Di tengah kritik berbagai pihak terkait pemerintah harus lebih mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna mencegah penularan virus Corona (Covid-19), Presiden Jokowi justru akan menerapkan kebijakan new normal, yang terlihat melonggarkan PSBB. Lantas, mungkinkah kebijakan tersebut terinspirasi dari Jepang yang berhasil menekan Covid-19 tanpa melakukan lockdown?
PinterPolitik.com
“A talent for speaking differently, rather than for arguing well is the chief instrument of cultural changes” – Richard Rorty, filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat
Jika terdapat pertanyaan mengenai mengapa manusia dapat mempelajari sesuatu, jawaban umum yang diberikan adalah pada kapabilitas manusia untuk melakukan imitasi atau meniru. Jawaban tersebut, bukan hanya semacam common sense atau pengetahuan umum, melainkan merupakan sifat inheren yang memungkinkan manusia untuk belajar dan beradaptasi.
Andrew N. Meltzoff dan Jean Decety dalam tulisannya What Imitation Tells Us about Social Cognition: A Rapprochement Between Developmental Psychology and Cognitive Neuroscience menyebutkan bahwa dalam temuan neurofisiologis, telah ditemukan bukti psikologis bahwa perilaku meniru telah terjadi sejak manusia baru lahir.
Temuan Meltzoff dan Decety tersebut boleh jadi adalah jawaban untuk menjawab asal muasal kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru akan menerapkan new normal pada 5 Juni nanti – yang oleh banyak pihak disebut sebagai pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pasalnya, baru-baru ini Jepang tengah disorot oleh banyak pihak karena dinilai berhasil melewati masa darurat virus Corona (Covid-19) tanpa menerapkan kebijakan lockdown ataupun tes masif.
Jika mengacu pada gelagat Presiden Jokowi yang memang menolak penerapan lockdown sejak awal, menyebut tidak ada negara yang berhasil menangani Covid-19 dengan lockdown, ataupun pidatonya pada 22 April lalu yang menyebut mendapatkan briefing setiap hari terkait langkah penanganan apa yang dilakukan oleh negara lain untuk mengatasi pandemi Covid-19, boleh jadi kebijakan new normal tersebut adalah imitasi Presiden Jokowi atas keberhasilan Jepang.
Bagaimanapun juga, dengan episentrum penularan yang terjadi di Jakarta yang notabene merupakan pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi, mengadaptasi kebijakan non-lockdown ala Jepang tentunya sangat masuk akal untuk menjawab persoalan ekonomi ataupun peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama pandemi Covid-19.
Di Podcast Deddy Corbuzier pada 7 Mei lalu, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali juga menyebutkan bahwa persoalan ekonomi memang yang menjadi halangan terbesar Presiden Jokowi untuk menerapkan lockdown. Tuturnya, mantan Wali Kota Solo tersebut sangat risau perihal nasib masyarakat yang mengandalkan penghasilan harian jika lockdown diberlakukan.
Lantas, katakanlah Presiden Jokowi memang benar terinspirasi atau meniru keberhasilan Jepang dalam mengatasi Covid-19 tanpa menerapkan kebijakan lockdown, mungkinkah kesuksesan serupa juga akan diraih?
Hmm beneran niru Jepang nggak sih? #politik #infografis #pinterpolitik #indonesiahttps://t.co/Ex32beXpwZ pic.twitter.com/a97DMErUGq
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 27, 2020
Budaya adalah Kunci?
Dengan fakta Jepang tidak menerapkan protokol umum seperti lockdown ataupun tes masif, banyak sorotan kemudian berdatangan guna mempertanyakan rahasia apa di balik kesuksesan tersebut.
Kendati tidak menerapkan dua kebijakan umum tersebut, pemerintah Jepang sebenarnya menerapkan beberapa kebijakan dalam mengatasi Covid-19. Satu diantaranya dengan menerapakan tes berbasis klaster, yang mana tes ini lebih menyasar pada kontak yang dilakukan oleh pasien positif Covid-19. Selain itu, dikampanyekan pula Three Cs: confined and crowded spaces, and close human contact – yang mengkampanyekan untuk menghindari ruang terbatas dan penuh sesak, serta kontak jarak dekat.
Akan tetapi, menurut Ryuji Koike – asisten direktur Tokyo Medical – kebijakan pemerintah sebenarnya bukanlah kunci yang menjawab mengapa tingkat penularan Covid-19 di Jepang menjadi rendah. Menurutnya, keberhasilan tersebut justru berasal dari habituasi atau budaya masyarakat Jepang yang pada dasarnya memang higienis dan tidak terbiasa dengan kontak secara langsung seperti berjabat tangan dan berpelukan.
Oleh karenanya, tidak mengherankan terdapat simpulan yang menyebutkan bahwa penyebab kasus Covid-19 tinggi di jepang pada awalnya karena pemerintah Jepang ragu untuk menutup jalur penerbangan. Artinya, lonjakan kasus Covid-19 di negeri Matahari Terbit sepertinya merupakan imported cases.
Atas respon pemerintah Jepang yang lambat mengatasi Covid-19, Jeff Kingston dalam tulisannya di The Diplomat sampai menyebutkan bahwa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah gagal dalam tes kepemimpinan karena tidak mampu menelurkan kebijakan penanganan Covid-19 dengan baik dan cepat.
Kembali pada keberhasilan Jepang yang disebut menekan penularan Covid-19 karena budaya dari masyarakatnya. Lantas, jika Presiden Jokowi menerapkan kebijakan serupa, yakni tidak menerapkan lockdown – atau pengetatan PSBB – mungkinkah kesuksesan serupa akan diraih?
Duh, para tenaga medis katanya belum cair nih janji insentifnya. #infografis #politik #pinterpolitik #COVID19 https://t.co/ouoNCl6BKO pic.twitter.com/ulUMYBefQw
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 27, 2020
Budaya yang Berbeda
Sayangnya, jika benar kunci keberhasilan tersebut terletak pada budaya, sepertinya faktor tersebut yang menjadi kunci akan kegagalan Indonesia dalam menekan penularan Covid-19. Sebagaimana diketahui, berbeda dengan Jepang, budaya masyarakat Indonesia sangat kental dengan interaksi sosial jarak dekat. Merupakan pemandangan umum, bahkan telah menjadi sopan santun tersendiri bahwa berjabat tangan, berpelukan, hingga mengecup pipi merupakan bentuk keakraban yang telah lama membudaya.
Mengacu pada persoalan tersebut, mungkin banyak yang akan menjawab bahwa budaya atau kebiasaan dapat dirubah. Akan tetapi, jawaban tersebut sepertinya memiliki bantahan kerasnya tersendiri.
Terinspirasi dari konsep language game Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Philosophical Investigations, filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat (AS) Richard Rorty kemudian menerapkannya dalam menjelaskan mengapa tidak terdapat budaya yang lebih superior dari budaya lainnya.
Menurut Rorty, budaya manusia merupakan konstruksi atau buah dari aktivitas berbahasanya. Aktivitas bahasa tersebut kemudian dapat menjadi budaya karena terbentuk kolektivitas dalam suatu komunitas untuk setuju dalam menerapkan budaya terkait – baik disetujui dalam bentuk tertulis maupun tidak. Dengan kata lain, budaya pada dasarnya hanya merupakan konstruksi bahasa yang diamini secara bersama di dalam suatu komunitas masyarakat.
Seperti halnya dalam konsep incommensurability filsuf sains asal AS Thomas Samuel Kuhn, setiap kelompok atau komunitas masyarakat pada dasarnya memiliki paradigma atau budaya yang tidak dapat diperbandingkan satu sama lainnya.
Singkat kata, begitu sulit untuk menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia harus meniru budaya Jepang agar kebijakan new normal atau kebijakan non–lockdown dapat berhasil dalam menekan penularan Covid-19. Pada dasarnya, setiap komunitas masyarakat memiliki kekhasan ataupun kebanggaan tersendiri terhadap budayanya, sehingga sulit membuatnya untuk mengubah budaya secara cepat ataupun menyeluruh.
Siapkah kalian menghadapi The New Normal? Kalau mimin mah gimana ya, harus tetap masuk kantor dari zaman PSBB sih soalnya. Hehehe. 😌 #COVID19 #infografis #politik #pinterpolitik https://t.co/l2vhbDZQrn pic.twitter.com/S3MOOY9DkH
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 26, 2020
Seperti dalam penjelasan Rorty, budaya yang berakar dari konsensus bahasa pada dasarnya “bebas nilai”, yang berarti budaya tersebut tidak memiliki nilai inheren yang membuatnya lebih superior atau inferior dari budaya lainnya. Rorty hendak menyebutkan, secara metodis, budaya harus dipahami secara netral.
Tindakan Koersif Jadi Solusi?
Menariknya, Presiden Jokowi sepertinya sadar bahwa perbedaan budaya tersebut merupakan faktor kunci yang dapat membuat Indonesia gagal dalam menekan penularan Covid-19. Pasalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut pernah menekankan bahwa setiap negara memang memiliki karakteristik yang berbeda. Dengan kata lain, hendak dikatakan bahwa keberhasilan kebijakan negara lain belum tentu akan berhasil apabila diterapkan di Indonesia.
Untuk menjawab persoalan budaya yang berbeda tersebut, sepertinya Presiden Jokowi memilih untuk menerapkan kebijkaan koersif. Pasalnya, 340 ribu personel TNI-Polri akan dikerahkan untuk melakukan pengawasan di 1.800 titik obyek keramaian. Sedikit berspekulasi, pengerahan ratusan ribu personel tersebut tampaknya ditujukan untuk mendisiplinkan masyarakat agar protokol social distancing tidak dilanggar selama new normal.
Kebijakan koersif tersebut tampaknya merupakan putusan yang rasional jika menimbang pada pemerintah Indonesia yang tidak mampu memberikan bantuan sosial langsung (BLT) sebagai kompensasi agar masyarakat mematuhi PSSB. Di Jepang sendiri, BLT sebesar 100 ribu yen atau sekitar Rp 14,3 juta per warga diberikan sebagai insentif atau kompensasi agar masyarakat mematuhi arahan untuk melakukan karantina mandiri atau berdiam diri di rumah.
Singkat kata, karena pemberian insentif atau kompensasi tidak dapat diberikan oleh pemerintah Indonesia, kebijakan koersif seperti pengerahan personel TNI-Polri tentunya menjadi opsi yang mau tidak mau harus diambil.
Bagaimanapun juga, tentu kita berharap bahwa pemerintah akan berhasil menekan tingkat penularan agar pandemi Covid-19 cepat berlalu. Kita tunggu saja, apakah kebijakan non-lockdown, ataupun pelibatan TNI-Polri dapat berbuah kesuksesan seperti yang baru diraih oleh Jepang atau tidak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.