Site icon PinterPolitik.com

Tiongkok di Saudi-Iran, Perdamaian Hakiki?

tiongkok di saudi iran perdamaian hakiki

Wang Yi (tengah), diplomat senior Republik Rakyat Tiongkok (RRT), berfoto bersama Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani (kanan) dan Menteri Negara Arab Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban di Beijing, Tiongkok, pada 10 Maret 2023 lalu. (Foto: Reuters)

Timur Tengah selalu memberikan kejutan kepada kita yang selalu memperhatikannya. Kali ini datang dari sebuah kabar mengejutkan rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran, serta Tiongkok menjadi penengahnya. Ini memukul telak negara besar seperti Amerika Serikat (AS) yang selama ini mendominasi kawasan dan Israel masih haus akan pengakuan kedaulatan. 


PinterPolitik.com

Siapa bilang, kalau dua negara berseteru, permusuhannya akan terus meruncing di waktu yang sangat lama? Arab Saudi dan Iran membuktikan bahwa mereka akhirnya bisa menemukan kata sepakat di antara kedua negara ini.

Saudi dan Iran pada tanggal 10 Maret 2023 kemarin melakukan rekonsiliasi untuk perbaikan hubungan bilateral mereka setelah tujuh tahun secara formal memutuskan hubungan diplomatik mereka.

Ini menjadi berita besar – atau bisa jadi salah satu yang terbesar – untuk kawasan Timur Tengah. Siapa menyangka dua negara yang dalam konflik identitas dan juga geopolitik ini bisa duduk bersama untuk menyatakan perdamaian?

Sejauh ini, tahap awal dalam hubungan kedua negara tersebut memprioritaskan rekonsiliasi, pembukaan kedutaan di masing-masing negara dalam jangka waktu dua bulan ke depan, dan kerja sama keamanan.

Saudi dan Iran punya sejarah hubungan politik yang naik-turun terutama sejak revolusi Iran tahun 1979 yang membuat perseteruan dengan Saudi meruncing. Konflik identitas juga menjadi salah satu faktor utamanya – hingga terlibat pada proxy wars di kawasan Timur Tengah.

Apakah kejutannya sampai di situ saja? Oh, tentu, tidak. Ternyata, pihak yang maju sebagai penengah dalam proses rekonsiliasi ini adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Tiongkok telah “mengkudeta” secara diplomatik dominasi Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi “raja” di kawasan tersebut.

Akan tetapi, sejauh ini, apa yang menyebabkan Tiongkok berinisiatif menjadi penengah untuk rekonsiliasi Saudi dan Iran? Alasan utamanya – selain posisi Tiongkok yang paling netral di kawasan – adalah karena negara Tirai Bambu juga menjadi tujuan ekonomi ke depannya untuk kedua negara ini. 

Tiongkok selama ini telah berusaha lebih aktif lagi dalam peran resolusi konflik bagi beberapa negara di dunia. Sebelum ini, negeri Tirai Bambu tersebut sempat mencoba menjadi penengah dalam konflik Rusia-Ukraina – meski akhirnya harus gagal karena persepsi kedekatan dengan Rusia.

Pertanyaan besar dari kisah geopolitik yang dramatis ini adalah mengapa kehadiran Tiongkok justru bisa mendamaikan dua negara ini. Mengapa kesepakatan diplomatik ini bisa membuat AS dan Israel gigit jari? Selain itu, apakah rekonsiliasi Arab Saudi dan Iran ini berjangka panjang serta membuka keran perdamaian di kawasan Timur Tengah??

Kepentingan Tiongkok Rendah Risiko?

Semua negara mempunyai kepentingan sendiri ketika memutuskan kebijakan luar negerinya. Bisa jadi, Iran dan Saudi ingin melakukan rekonsiliasi selain untuk memperbaiki hubungan bilateral.

Mereka juga nantinya akan menyepakati kerja sama keamanan dan ekonomi yang berpengaruh juga dengan beberapa negara Timur Tengah lainnya yang menjadi “korban proxy” dalam perang dingin antara Iran dan Saudi – seperti Yaman, Sudan, dan Lebanon.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Tiongkok menjadi pusat perhatian tersendiri ketika perannya menjadi penengah Iran dan Saudi. Lalu, bagaimana Tiongkok melakukan hal tersebut dan mengapa ikut juga dalam percaturan politik Timur Tengah?

Menurut Robert Moielnicki dari Arab Gulf State Institute, sebenarnya Tiongkok tidak terlalu terlihat mempunyai kepentingan yang tinggi dalam proses kesepakatan ini. Lebih lanjut, ia mengatakan posisi Tiongkok yang sebenarnya tidak mengejar tujuan material pasti dengan kedua negara tersebut – atau bisa dikatakan sebagai “nothing to lose”. 

Tiongkok juga bisa mendapatkan negosiasi terbaik bidang perdagangan – terutama energi – di kawasan ini. Selain itu, Tiongkok melihat ada peluang besar ketika AS dan Iran masih dalam hubungan diplomatik yang memanas. 

Sementara itu, Saudi sendiri sejak tahun 2016 mulai mengurangi intensitas konflik di Timur Tengah – khususnya terhadap Iran – karena ingin berfokus pada tata kelola ekonomi yang nantinya punya program sendiri, yaitu Saudi Vision 2030.

Tentunya, Tiongkok juga punya pengaruh besar hingga bisa merangkul dua negara besar Timur Tengah yang punya rivalitas tinggi di kawasan. 

Pengaruh besar ini dalam sebutan ilmu politik internasional adalah influence development process atau proses pengembangan pengaruh dalam jurnal yang ditulis oleh Emily Meierding dan Rachel Sigman berjudul Understanding the Mechanisms of International Influence in an Era of Great Power Competition.

Dalam tulisannya tersebut, mereka menjelaskan kerangka proses sebuah negara untuk bisa mendapatkan kuasa pengaruh terhadap negara lain. Salah satunya adalah upaya mempengaruhi dengan pendekatan-pendekatan diplomatik dan kerja sama ekonomi.

Tiongkok sejauh ini menggunakan aktivitas diplomasi yang disusul kerja sama ekonomi – serta terakhir mekanisme keaktifan forum diplomasi dengan langkah untuk menjadi penengah antara Iran dan Saudi.

Inilah yang dilakukan oleh Tiongkok sebagai “pemberi pengaruh” kepada Iran dan Saudi melalui perannya sebagai penengah. Ditambah lagi posisi Tiongkok yang tidak terlihat “ngoyo” dalam mengejar kepentingannya membuat rekonsiliasi bisa terlaksana pada 10 Maret 2023 kemarin.

Ini juga yang membedakannya dengan AS dan Israel dalam pendekatan terhadap negara-negara Timur Tengah. AS mendominasi kawasan dengan cara memojokkan salah satu negara Timur Tengah lainnya dengan isu keamanan – dalam kasus ini Iran menjadi sasarannya.

Demikian dengan Israel, ditambah lagi ambisi besarnya untuk mendapatkan tanda tangan Saudi sebagai negara yang juga menormalisasi hubungan dengan Israel benar-benar tinggi. Namun, sayangnya, Saudi tiba-tiba lebih memilih untuk menormalisasi hubungan dengan Iran.

Lantas, melihat lebih jauh lagi, apakah kesepakatan antara Iran dan Saudi ini akan mempengaruhi situasi Timur Tengah yang lebih kondusif secara umum? Akankah Timur Tengah akhirnya menjadi kawasan yang damai?

Timur Tengah Menuju Perdamaian Hakiki?

Selain perbaikan hubungan diplomatik, Iran dan Arab Saudi nantinya akan bekerja sama lebih lanjut akan di bidang ekonomi. Di situlah sebenarnya Tiongkok punya andil sangat besar daripada sekedar mendamaikan kedua negara tersebut. 

Akan tetapi, bagaimana Tiongkok bisa punya andil besar untuk “perdamaian hakiki” di Timur Tengah? Caranya adalag melalui perubahan ekuilibrium kekuatan kawasan – dalam perspektif realis bisa dikatakan “keseimbangan kekuatan” (balance of power) – yang tadinya bersifat unipolar karena dikuasai oleh AS. 

Kini, Tiongkok perlahan mengubah status quo tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Morton A. Kaplan dalam jurnal berjudul Balance of Power, Bipolarity, and other Models of International Systems, kekuatan bisa seimbang juga jika sebuah negara menaikkan kapabilitas kekuatannya melalui negosiasi dan melakukan koalisi – alih-alih melawan secara konstan dengan negara lawan.

Terkait itu, Tiongkok bukanlah pemain baru di Timur Tengah. Negeri Tirai Bambu itu sudah melalang buana di kawasan untuk melebarkan sayap Belt and Road Initiative (BRI) sejak 2016 bersama Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Oman melalui pembangunan infrastruktur di bidang telekomunikasi dan energi.

Sementara itu, Tiongkok bersama Saudi menginginkan kerja sama dalam bidang energi melalui minyaknya – begitu juga dengan Iran terkait pengembangan nuklirnya. Alhasil, ketiga negara ini bukan tidak mungkin memiliki mutual interest (kepentingan yang sama). 

Penggambaran ini mengajak kita untuk melihat kepentingan bersama antar-negara terhadap relasi kuasa. Ini dituliskan dalam jurnal berjudul Mutual Interest, Normative Continuites, and Regime Theory: Cooperation in International Transportation and Communications Industries karya Mark W. Zacher dan Brent A. Sutton.

Perspektif neoliberalisme dalam studi Hubungan Internasional (HI) percaya bahwa dengan adanya jejaring kepentingan, situasi “anarki” dalam sistem internasional bisa terkaburkan. Itu bermakna kerja sama antar-kepentingan juga akan menurunkan kemungkinan konflik lebih lanjut.

Dengan konvergensi kepentingan, keadaan kawasan Timur Tengah bisa jadi berangsur-angsur menjadi lebih stabil. Ini bisa dilihat dari konvergensi antara peran Tiongkok sebagai penengah dan pendorong kepentingan kerja sama, tujuan dari Saudi untuk mengurangi konflik proxy di kawasan, serta usaha Iran ingin keluar dari tekanan sanksi yang menyatukan ketiga negara ini.

Alhasil, berbekal pada kesamaan kepentingan, Tiongkok justru menjadi kekuatan luar yang akhirnya bisa mengimbangi dominasi pengaruh AS. Kesepakatan Iran dan Saudi sendiri bisa menjadi pertanda bahwa negara-negara Timur Tengah kini lebih menginginkan stabilitas daripada dilema keamanan (security dilemma) di antara satu sama lain yang selalu jadi diskursus dalam diplomasi AS di kawasan.

Well, pada akhirnya, kepentingan bersama negara-negara Timur Tengah bisa jadi kunci untuk membuat kawasan ini stabil. Selama keinginan semuanya sama, bukan tidak mungkin konflik akan dikesampingkan. (A88)


Exit mobile version