Site icon PinterPolitik.com

Tipuan SBY Ditiru Megawati?

Tipuan SBY Ditiru Megawati?

Foto: ROMEO GACAD/AFP

Telah menjadi rahasia umum bahwa Megawati Soekarnoputri memiliki hubungan yang tidak baik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, mungkinkah sekarang Megawati justru meniru strategi politik SBY?


PinterPolitik.com

“Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” – Pengkhotbah 1:9

Bagi yang mengikuti isu politik nasional, tentu mengetahui terdapat hubungan yang tidak erat antara Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, ketegangan itu menurun ke kader kedua partai dan ditunjukkan secara terbuka. 

Beberapa waktu lalu, misalnya, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho, mengkritik PDIP karena Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan sulit bagi partainya untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS.

Menurut Irwan, pernyataan itu kontras dengan nilai gotong-royong yang digembar-gemborkan oleh PDIP. “Tentu ini sangat disayangkan, karena Bung Hasto sedang mengingkari apa yang menjadi prinsip partainya,” ungkap Irwan pada 23 Juni 2022.

Terkait tensi panas antara Megawati dan SBY, membuat kita teringat pada adagium masyhur politik, “tidak ada teman dan kawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”. Di sini tentu pertanyaannya menarik, jika adagium itu berlaku universal, kenapa tensi panas Megawati-SBY tetap terjadi hingga sekarang?

Awal Keretakan

Terkait hal ini, kita dapat merujuknya pada literatur psikologi. Menurut Nancy Colier dalam tulisannya Why We Hold Grudges, and How to Let Them Go, dendam adalah perasaan yang begitu dalam dan begitu sulit dihilangkan. Bahkan menurut Colier, dendam dapat menjadi sebuah identitas.

Dengan dendam, kita dapat mengenali diri dan orang lain. Kita mengidentifikasi siapa yang kita nilai sebagai orang jahat. Perasaan dendam membuat kita merasa menjadi pihak yang benar dan merupakan korban.

Menurut Colier, karena fungsinya sebagai pembentuk identitas, menghilangkan dendam seperti mencabut identitas seseorang. Akan ada perasaan yang sangat tidak nyaman dalam proses itu.

Di titik ini, sekiranya kita dapat memahami, mengapa adagium masyhur politik tidak berlaku pada hubungan Megawati dan SBY. Lantas, peristiwa apa yang membuat dendam Megawati terhadap SBY terbentuk?

Banyak menjawab akarnya pada peristiwa tragedi kerusuhan 27 Juli 1996 alias Kudatuli. Saat itu, serangan terhadap kantor pusat PDI (sebelum menjadi PDIP) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, menewaskan 5 orang, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang.

Meskipun tidak pernah terbukti di pengadilan, SBY yang saat itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Jaya disebut-sebut bertanggung jawab.

Namun, pandangan yang menyebut akarnya di tragedi Kudatuli mudah untuk dibantah. Pasalnya, jika Megawati dendam dengan SBY sejak saat itu, kenapa SBY justru ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ketika Megawati menjadi Presiden?

Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, meskipun SBY diisukan bertanggung jawab atas tragedi Kudatuli, saat itu Megawati mengedepankan sikap rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan.

Dengan dicoretnya Kudatuli, maka praktis akar dendam keduanya adalah peristiwa politik menjelang Pilpres 2004. Hal ini juga dikonfirmasi oleh politikus senior PDIP Panda Nababan dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran kekuasaan

Menurut Panda, belum genap setahun menjabat sebagai Presiden, SBY mengundang Megawati ke Istana untuk memperbaiki hubungan. Namun, Megawati mengutus Panda ke Istana dan dititipkan lima buah pertanyaan. Jika kelimanya dijawab, Megawati akan bersedia menemui SBY. 

Berikut lima pertanyaan yang dititipkan Megawati kepada SBY:

  1. Apakah benar Bapak mengatakan, “Saya ini sebenarnya sudah di comberan, kemudian saya di-wong-ke (dimanusiakan) Ibu Megawati”?
  2. Apakah benar Bapak pernah membuat kegiatan politik di Kantor Menko Polkam? Ibu Megawati mengetahui, karena selaku Presiden mendapatkan informasi A1.
  3. Dalam sidang kabinet yang dipimpin Presiden Megawati, beliau bertanya, “Siapa di antara kita yang maju di pilpres?”, Pak SBY menjawab tidak maju. Apakah itu benar?
  4. Ketika Presiden Megawati menerima Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti di Istana Merdeka, kemudian SBY datang ingin bertemu Ibu Presiden, karena itu pertemuan dengan Kuntjoro-Jakti dipercepat supaya bisa menerima Pak SBY. Pada pertemuan itu, Pak SBY mengatakan, “Saya bersedia menjadi Wakil Presiden mendampingi Ibu Mega”. Apakah yang disampaikan Ibu Megawati itu benar?
  5. Pak SBY sering dikucilkan oleh Ibu Megawati, mengatakan tidak diundang dalam rapat kabinet. Apakah itu benar?  

Menurut Panda, tidak satu pun dari kelimanya dijawab SBY. Ketika melapor ke Megawati, Presiden kelima itu menjawab, SBY adalah seorang pembohong. Jawaban itu tampaknya yang menjadi inspirasi Panda dalam membuat sub-judul, “SBY Dianggap Berbohong” di bukunya.

Tiru SBY?

Dalam bagian lain buku Panda Nababan, mengutip pernyataan suami Megawati, Taufiq Kiemas, pada Pilpres 2004 SBY melakukan dua strategi politik sekaligus. Pertama, mencitrakan dirinya teraniaya. SBY mengatakan tidak diundang dalam rapat kabinet, padahal dirinya yang tidak mengikuti rapat. Kedua, SBY melakukan tipuan politik ke Megawati dengan mengatakan dirinya tidak maju di pilpres. 

Yang menarik adalah, akhir-akhir ini Megawati bersama dengan PDIP tampaknya tengah mengimitasi dua strategi politik SBY tersebut. Dugaan ini dimunculkan beberapa pihak ketika melihat drama berkepanjangan Ganjar Pranowo vs Puan Maharani.

Konteksnya bukan mengatakan konflik antara pendukung keduanya tidak ada. Konflik itu nyata. Poinnya adalah, kenapa drama ini dijaga tetap eksis dan dimunculkan ke permukaan? Dengan posisi Megawati sebagai pemegang hak veto partai, bukankah mudah baginya memanggil Ganjar untuk menghentikan segala pergerakan kampanyenya?

Atas keganjilan itu, dugaan PDIP tengah melakukan imitasi strategi politik SBY kemudian mencuat. Mengutip Eko Wijayanto dalam bukunya Memetics dan Genetika Kebudayaan, mengimitasi atau meniru merupakan hal paling mendasar yang membuat kebudayaan manusia berkembang. 

Pun demikian pada politik. Meniru strategi politik sebelumnya, bahkan strategi politik musuh menjadi hal yang lumrah. Pada Pilpres 2019, misalnya, Joko Widodo (Jokowi) dilihat banyak pihak melakukan imitation game (permainan meniru).

Ketika Prabowo Subianto memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden yang merupakan pengusaha, Jokowi memilih sahabat Sandi yang juga merupakan pengusaha, yakni Erick Thohir untuk menjadi Ketua Tim Sukses. 

Kemudian, ditariknya Ali Mochtar Ngabalin dinilai sebagai imitasi untuk melawan politisi PKS Mardani Ali dan Fahri Hamzah. Ketiganya merupakan representasi politisi Muslim. 

Imitation game pamungkas Jokowi adalah penunjukan Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Seperti yang dibaca banyak pihak, penunjukan Ma’ruf di detik-detik akhir merupakan strategi untuk membendung narasi anti-Islam yang digaungkan kubu seberang. 

Jika di kubu Prabowo ada GNPF-Ulama dan FPI, maka di kubu Jokowi ada Ma’ruf Amin yang merupakan petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ulama Nahdlatul Ulama (NU). 

Kembali pada PDIP. Bukan tidak mungkin, ada kalkulasi menarik dari Megawati yang membuatnya belum bertindak keras terhadap Ganjar. Seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya,  Megawati Takut Pecat Ganjar?, tampaknya Megawati masih mempertimbangkan bahwa Ganjar akan memperbaiki hubungan dan nantinya akan menjadi bidak pamungkas PDIP di Pilpres 2024.

Sebelum September 2023, meniru strategi politik SBY, yakni membuat Ganjar sebagai sosok teraniaya untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas tampaknya menjadi pilihan yang masuk akal.

Namun, agar tidak mengulang kasus Jokowi yang justru memiliki hubungan panas-dingin dengan Megawati, putri Soekarno itu sekiranya memiliki syarat mutlak jika Ganjar ingin mendapatkan dukungannya.

Ya, itu adalah jaminan loyalitas. Jika Ganjar berhasil meyakinkan Megawati bahwa dirinya setia dan memberikan pos-pos penting untuk PDIP, bukan tidak mungkin Megawati akan berubah pikiran. Bagaimana pun, Megawati adalah politisi senior yang berhitung untuk meraih kemenangan. 

Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutan drama ini. September 2023 adalah waktu penentuannya. (R53)

Exit mobile version