Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi artificial intelligence.
Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini?
Baru-baru ini, Tiongkok mengumumkan penemuan cadangan thorium dalam jumlah yang luar biasa besar di kompleks pertambangan Bayan Obo, Mongolia Dalam. Klaimnya pun mencengangkan: sumber daya ini diyakini dapat memenuhi kebutuhan energi negara tersebut hingga 60.000 tahun ke depan.
Thorium sendiri adalah unsur radioaktif yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dalam reaktor nuklir. Berbeda dengan uranium yang banyak digunakan saat ini, thorium lebih melimpah di alam, menghasilkan limbah radioaktif yang lebih sedikit, dan memiliki risiko proliferasi nuklir yang lebih rendah. Selain itu, thorium memiliki potensi untuk digunakan dalam reaktor garam cair (Molten Salt Reactor), yang lebih aman dan efisien dibandingkan reaktor nuklir konvensional berbasis uranium.
Thorium, yang selama ini kurang diperhitungkan dibanding uranium, semakin dilirik sebagai sumber energi alternatif karena ketersediaannya yang lebih melimpah dan efisiensinya yang lebih tinggi. Maka dari itu, mengingat Tiongkok adalah salah satu negara dengan konsumsi energi terbesar di dunia, penemuan ini berpotensi mengubah peta industri energi global.
Bahkan, perandaian seperti ini mungkin bisa menjadikan thorium layaknya logam langka di jagat fiksi Marvel, yakni vibranium, yang kegunaannya bisa memantik perebutan sengit dari para kekuatan dunia.
Dengan demikian, jika benar bahwa thorium bisa menjadi solusi energi masa depan, maka kita pun harus bertanya: mungkinkah penemuan ini akan berdampak pada tatanan geopolitik global?

Thorium Mampu Mengubah Hegemon Energi?
Dalam dekade terakhir, ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil dan uranium telah membentuk keseimbangan geopolitik yang kompleks. Negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, Rusia, dan Amerika Serikat berhasil mendominasi pasar energi global.
Namun, kemunculan manfaat-manfaat besar dari thorium belakananga disebut bisa diproyeksikandapat menggantikan peran uranium dan bahan bakar fosil dalam pembangkitan energi.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa thorium memiliki keunggulan signifikan dibanding uranium. Menurut ilmuwan nuklir di Oak Ridge National Laboratory, AS, hampir 100% dari thorium-232 dapat diubah menjadi uranium-233 yang dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor, menjadikannya jauh lebih efisien dibanding uranium yang hanya memanfaatkan sekitar 1% dari total bahan bakarnya sebelum menjadi limbah radioaktif.
Keunggulan lain dari thorium juga adalah jumlahnya yang lebih banyak dibanding uranium—diperkirakan tiga hingga empat kali lipat lebih melimpah di dunia. Kendati demikian, pemanfaatan thorium selama ini belum benar-benar bisa dimaksimalkan karena biaya pengembangannya yang cukup besar, karena berbeda seperti uranium, reaktor yang menggunakan thorium membutuhkan model yang sangat berbeda.
Karena alasan ini, saat ini hanya segelintir negara saja yang bisa memanfaatkan thorium secara efektif, salah satunya tentu adalah negara adidaya, Amerika Serikat (AS), dan juga Prancis. Menariknya, negara-negara ini memiliki aturan yang cukup protektif dalam menjaga teknologi reaktor thoriumnya. Hal ini diprediksi bisa saja “didobrak” oleh Tiongkok, karena muncul penilaian bahwa Tiongkok akan lebih “legowo” untuk membagikan manfaat thorium demi alasan komersial.
Jika Tiongkok berhasil mengembangkan teknologi reaktor thorium secara komersial, maka mereka bisa menjadi pemimpin baru dalam industri energi nuklir, mengurangi ketergantungan pada impor energi, dan bahkan mengekspor teknologi ini ke negara lain. Hal ini akan memberikan Beijing keuntungan geopolitik yang luar biasa, memperkuat pengaruhnya dalam negosiasi global, dan melemahkan negara-negara yang selama ini bergantung pada ekspor bahan bakar fosil.
Dari perspektif teori politik dan pertahanan, penemuan thorium Tiongkok ini bisa dianalisis menggunakan teori keseimbangan kekuatan (balance of power). Dalam konteks ini, dominasi energi oleh satu negara dapat mengubah struktur kekuasaan global, menyebabkan negara-negara lain menyesuaikan strategi geopolitiknya. Jika Tiongkok berhasil mengamankan keunggulan dalam teknologi thorium, negara-negara Barat mungkin akan berusaha mengembangkan sumber daya alternatif atau meningkatkan upaya diversifikasi energi untuk menghindari ketergantungan pada Tiongkok.
Selain itu, dari perspektif realisme struktural, pergeseran kekuatan dalam sektor energi ini dapat memicu kompetisi strategis antara negara-negara besar, terutama AS dan Tiongkok. AS yang selama ini menjadi penguasa teknologi nuklir berbasis uranium mungkin akan menganggap dominasi thorium Tiongkok sebagai ancaman strategis, sehingga bisa memicu kebijakan pembatasan ekspor teknologi atau peningkatan aliansi energi dengan negara-negara lain untuk menyeimbangkan kekuatan.
Lantas, seberapa dekat “ancaman” ini menjadi sebuah kenyataan?

Potensi Besar, Tantangan Lebih Besar
Meskipun thorium menjanjikan revolusi energi, pengembangannya masih menghadapi berbagai tantangan besar. Tidak seperti uranium-235 yang langsung bisa digunakan dalam reaktor konvensional, thorium memerlukan teknologi pemrosesan khusus untuk dikonversi menjadi bahan bakar nuklir yang bisa digunakan secara efisien.
Ini berarti negara yang ingin memanfaatkan thorium harus melakukan investasi besar dalam pengembangan teknologi reaktor garam cair, yang hingga kini masih dalam tahap pengujian dan belum digunakan secara luas.
Selain itu, pergeseran dari uranium ke thorium memerlukan perubahan regulasi yang kompleks. Saat ini, sistem nuklir global masih berfokus pada uranium dan plutonium, baik dalam hal perizinan, keamanan, maupun rantai pasok. Perubahan ke thorium membutuhkan waktu, kesepakatan internasional, serta kesiapan dari berbagai pihak yang terlibat dalam industri nuklir.
Pada akhirnya, meskipun thorium memiliki potensi besar untuk mengubah peta energi dunia dan bahkan tatanan geopolitik global, tantangan teknologi dan investasi masih menjadi faktor penentu. Jika suatu negara—seperti Tiongkok—mampu mengatasi tantangan ini lebih cepat dibanding negara lain, maka kita bisa melihat perubahan signifikan dalam keseimbangan kekuatan global di masa depan.
Menariknya, sebagai bahan perandaian, Indonesia pun sebetulnya memiliki cadangan thoriumnya sendiri. Menurut Kepala ORTN – BRIN, Rohadi Awaludin, Indonesia memiliki perkiraan cadangan thorium sekitar 140 ribu ton, yang berlokasi di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Jika bisa mengikuti langkah Tiongkok dalam mengeksplorasi pasokan thorium, Indonesia pun bisa saja menjadi pemain kunci dalam era energi baru ini.
Namun, pengembangan industri thorium bukan sekadar soal ketersediaan bahan baku, melainkan juga kesiapan infrastruktur dan teknologi. Tanpa investasi besar dalam penelitian dan pengembangan, Indonesia bisa tertinggal dalam perebutan pangsa pasar energi thorium.
Pertanyaannya sekarang, siapkah dunia menghadapi era energi thorium? Dan khususnya, bagaimana dengan Indonesia? Well, mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya. (D74)