HomeNalar PolitikTiongkok vs Australia di Papua?

Tiongkok vs Australia di Papua?

Bantuan dan pinjaman dana Tiongkok ke negara-negara Pasifik dinilai turut memengaruhi dukungan kemerdekaan Papua oleh negara-negara tersebut. Apa kepentingan Tiongkok di Papua?


PinterPolitik.com

“Money trees is the perfect place for shade” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Kondisi global – khususnya kawasan Asia-Pasifik – kini semakin tidak pasti di tengah-tengah persaingan yang terjadi di antara dua kekuatan besar, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

Perang Dagang misalnya, ditengarai akan berdampak pada banyak negara lainnya. Selain berperang dalam perdagangan, AS juga tengah memasang badan untuk menghalau pengaruh Tiongkok secara militer di Laut China Selatan.

Uniknya, persaingan tidak hanya terjadi melalui perdagangan dan kekuatan militer. Perebutan pengaruh juga terjadi di kawasan Pasifik melalui bantuan luar negeri dari masing-masing negara.

Pertanyaannya, bagaimana bantuan luar negeri tersebut dapat memengaruhi dinamika politik internasional? Lalu, apa dampaknya terhadap Indonesia?

Bantuan Luar Negeri

Bantuan luar negeri merupakan salah satu unsur yang selalu menyertai diplomasi dan hubungan antarnegara. Pemberian bantuan-bantuan oleh negara-negara donor biasanya memiliki implikasi tersendiri dalam geopolitik.

Helen V. Milner dan Dustin Tingley dalam bukunya yang berjudul Geopolitics of Foreign Aid menjelaskan bahwa bantuan luar negeri sudah digunakan semenjak Perang Dunia I ketika negara-negara kaya memberikan barang, jasa, dan dana sebagai instrumen untuk berinteraksi dengan negara-negara lain.

Biasanya, porsi bantuan luar negeri hanya berukuran kecil bagi negara donor. Namun, ukuran bantuan tersebut biasanya memiliki ukuran yang substansial dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dan anggaran negara-negara penerima.

Penggunaan bantuan luar negeri sebagai instrumen diplomasi semakin sering digunakan pada era Perang Dingin. Salah satu negara yang menggunakan instrumen ini adalah AS.

Program bantuan luar negeri besar yang dijalankan oleh negeri Paman Sam pada zaman tersebut adalah Marshall Plan. Program tersebut di jalankan setelah Perang Dunia II berakhir guna membangun kembali perekonomian negara-negara Eropa Barat.

Tentunya, pada era Perang Dingin, bantuan luar negeri juga digunakan dalam dinamika geopolitik. Pasalnya, selain Marshall Plan, instrumen serupa juga digunakan oleh AS dan negara-negara Eropa Barat melalui program milik Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Milner dan Tingley menjelaskan bahwa program tersebut ditujukan untuk membendung pengaruh komunisme dan Uni Soviet.

Dari penggunaannya pada era Perang Dingin tersebut, bisa kita pahami bahwa, pada dasarnya, pemberian bantuan luar negeri bersifat politis. Milner dan Tingley menjelaskan bahwa pemberiannya memang bersifat strategis karena tidak dilakukan secara acak.

Jika memang pemberian bantuan luar negeri bersifat politis dan strategis, lalu, bagaimana dengan bantuan luar negeri Tiongkok?

Tiongkok vs Australia di Pasifik

Dengan pemberian bantuan luar negeri yang dilakukannya, Tiongkok ditengarai sedang berupaya berebut pengaruh dengan negara-negara Barat di berbagai kawasan. Beberapa kawasan yang disebut-sebut sedang diperebutkan adalah Asia dan Afrika.

Baca juga :  2029 "Kiamat" Partai Berbasis Islam? 

Sepertinya, negara tersebut memang tidak main-main dalam memberikan bantuan luar negeri dalam bentuk pinjaman ke negara-negara Afrika. Pasalnya, Tiongkok telah menggelontorkan dana sekitar Rp 1.608,6 triliun sejak tahun 2001 hingga tahun 2011 – 20 persen dari total bantuan Development Assistance Committee OECD di kawasan tersebut yang bernilai Rp 5.753, 3 triliun.

Pemberian bantuan-bantuan oleh negara-negara donor biasanya memiliki implikasi tersendiri dalam geopolitik. Share on X

Di sisi lain, meski tidak sebesar Asia dan Afrika, terdapat wilayah lain yang ditengarai sedang diperebutkan, yakni kawasan Pasifik. Di kawasan tersebut, Tiongkok perlu berhadapan dengan negara-negara Barat yang secara tradisional telah menjadi patron bagi negara-negara kepulauan di sana, seperti AS, Inggris, Australia, dan Selandia Baru.

Pengaruh Australia di kawasan ini bisa dilihat dari bagaimana negara kanguru tersebut menggunakan beberapa negara Pasifik – seperti Nauru dan Papua Nugini – sebagai pusat penahanan sementara bagi pencari-pencari suaka dari Timur Tengah dalam kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB).

Sebagai salah satu kawasan yang paling bergantung pada bantuan luar negeri, Tiongkok bisa saja menjadi ibarat cahaya baru bagi negara-negara Pasifik Selatan. Bila kita tilik, bantuan luar negeri dari negara panda tersebut kepada negara-negara Pasifik turut bertumbuh.

Pada tahun 2011-2017, Tiongkok telah memberikan bantuan sekitar Rp 81,2 triliun. Nilai tersebut hampir menyamai pemberian dari Australia yang bernilai sekitar Rp 83,64 triliun dalam periode waktu yang sama.

Hampir sama di Indonesia, pemberian bantuan dan dana oleh Tiongkok banyak berfokus pada infrastruktur – berbeda dengan Australia yang lebih banyak berfokus pada pemerintahan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, perbedaan fokus ini yang justru membuat bantuan luar negeri Tiongkok bertumbuh signifikan dan menarik bagi negara-negara Pasifik.

Denghua Zhang, Diego Leiva, dan Melodie Ruwet dalam tulisan mereka yang berjudul Chinese Aid to the Pacific and the Caribbean menjelaskan bahwa, dengan kesenjangan infrastruktur di kawasan tersebut, bantuan Tiongkok menjadi lebih atraktif. Di sisi lain, para pemimpin Pasifik juga merasa dapat melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan tradisional Australia dan Selandia Baru.

Akibatnya, tidak aneh apabila Australia dan negara-negara Barat lainnya merasa cemas dengan kehadiran Tiongkok di kawasan tersebut. Sejak kepemimpinan Malcolm Turnbull, Australia mulai memasang badan dan berupaya meningkatkan hubungannya dengan negara-negara Pasifik tetapi hubungan tersebut tetap melemah karena perbedaan pandangan dalam isu perubahan iklim – persoalan yang melanda negara-negara kepulauan dan kerap disuarakan oleh Tiongkok dalam panggung internasional.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apabila negara-negara Pasifik merasa semakin bebas dari pengaruh Australia, apa dampaknya terhadap Indonesia?

Berebut di Papua?

Meski negara-negara Pasifik kini merasa bebas dari pengaruh Australia, negara-negara tersebut seperti masih memiliki gerak politik yang terbatas. Pasalnya, kehadiran Tiongkok di kawasan tersebut ditengarai bukanlah bebas kepentingan.

Zhang dan timnya dalam tulisan mereka menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan yang memotivasi kehadiran Tiongkok di kawasan tersebut. Salah satu motivasi yang kentara adalah kebijakan One China yang dicanangkannya.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Pasalnya, enam dari 17 hubungan diplomatik yang dibangun oleh Taiwan – negara-pulau di selatan Tiongkok – adalah dengan negara-negara Pasifik. Sejak tahun 1970-an, Tiongkok dan Taiwan telah berebut pengaruh di kawasan Pasifik. Selain itu, dengan meningkatnya pengaruhnya di kawasan tersebut, Tiongkok dapat memanfaatkan suara negara-negara kepulauan Pasifik dalam berbagai pembahasan persoalan internasional di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Lantas, apa hubungannya dengan Indonesia? Apakah Tiongkok juga memiliki kepentingan di Indonesia?

Banyak ahli menilai bahwa kehadiran Tiongkok di kawasan Pasifik membawa dampak pada perkembangan atas isu kemerdekaan Papua dari Indonesia. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin apabila negara-negara tersebut kembali menyuarakan isu serupa di forum-forum internasional yang lebih besar.

Meaghan Tobin dalam tulisannya di South China Morning Post menjelaskan bahwa bantuan Tiongkok membuat negara-negara Pasifik semakin percaya diri dalam mengkritik Indonesia terkait isu Papua dan Papua Barat.

Berkaca pada kasus Taiwan dan kepentingan-kepentingan Tiongkok lainnya, bisa saja negara panda tersebut juga memiliki kepentingan yang merembet ke Papua. Pasalnya, Australia juga memiliki pengaruh dan dominasi di pulau paling timur Indonesia tersebut.

Bila kita tilik kembali, banyak perusahaan-perusahaan dari negara tersebut mengekstraksi sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh Bumi Cendrawasih. Dalam daftar yang dirilis di Facebook organisasi Free West Papua, setidaknya terdapat enam perusahaan Australia yang beroperasi di pulau tersebut, yakni Hillgrove Resources, Killara Resources, Painai Gold, Queensland Nickel, Rio Tinto, dan Santos.

Selain Australia, terdapat negara-negara lainnya, seperti AS, Jepang, dan Inggris. Dibandingkan negara-negara tersebut, Tiongkok hanya memiliki satu perusahaan yang berbasis di Papua, yakni China National Offshore National Oil Cooperation (CNOOC).

Bisa saja, Tiongkok ingin menekan Indonesia untuk meningkatkan pengaruhnya di pulau yang kaya akan sumber daya alam tersebut. Pasalnya, negara Tirai Bambu tersebut juga telah menanamkan investasi di pulau tersebut dengan mendirikan beberapa perusahaan semen di Papua.

Salah satu perusahaan tersebut adalah Anhui Conch Cement Company. Perusahaan semen di Papua ini telah berupaya untuk meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 juta ton. Dari hasil produksinya di Papua, semen juga dikabarkan diekspor ke Papua Nugini – salah satu negara Pasifik yang menerima bantuan luar negeri terbesar dari Tiongkok.

Meski begitu, gambaran akan kepentingan Tiongkok di Papua tersebut belum tentu berhubungan langsung dengan manuvernya di Pasifik Selatan. Yang jelas, yang kita ketahui kini, Tiongkok dapat menggunakan bantuan luar negerinya sebagai instrumen dalam politik internasional.

Mungkin, apa yang dirasakan oleh negara-negara Pasifik kini mirip dengan ungkapan dalam lirik rapper Kendrick Lamar. Merupakan suatu tempat berteduh di bawah “pepohonan” yang rimbun, apalagi rerimbunan tersebut memiliki banyak buah yang bisa dinikmatinya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?