HomeNalar PolitikTiongkok, Senjata Marcos Jr. Tekan AS?

Tiongkok, Senjata Marcos Jr. Tekan AS?

Ferdinand Marcos Jr. alias Bongbong menjadi presiden terpilih Filipina mengalahkan lawan politiknya, yaitu Leni Robredo. Mayoritas menilai jika Bongbong akan lebih banyak menjalin relasi dengan Tiongkok karena rekam jejak keluarganya yang sejak dahulu sudah memiliki hubungan erat dengan negeri Panda tersebut. 


PinterPolitik,com

Salah satu negara ASEAN, yaitu Filipina, akan segera mendapatkan pemimpin baru usai berakhirnya masa jabatan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina pada tahun 2022 ini. Takhta kepemimpinan akan jatuh ke tangan seseorang yang sebenarnya tidak asing dalam dinamika politik di Filipina, yaitu Ferdinand Marcos Jr.

Putra dari mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos Sr ini berhasil mengungguli lawannya, yaitu Leni Robredo, dalam kontestasi pemilu di tahun 2022 ini. Kemenangan Marcos Jr. atau yang akrab disebut Bongbong ini ramai diperbincangkan, bahkan hingga menimbulkan reaksi yang beragam baik dari internal maupun eksternal negara Filipina. Reaksi yang berasal dari internal terjadi karena keresahan sejumlah masyarakat terhadap pemerintahan Bongbong kelak. 

Hal ini tidak lepas dari rekam jejak keluarga Marcos yang ‘gelap’ khususnya di era pemerintahan Marcos Sr. Pemerintahan yang berlangsung selama kurang lebih 20 tahun itu telah memakan banyak korban yang mayoritas merupakan pengkritik pemerintahan Marcos Sr. Tidak hanya itu, keluarga ini juga dinilai telah merugikan negara karena menimbun kekayaan selama berada di kursi kekuasaan, seperti istri dari Marcos yang kerap mengoleksi barang-barang dengan harga fantastis. 

Jejak buruk keluarga ini pun akhirnya berimbas pada reaksi eksternal atau negara lain. Dalam hal ini, adalah Amerika Serikat (AS) yang memberikan sanksi kepada Marcos Jr. melalui uang sebesar USD490 juta karena, pada saat pemerintahan keluarganya, korban sipil banyak berjatuhan. Namun, biaya yang baru dibayar masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya sanksi yang harus dibayar. 

Polemik antara keluarga Marcos dan pemerintahan AS ternyata tidak lepas dari adanya dugaan keterlibatan Ferdinand Marcos Sr terhadap tewasnya calon presiden Filipina, yaitu Beniqno Aquino Jr. Meski demikian, tuduhan akan adanya campur tangan Marcos belum bisa dibuktikan meski isu campur tangan rezim pemerintahan saat itu berhembus kencang. Hal ini memicu pergerakan massa yang besar sehingga Marcos dan keluarganya kabur ke Hawaii dengan membawa harta kekayaannya. 

Rekam jejak yang penuh dengan kontroversi ini akhirnya menimbulkan perspektif, yaitu hubungan antara AS dan rezim Marcos tidak akan membaik. Kondisi ini bisa semakin renggang karena, berdasarkan sejarah, keluarga Marcos memiliki kedekatan khusus dengan Tiongkok. 

Marcos Jr. Arahkan Filipina ke Tiongkok

Menurut tulisan berjudul The Political Economy of Philippines-China Relation karya Benito Lim, dijelaskan jika Filipina dan Tiongkok sudah menjalin kerja sama sejak Marcos kembali membuka relasi dengan Tiongkok pada tahun 1966. Bahkan, ibu negara kala itu, Imelda Marcos, berulang kali mengunjungi Tiongkok untuk melakukan kesepakatan dagang.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Lantas, dengan hubungan buruk antara keluarga Marcos dan pemerintah AS, mungkinkah Filipina akan beralih ke Tiongkok? Mungkinkah ini nanti menjadi langkah kebijakan luar negeri yang taktis ala Bongbong?

Marcos Jr. Masih Butuh AS? 

Kedekatan dengan Tiongkok ternyata tidak menutup peluang Filipina untuk tetap meningkatkan relasi dengan AS. Hal ini terlihat saat Presiden Ferdinand Marcos Sr membutuhkan AS untuk menjadi aliansi di tengah meluasnya pengaruh dari Uni Soviet. 

Dalam tulisan berjudul Marcos Supports Alliance With U.S karya William Chapman, dijelaskan jika Marcos memilih posisi netral antara persaingan AS-Soviet. Karena negaranya berpotensi mengalami ancaman yang lebih besar, maka, solusinya adalah dengan merangkul AS menjadi dengan mempertimbangkan kekuatan militer yang dimiliki oleh negeri Paman Sam. 

Negara-negara lemah tidak menutup peluang untuk membangun relasi dengan negara kuat dengan tujuan agar terjadi keseimbangan di kawasan sehingga tidak ada satu kekuatan yang dominan — sama halnya dengan Filipina di era Marcos Sr yang membuka relasi dengan AS untuk membendung pengaruh dari Uni Soviet. 

Ternyata cara ini juga masih relevan karena adanya sebuah kesepakatan antara Filipina dan AS, yaitu Visiting Force Agreement (VFA). Dalam tulisan berjudul The Philippines-US Visiting Forces Agreement and Small Foreign Policy karya Mico Galang, dijelaskan jika kesepakatan tersebut menetapkan AS sebagai negara yang terus mendukung Filipina di sektor keamanan – terlebih jika ada ancaman dari negara lain, termasuk Tiongkok di konstelasi Laut Tiongkok Selatan (LTS). Maka, dengan adanya sebuah ‘perlindungan’ dari negeri Paman Sam, Filipina masih mampu menjaga negaranya dari tekanan Tiongkok yang semakin asertif di LTS. 

Apresiasi Perdamaian Dunia Megawati

Namun, kedekatan Filipina dengan AS di era Rodrigo Duterte tampaknya mengalami gejolak karena adanya peralihan kekuasaan. Bongbong alias Marcos Jr. menjadi salah satu alasan apabila hubungan kedua negara tidak lagi mesra seperti pada rezim Duterte. 

Meski demikian, hal tersebut masih bisa berubah menyesuaikan dengan beberapa faktor ketika proses pengambilan kebijakan. Dalam buku berjudul Introduction to International: Third Edition yang ditulis William D Coplin, dijelaskan jika salah satu faktor yang turut memengaruhi kebijakan luar negeri adalah aktor atau pengambil kebijakan tersebut. 

Decision-making behavior atau perilaku pengambil kebijakan juga akan melihat dan menganalisis situasi yang terjadi. Dalam buku tersebut, juga dijelaskan jika kondisi yang dihadapi bisa memengaruhi individu dalam menentukan sebuah kebijakan. 

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Tidak hanya itu, faktor citra atau image juga menjadi pertimbangan yang cukup penting bagi pengambil kebijakan sehingga citra positif tentu menjadi tujuan akhir dari pengambil kebijakan tersebut. 

Maka, dalam hal ini, individu yakni presiden terpilih, Bongbong atau Marcos Jr. merupakan aktor yang mampu menentukan pengambilan kebijakan luar negeri Filipina. Dinamika politik luar negeri serta citranya sebagai penerus trah Marcos bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan luar negeri. 

Lantas, jika melihat dinamika politik luar negeri dan dalam negeri, apakah Filipina di era Marcos Jr. masih membutuhkan relasi dengan AS?

Rocky Gerung Jokowi Pecat Retno

Marcos Jr. Manfaatkan Tiongkok? 

Berbagai macam spekulasi muncul di permukaan terkait arah kebijakan politik luar negeri Marcos Jr. terutama adanya indikasi apabila Filipina di era Bongbong lebih condong ke Tiongkok – terlebih dengan statusnya yang hingga saat ini tidak diizinkan untuk masuk ke AS bisa semakin memperkuat indikasi tersebut. Meski demikian, sambutan hangat dari pemerintahan Joe Biden atas kemenangan Bongbong bisa menjadi pertanda jika AS tidak menutup pintu untuk menjalin sebuah relasi yang erat dengan Filipina. 

Apalagi, AS juga memiliki kepentingan di kawasan Asia Tenggara terkait polemik Laut China Selatan (LCS). Posisi Filipina sebagai ‘pivot’ antara dua kekuatan besar yakni AS dan Tiongkok bisa menjadi pertimbangan bagi Bongbong untuk menentukan sikapnya. Kedekatannya dengan negeri Tirai Bambu bisa saja dimanfaatkan untuk menekan AS supaya pemerintahan Joe Biden mengizinkan Bongbong dan keluarganya masuk ke AS. 

Hal ini tidak mudah dilakukan karena berdasarkan pendapat dari analis politik dari Amador Research Services, Peaches Lauren Vergara, masyarakat Filipina kurang simpatik dengan Beijing sehingga harapannya presiden terpilih bisa memperlihatkan komitmennya untuk menentang negeri yang dipimpin oleh Xi Jinping ini. Namun, melihat rekam jejak keluarga Marcos yang dekat dengan Tiongkok, tentu akan menjadi pertimbangan yang berat bagi Bongbong jika dirinya memutuskan untuk condong ke Tiongkok secara penuh karena bisa memengaruhinya citra dan popularitasnya. 

Situasi seperti ini juga bisa terjadi di negara lain seperti di Indonesia, seperti halnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menentukan kebijakan luar negeri. Tampaknya, prinsip politik luar negeri bebas-aktif masih dipegang teguh meski sebenarnya terlihat Indonesia lebih dekat dengan Tiongkok. 

Namun, bisa saja Indonesia seolah memperlihatkan keberpihakan pada salah satu kekuatan besar untuk menekan kekuatan besar lainnya. Bagaimana pun, dinamika politik luar negeri negara-negara Asia Tenggara menarik untuk diikuti lebih lanjut. (G69)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Surya Paloh Cemburu ke Prabowo?

NasDem persoalkan komentar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto karena dukung Anies di 2024. PDIP dianggap beda sikap bila terhadap Prabowo.

Airlangga Abaikan Giring?

PSI telah mendeklarasikan akan mengusung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Mengapa Giring belum juga tawarkan Ganjar ke Airlangga?

Rocky Sebenarnya Fans Luhut?

Momen langka terjadi! Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya bertemu langsung dengan pengkritik terpedasnya, yakni Rocky Gerung.