaritas dalam memandang trust sebagai elemen vital di balik optimisme untuk bangkit dari dampak minor pandemi beserta krisis yang ditimbulkannya.

Trust juga disiratkan sebagai “payung” dari optimisme maupun mindset resiliensi dua arah antara pemerintah dengan masyarakatnya, untuk keluar dari dampak krisis multi aspek pandemi.

Kendati demikian, gelagat hubungan dua arah yang positif tersebut tampaknya tak terlihat ketika berbicara trust di Indonesia selama sepuluh bulan pandemi. Tak terkecuali konteks optimisme yang kaitannya dengan vaksinasi Covid-19.

Paling tidak preseden tersebut dapat tercermin dari beberapa hal. Pertama, tentu dari sisi vaksin itu sendiri. Sampai saat ini Indonesia baru mengakuisisi 1,2 juta dosis vaksin Sinovac yang sejauh ini belum mendapat lampu hijau dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk eksekusi penyuntikan.

Bahkan belakangan, publikasi efektivitas vaksin Sinovac pun dipertanyakan. Hal ini menambah impresi minor dari kabar eksekusi antivirus serupa di Brasil dan Turki.

Lebih jauh lagi, tambahan eksistensi vaksin dengan efektivitas optimal di Indonesia juga masih belum dapat dipastikan, ketika para produsen vaksin lain tentu sedang dihadapkan pada permintaan yang begitu besar dari banyak negara.

Kedua, Indonesia disebut masih belum siap secara infrastruktur untuk memanfaatkan alternatif vaksin menjanjikan lain seperti Pfizer dan Moderna yang telah diinjeksikan di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris dan Jerman.

Realita yang di saat bersamaan menguak bahwa kapasitas pemerintah sendiri masih belum diketahui secara pasti untuk melaksanakan vaksinasi Covid-19 secara massal dan menjangkau target ratusan juta penduduk.

Terlebih ketika berbicara hal selain infrastruktur penunjang pengelolaan vaksin seperti distribusi hingga ketersediaan tenaga ahli yang piawai dalam melaksanakan vaksinasi secara serentak.

Ketigatrust dinilai sangat erat kaitannya dengan konstruksi yang selama ini terbentuk dari impresi publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi.

Sayangya, impresi yang ada justru tampak tak berpihak saat sejumlah langkah dan kebijakan kontraproduktif sejak awal telah ditampilkan pemerintah dalam merespons pandemi, agaknya masih teringat jelas di benak publik sampai saat ini.

Bahkan teranyar, keakuratan informasi dan data yang menjadi aspek vital strategi penanganan pagebluk terkadang tampak masih memiliki kesenjangan dengan realita atau komparasi data lainnya.

Hal itu selain dari kesan penciptaan narasi tertentu atas tingkat kesembuhan, infeksi, dan kematian, terlihat pula misalnya dari statistik “mengejutkan” terkait kasus aktif Covid-19 yang baru saja dirilis dan terlihat berkebalikan dengan situasi riil yang ada.

Oleh karena itu, optimisme terhadap vaksin Covid-19 sebagai game changer pemulihan ekonomi Indonesia yang disampaikan Airlangga agaknya memiliki benturan konkret tersendiri yang kembali lagi, menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk segera diperbaiki.

Optimisme memang sama sekali tak keliru. Akan tetapi pada praktiknya, sikap tersebut akan terartikulasikan secara nyata jika diiringi perbaikan berbagai fundamental aspek secara komprehensif yang melandasi optimisme plus rekonstruksi level trust publik yang ada saat ini. (J61)

Baca juga: Jokowi dan Jebakan Vaksin Tiongkok


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version