Sudah sejak lama keberhasilan Tiongkok dalam membangun ekonomi dinilai dapat memicu gelombang balik demokrasi. Terbaru, dengan cepatnya pemulihan Tiongkok setelah terhantam pandemi Covid-19, mungkinkah ini memicu berbagai negara, termasuk Indonesia untuk menerapkan sistem politik otoriter?
“Negara-negara otoriter, dipimpin Tiongkok, tumbuh lebih percaya diri dan menonjol” – Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment
Jika dibandingkan dengan gorila ataupun harimau, fisik manusia jelas kalah jauh. Kedua hewan tersebut dapat dengan mudah merobek perut manusia. Namun, kendati tidak memiliki fisik yang kuat, manusia uniknya dapat memuncaki rantai makanan hingga saat ini. Satu kelebihan manusia yang membuatnya berhasil di posisi ini adalah kecerdasan yang dimilikinya.
Salah satu kecerdasan tersebut adalah kemampuan imitasi atau meniru yang luar biasa. Tidak seperti organisme lainnya yang hanya mampu melakukan imitasi sederhana, manusia bahkan mampu mengembangkan imitasi menjadi inovasi.
Dalam berbagai seminar motivasi, strategi imitasi terlihat jelas menjadi jantung pembawaan materi. Motivator kerap kali memberikan gambaran sosok-sosok terkenal dan berpengaruh, seperti Bill Gates, Albert Einstein, dan BJ Habibie agar dijadikan role model oleh peserta seminar. Diharapkan, para peserta tidak hanya mampu mengimitasi mereka, melainkan juga terinspirasi untuk membuat terobosan atau inovasi.
Tidak hanya di level individu, di level negara, strategi imitasi semacam itu juga terjadi. Korea Selatan (Korsel) misalnya, negara yang memiliki pendapatan rendah di pertengahan abad ke-20 ini, kini menjelma menjadi salah satu negara maju dengan teknologi tinggi. Kunci utama keberhasilan Korsel ini karena menerapkan strategi From Imitation to Innovation, yakni meniru teknologi negara-negara maju di Barat, yang kemudian dikembangkan.
Sama halnya dengan Korsel, Tiongkok juga dinilai melakukan strategi serupa. Dulunya, kita tentu memandang sinis gawai buatan negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, kondisinya berubah 180 derajat, gawai asal Tiongkok seperti Huawei dan Xiaomi justru merajai pasar dunia saat ini.
Lebih hebatnya lagi, setelah menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia, tidak sedikit negara yang tergiur menerapkan sistem ekonomi state capitalism atau kapitalisme negara ala Tiongkok. Indonesia misalnya, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kapitalisme negara yang memberikan porsi besar peran ekonomi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah diterapkan.
Di tengah kebutuhan Indonesia untuk mendongkrak laju perekonomian, dan melihat keberhasilan Tiongkok dalam menanggulangi pandemi Covid-19, mungkinkah Indonesia juga akan mengimitasi sistem politik negeri Tirai Bambu tersebut?
Gelombang Balik Demokrasi Ketiga?
Francis Fukuyama, nama ini dikenal luas dan dianggap berpengaruh pemikirannya setelah menerbitkan buku The End of History and The Last Man. Dengan percaya diri, Fukuyama menulis sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Sumber awal buku itu sendiri terdapat dalam sebuah artikel yang ditulis Fukuyama pada tahun 1989 di jurnal The National Interest dengan judul yang sama.
Dalam tesisnya, Fukuyama melihat terdapat konsensus luar biasa berkenaan dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah muncul di seluruh dunia, setelah sistem ini mengalahkan ideologi-ideologi pesaingnya, seperti monarki, fasisme, dan komunisme. Dengan semangat gelombang demokratisasi sejak tahun 1970-an, tesis tersebut tentunya mendapatkan sambutan hangat nan meriah.
Tidak berselang lama, dosen sekaligus kolega Fukuyama, Samuel P. Huntington juga merilis buku dengan judul The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Menariknya, alih-alih mendukung tesis muridnya, Huntington justru menyebutkan bahwa gelombang balik demokrasi dapat saja terjadi.
Menurut catatannya, gelombang demokratisasi pertama sudah terjadi sejak tahun 1828 – 1926. Gelombang demokratisasi kedua dan ketiga kemudian terjadi pada tahun 1943 – 1962 dan 1974 –. Akan tetapi, uniknya Huntington melihat terdapat gelombang balik setelah terjadinya gelombang demokratisasi. Gelombang balik pertama terjadi pada tahun 1922 – 1942, dan gelombang balik kedua pada tahun 1958 – 1975.
Mengumpulkan faktor-faktor yang menyebabkan gelombang balik pertama dan kedua, Huntington kemudian merumuskan berbagai faktor yang dapat saja menyebabkan gelombang balik ketiga demokrasi.
Pertama, kegagalan sistemis dari rezim-rezim demokratis untuk beroperasi secara efektif dapat memperlemah legitimasi mereka. Kedua, ambruknya perekonomian dapat mengikis legitimasi demokrasi. Ketiga, bergesernya negara demokrasi besar ke arah otoriter dapat memicu efek bola salju di negara-negara lainnya. Di sini, Huntington mencontohkan berbaliknya Rusia ke negara otoriter.
Keempat, bergesernya negara demokrasi baru ke arah otoriter karena tidak memiliki banyak prasyarat demokrasi juga dapat menciptakan efek bola salju.
Kelima, apabila sebuah negara non-demokratis mengembangkan kekuatannya secara besar-besaran dan memperluas wilayah pengaruhnya, ini dapat merangsang gerakan-gerakan otoriter di negara lain. Huntington mencontohkan Tiongkok dalam kasus ini.
Keenam, bentuk-bentuk otoritarianisme dapat saja muncul kembali apabila dinilai sesuai dengan kebutuhan zaman.
Azar Gat dalam tulisannya The Return of Authoritarian Great Powers juga merumuskan terdapat dua faktor utama yang sepertinya dapat menjadi pemicu kebangkitan negara-negara otoriter. Pertama adalah kebangkitan Islam radikal; dan kedua adalah kebangkitan negara non-demokratis, seperti Tiongkok dan Rusia.
Menurut Gat, faktor yang kedua jauh lebih berpengaruh daripada yang pertama. Uniknya, pernyataan Gat ini tampaknya mendapatkan afirmasi dari Fukuyama. Dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama mengakui bahwa lembaga-lembaga demokrasi dunia tengah mengalami pembusukan.
Bahkan menurutnya, sejak pertengahan tahun 2000-an, tren demokratisasi telah berbalik dan negara demokrasi jumlahnya telah menurun. Di sini, Fukuyama menyinggung bagaimana majunya Tiongkok membuat negara-negara non-demokratis tampil lebih percaya diri.
Dalam berbagai buku dan seminarnya, Fukuyama kerap mengutip pemikiran Plato – atau Platon – terkait thumos. Konsep ini menerangkan perihal adanya rasa marah yang benar, kebutuhan, dan keinginan untuk melawan ketidakadilan yang dirasakan jiwa manusia.
Bertolak dari penindasan dalam rezim monarki ataupun otoriter, thumos tentunya dirasakan hadir, yang kemudian membuat masyarakat menuntut revolusi. Ini misalnya dapat menjelaskan revolusi yang terjadi di Prancis. Singkatnya, thumos ini menjadi inti dari mengapa sistem politik demokrasi liberal kemudian terlahir. Dengan demokrasi liberal yang memberikan hak setara terhadap umat manusia, ini dinilai sebagai aktualisasi dari keadilan, dan diharapkan dapat membawa kesejahteraan.
Akan tetapi, sama halnya dengan thumos yang membawa perubahan dari negara otoriter menuju negara demokrasi, hal sebaliknya juga dapat terjadi apabila negara demokrasi tidak memberikan keadilan ataupun kesejahteraan yang diharapkan.
Seperti yang diulas oleh Huntington, kegagalan rezim, ambruknya ekonomi, dan melihat majunya negara otoriter dapat menjadi perangsang suatu negara demokrasi menjadi otoriter.
Covid-19 Menjadi Penentu?
Saat ini, dunia tentu mengetahui terdapat dua kekuatan hegemoni yang tengah berseteru, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Akan tetapi, berbeda dengan negeri Tirai Bambu yang dengan cepat mampu menanggulangi pandemi Covid-19, AS justru tengah terpuruk saat ini. Negeri Paman Sam bahkan menjadi episentrum Covid-19 dunia.
Baru-baru ini, Wuhan yang menjadi kota awal infeksi Covid-19 bahkan telah mengadakan festival musik yang dihadiri oleh ribuan orang.
Di titik ini, pertanyaan krusialnya adalah, apakah dengan kemajuan ekonomi Tiongkok dan keberhasilannya dalam menangani pandemi Covid-19 dapat merangsang Indonesia untuk memunculkan bentuk-bentuk otoritarianisme?
Mengacu pada faktor yang disebutkan oleh Huntington, boleh jadi hal tersebut terjadi. Suka atau tidak, legitimasi pemerintah saat ini tidaklah kuat. Tidak sedikit masyarakat yang enggan, atau setidaknya sinis mendengar pernyataan para elite politik. Buruknya pengelolaan juga dinilai memperburuk perekonomian.
Terlebih lagi, konsep thumos yang menjadi penekanan Fukuyama, besar kemungkinan akan menjadi penentu. Jika pejabat elite merasakan sistem demokrasi sulit membawa perekonomian ke arah yang lebih baik, sistem politik Tiongkok yang terbukti berhasil mengembangkan ekonomi boleh jadi akan dilirik.
Melihat gelagat yang ada, tebaran-tebaran kebijakan bertendensi otoriter tampaknya sudah terlihat. Kebebasan pers dinilai sulit ditegakkan. UU ITE disebut menjadi pasal karet yang membungkam berbagai kritik. Hingga pada dipandang lumrahnya penempatan aparat di berbagai institusi pemerintahan.
Dengan Indonesia yang saat ini tengah mendapatkan dampak multi-aspek, khususnya ekonomi akibat pandemi Covid-19, boleh jadi itu akan membuat pemerintah melirik strategi Tiongkok yang telah terbukti sukses. Terlebih lagi, dengan adanya berbagai gejolak politik akibat gerakan-gerakan populis, dapat saja membuat pemerintah menjalankan bentuk-bentuk otoritarianisme guna mengendalikan situasi.
Pada akhirnya, kita tentu berharap pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dapat menanggulangi pandemi Covid-19 dengan sangat baik. Terkait apakah ke depannya bentuk-bentuk otoritarianisme terjadi, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)