Site icon PinterPolitik.com

Tiongkok, Last Punch KPK ke Jokowi?

Last Punch KPK untuk Jokowi?

KPK meminta pemerintah waspada pada perusahaan-perusahaan Tiongkok (Foto: istimewa)

Pimpinan KPK dalam salah satu tulisan yang dikutip oleh South China Morning Post (SCMP) dan bersumber dari Bloomberg, memperingatkan Indonesia terkait ancaman yang akan timbul dari kerja sama yang dilakukan dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok. Beberapa proyek, misalnya kereta api cepat Jakarta-Bandung, disoroti dari sisi transparansinya. Sementara, di sisi lain, sorotan juga muncul terhadap KPK sendiri, utamanya di tengah getolnya pemerintahan Jokowi membangun infrastruktur dengan menggandeng Tiongkok. Adakah alasan lain di balik peringatan ini?


PinterPolitk.com

“It is not the young people that degenerate; they are not spoiled till those of mature age are already sunk into corruption”.

:: Montesquieu (1689-1755), filsuf Prancis ::

Hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sedang cukup renggang. Mungkin levelnya belum sampai seperti apa yang terjadi di antara Marcus Antonius (83-30 SM) dengan Octavian alias Augustus (63-14 SM) – dua tokoh yang awalnya adalah pucuk dari Triumvirat II yang menguasai Romawi, namun pada akhirnya saling bertentangan dan berperang satu sama lain.

Yang jelas, hubungan Jokowi dengan KPK memang merenggang, setidaknya sejak sang presiden dituduh tak mengindahkan protes dari pegiat antikorupsi atas calon pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, serta terkait disahkannya revisi Undang-Undang KPK, sementara Jokowi tak jua menerbutkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) seperti yang sudah diwacanakan sebelumnya.

Yang terbaru, muncul tulisan menarik di South China Morning Post (SCMP) beberapa hari lalu yang berbicara tentang bahaya yang akan dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam kerja samanya dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Secara spesifik, media yang kini dimiliki oleh Alibaba ini mengutip pernyataan yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif yang menyebutkan ada bahaya dalam transparansi kerja sama bisnis yang melibatkan perusahaan-perusahaan Tiongkok di dalamnya.

Laode menyebut sebaran pengaruh Tiongkok di negara-negara Asia Tenggara pada akhirnya memperkuat pengaruh negara Tirai Bambu di kawasan Asia Pasifik. Konteks ini menarik, mengingat Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi sangat dekat Tiongkok dalam berbagai proyek infrastruktur yang dikerjakan.

Salah satu proyek yang disoroti secara khusus dalam tulisan tersebut adalah kereta api cepat Jakarta-Bandung yang total nilainya mencapai US$ 6 miliar atau sekitar Rp 84 triliun. Proyek yang ada di bawah konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini dianggap bermasalah dalam hal transparansi.

Konteks proyek ini memang patut dijadikan perhatian, mengingat kerja sama akan berlangsung hingga 50 tahun. Selain itu, berdasarkan beberapa dokumen dari KCIC, struktur pembiayaan proyek ini terdiri atas 25 persen dari ekuitas dan 75 persen pinjaman.

Porsi pinjaman bersumber dari China Development Bank (CDB) – salah satu perbankan sentral milik pemerintah Tiongkok yang banyak berperan dalam berbagai pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh negara tersebut.

Pinjaman ini memang membuat keberlangsungan proyek ini akan melahirkan ikatan dengan Tiongkok sendiri, entah secara konteks pengembalian pinjaman, pun dalam hal ketergantungan politik dan ekonomi secara lebih besar.

Hal lain yang menarik tentu saja adalah dalam konteks penyampaian KPK itu sendiri. Bahasa peringatan KPK ini bisa dimaknai secara berbeda, apalagi jika melihat konteks hubungan Jokowi dan lembaga anti rasuah tersebut yang beberapa waktu belakangan merenggang.

Mengingat peringatan ini disampaikan oleh pimpinan KPK yang sebentar lagi akan berakhir kekuasaannya, benarkah ini jadi manuver “pukulan” terakhir yang dilancarkan sebelum tampuk kekuasaan berganti ke pemimpin berikutnya? Lalu, seperti apa ancaman perusahan-perusahan Tiongkok yang disebut KPK ini harus dimaknai?

One Last Punch KPK

Hubungan Jokowi dan KPK memang beberapa waktu terakhir tak berlangsung seperti sebelum-sebelumnya, katakanlah di periode pertama kekuasaannya. Publik tentu ingat bagaimana Jokowi cukup sering melibatkan KPK dalam pengambilan kebijakan sejak awal kekuasaan.

Para menteri di periode pertama misalnya, dipilih Jokowi dengan mempertimbangkan track record yang ditelusuri oleh KPK. Bahkan, Jokowi sempat batal melantik Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri setelah KPK memberikan catatan tentangnya terkait kepemilikan rekening gendut.

Namun, hal-hal tersebut tidak tampak lagi di periode kedua kekuasaan Jokowi. KPK sama sekali tak dilibatkan dalam pemilihan menteri. Bahkan, Jokowi cenderung dianggap “mengabaikan” posisi KPK – hal yang terlihat dari lolosnya Firli Bahuri sebagai calon pimpinan lembaga anti rasuah tersebut, sekalipun telah ada protes dari KPK terkait pelanggaran kode etik berat sewaktu yang bersangkutan menjadi penyidik.

Hal yang sama juga terlihat dari sikap Jokowi yang memberi jarak antara dirinya dengan protes rakyat ketika revisi UU KPK menjadi polemik besar yang berujung pada demonstrasi mahasiswa pada September 2019 lalu.

Renggangnya hubungan ini makin jelas ketika Jokowi tak hadir pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia setelah sebelumnya hadir dalam acara yang diadakan oleh KPK pada tahun 2017 dan 2018. Tahun ini, Jokowi malah memilih ikut acara di SMK 57 Jakarta dan menyaksikan para menterinya bermain drama.

Artinya, manuver peringatan KPK dalam bahasa yang bersifat memperingatkan ini boleh jadi adalah “pukulan” terakhir untuk Jokowi, jelang pergantian pimpinan yang akan dilakukan pada 21 Desember 2019 mendatang.

Konteks ini juga penting untuk dilihat, mengingat beberapa pengamat politik justru menyebutkan bahwa Jokowi sebetulnya menggunakan KPK untuk gaining power atau mendapatkan kekuatan politik. Hal ini misalnya disinggung oleh Thomas P. Power dalam tulisannya Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline.

Dengan demikian, boleh jadi saat ini Jokowi sudah merasa kuat secara politik, sehingga tak begitu membutuhkan strategi gaining power lewat KPK seperti yang dilakukannya di periode pertama kekuasaannya.

Konteks one last punch atau pukulan terakhir pimpinan KPK yang akan demisioner ini juga bisa dimaklumi, mengingat pimpinan baru yang akan dilantik diprediksi akan membawa lembaga ini ke arah yang berseberangan dengan visi pemberantasan korupsi. Hal ini tak lepas dari relasi yang disebut jauh lebih dekat dengan partai politik tertentu.

Bahaya Tiongkok Mengintai?

Terkait konteks ancaman perusahaan-perusahaan Tiongkok yang disampaikan oleh KPK, memang hal tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. PT KCIC sendiri misalnya, merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN, dengan konsorsium dari Tiongkok yakni Beijing Yawan HSR Co. Ltd.

Konsorsium Indonesia memiliki saham 60 persen dari KCIC, sedangkan 40 persen sisanya dimiliki konsorsium Tiongkok.

PT Pilar Sinergi BUMN terdiri dari gabungan BUMN meliputi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebagai leader, dan tiga anggota lain yakni PT Jasamarga (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), serta PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Sedangkan Beijing Yawan HSR Co Ltd terdiri dari China Railway International Co Ltd, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corp.

Bahaya yang mungkin akan terjadi adalah jika proyek ini pada akhirnya tidak mencapai target yang dinginkan. Beban lainnya adalah soal utang pinjaman yang jika tak mampu dibayarkan akan membuat Indonesia terikat pada Tiongkok, katakanlah bisa berujung pada alih kepemilikan proyek yang telah dikerjakan.

The Guardian dalam salah satu tulisan memperingatkan hal ini dengan menyebut Tiongkok sedang menjalankan debt-trap diplomacy alias diplomasi perangkap utang. Praktik skema kerja sama yang dilakukan ini berbahaya bagi negara-negara dengan ekonomi yang rentan.

Praktik debt trap atau money trap pada akhirnya membuat negara yang diberikan pinjaman perlahan akan dikuasai infrastrukturnya ketika tak mampu membayar utang yang menjadi sumber pembiayaan proyek.

Bahaya dalam konteks Indonesia adalah jika pengembalian pinjaman pembangunan infrastruktur justru membebani negara dan pada akhirnya mengharuskan negara melakukan “pengorbanan” tertentu.

Hal ini salah satunya terjadi pada Sri Lanka yang disebut sebagai salah satu korban debt trap Tiongkok. Umesh Moramudali dalam tulisannya di The Diplomat menyebutkan bahwa Sri Lanka sering dilihat sebagai korban perangkap utang ketika pembiayaan berbagai infrastruktur publiknya dikerjasamakan dengan Tiongkok.

Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka adalah salah satu proyek yang pada akhirnya “dilepas” ke China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) untuk 99 tahun, senilai US$1,12 miliar pada 2017 lalu akibat ketidakmampuan pemerintah negara tersebut membayar utang pembiayaan pembangunan pelabuhan tersebut ke Tiongkok.

Selain konteks penguasaan infrastruktur, bahaya lain juga disoroti oleh Australia. Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan misalnya, memperingatkan Indonesia soal kerja sama dengan perusahaan Tiongkok, Huawei, yang dianggap bisa mengancam keamanan jika pada akhirnya terjadi kebocoran data-data intelijen. Huawei sendiri memang sedang menggarap proyek kerja sama jaringan 5G dengan pemerintah Indonesia.

Pada akhirnya, peringatan dari pimpinan KPK memang bisa dimaknai dalam dua sudut pandang, baik itu manuver dari KPK sendiri, pun dalam konteks bahaya dari Tiongkok itu sendiri. Yang jelas, publik tentu akan menanti seperti apa kebijakan Presiden Jokowi terhadap isu-isu ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version