Site icon PinterPolitik.com

Tiongkok dan Strategi “Lempar Tangan” Jokowi

Tiongkok dan Strategi Lempar Tangan Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (dua dari kanan) dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping (dua dari kiri) menghadiri Peringatan Tahunan ke-60 Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2015. (Foto: AFP)

Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai kerap menggunakan strategi ‘lempar tangan’ (buck-passing) ketika menghadapi dua negara adidaya – Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

“The aim of the buck-passer, after all, is to avoid having to fight the aggressor” – John Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (2001)

Tidak ada individu yang bisa lepas dari kesalahan dan tanggung jawab. Namun, bukan berarti kesalahan dan tanggung jawab tersebut harus ditanggung sepenuhnya sendirian.

Asumsi ini yang mungkin mendasari kebiasaan kita untuk melempar kesalahan kepada orang lain. Ketika orang tua  mempersoalkan nilai ujian buruk yang kita dapatkan, misalnya, kita sebisa mungkin akan mencari alasan yang membuat tanggung jawab kita terbagi – entah itu menyalahkan tangisan adik yang mengganggu kala belajar atau bahkan menyalahkan guru kita yang tidak menjelaskan pelajaran dengan baik.

Upaya untuk melempar tanggung jawab seperti ini tidak hanya terjadi di kehidupan kita, melainkan juga di lingkungan banyak keluarga lainnya. Mari kita ambil episode “Bad Hair Day” dari Modern Family (2009-2020) sebagai contohnya. Di episode tersebut, mulai dari Cameron Tucker, Manny Delgado, hingga Jay Pritchett, semua karakter berusaha saling melempar tanggung jawab.

Kesalahan dimulai ketika sebuah rambut palsu (wig) menempel pada kepala Joe si bayi. Cameron dan Mitchell Pritchett akhirnya terpaksa memotong rambut Joe yang berujung pada sebuah potongan yang buruk – membuat mereka mau tak mau harus mengaku kepada ibunya, Gloria Pritchett.

Kisah lucu di lingkungan keluarga Modern Family seperti ini pun juga terjadi dalam kesatuan keluarga yang lebih besar lagi. Keluarga tersebut dikenal sebagai Association of South East Asian Nations (ASEAN) – di mana banyak negara harus menghadapi beban yang sama, yakni persaingan yang terjadi antara dua negara adidaya – Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Baca Juga: Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?

Bagaimana tidak? Sejumlah negara anggota organisasi kawasan tersebut – terutama Indonesia – disebut kerap “lempar tangan” (passing the buck) ketika dihadapkan pada persoalan sengketa Laut China Selatan (LCS). Selama ini, misalnya, pemerintah Indonesia lebih memilih untuk “bersembunyi” di balik mekanisme ASEAN dibandingkan berperan aktif.

Bahkan, sejumlah pakar dan pengamat Hubungan Internasional (HI) menyebut Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak ingin mengambil peran aktif sebagai “pemimpin alami” ASEAN. Justru, Vietnam lah yang kini dianggap sebagai negara anggota yang paling serius menantang klaim nine-dashed line (sembilan garis) Tiongkok  di LCS.

Mungkin, inilah mengapa Wakil Presiden (Wapres) AS Kamala Harris – dan sejumlah pejabat tinggi AS lainnya, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Lloyd Austin – lebih memilih untuk mengunjungi Vietnam dibandingkan Indonesia. Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan (UPH) menilai bahwa ini terjadi karena AS menganggap Indonesia tidak bisa diajak berkomitmen dalam jangka panjang.

Namun, bagaimana bila ternyata tidak berkunjungnya Wapres AS ke Indonesia justru menjadi sesuatu yang diharapkan oleh pemerintahan Jokowi? Mengapa minimnya komitmen Indonesia kepada persoalan LCS dan kawasan Indo-Pasifik justru bisa menjadi strategi cerdik yang tengah dimainkan oleh negara kepulauan di Asia Tenggara tersebut?

Kebangkitan Raksasa Tiongkok

Apa yang dihadapi oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN saat ini merupakan hal yang alami terjadi. Dalam perspektif realis di HI, sengketa dan perebutan wilayah seperti di LCS mudah terjadi karena situasi politik dunia yang disebut sebagai anarki – di mana tidak ada kekuatan utama atau supremasi yang mengatur.

Asumsi bahwa dunia berada di bawah anarki inilah yang akhirnya mendasari para pemikir realis seperti John J. Mearshaeimer – seorang profesor politik di University of Chicago, AS. Dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics, situasi anarki ini akan membuat semua negara berusaha memaksimalkan (maximize) kekuatannya (power) – bahkan  sampai titik di mana negara tersebut bisa meraih status hegemon kawasan.

Status hegemon setidaknya mampu membuat negara itu merasa lebih aman (secure) karena negara-negara lain akan berpikir dua kali bila ingin mengganggu kepentingannya. Salah satu negara yang berusaha menjadi hegemon kawasan di Asia kini adalah Tiongkok.

Sayangnya, kebangkitan sebuah negara – dalam kacamata realis seperti Mearsheimer – tidaklah akan berjalan dengan mulus bagi banyak negara lain, apalagi apabila ada negara lain yang berusaha menjadi night watchman (penjaga malam) bagi negara dan kawasan lain, seperti AS yang membangun tatanan dunia (international order) berbasis pada nilai-nilai liberal.

Baca Juga: LTS, Jokowi Pilih AS Ketimbang Tiongkok?

Mengacu pada tulisan Mearsheimer yang berjudul China’s Unpeaceful Rise, kebangkitan Tiongkok ini akan berujung pada upaya negara tersebut untuk meraih status hegemon. Salah satu upayanya pun dilakukan dengan memastikan tidak ada negara lain yang mampu menandinginya, termasuk bila harus berhadapan dengan negara-negara tetangganya – seperti prinsip ekspansionis Manifest Destiny ala AS yang membuat negara itu mengambil banyak wilayah dari Meksiko dan sejumlah suku asli Amerika Utara pada abad ke-19.

Menjadi masuk akal apabila Tiongkok pun ingin melakukan hal yang sama di halamannya sendiri. Bukan tidak mungkin, negara inipun akhirnya berusaha menyasar LCS sebagai wilayah penting dalam upayanya untuk menuju hegemon kawasan di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Namun, apa yang dilakukan negara Tirai Bambu ini justru menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara – atau ASEAN. Bagaimana tidak? Setelah beberapa dekade berusaha menjaga stabilitas kawasan sejak era Perang Dingin, Indonesia dan negara-negara ASEAN harus menghadapi Tiongkok yang bisa saja dianggap sebagai aggressor (penyerang) bagi kumpulan negara kawasan tersebut.

Lantas, bila kemunculan Tiongkok sebagai calon hegemon – sekaligus aggressor – ini bisa mengancam Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan, apa respons yang perlu diambil oleh pemerintah Indonesia? Perlukah pemerintah Jokowi mengundang sang penjaga malam alias negara Paman Sam?

Lempar Tangan, Sebuah Survival?

Dengan situasi anarki dalam politik internasional, bukan tidak mungkin negara-negara akan mencari cara agar bisa survive (bertahan) di tengah upaya saling gempur dan saling sikut yang terjadi. Mearsheimer pun membeberkan sejumlah strategi survival bagi suatu negara dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics.

Beberapa di antaranya adalah balancing (menyeimbangkan kekuatan), buckpassing (lempar tangan), war (perang), bandwagoning (mengikuti salah satu negara berkekuatan besar), appeasement (memberikan konsesi), blackmail (ancaman), dan sebagainya. Salah satu strategi yang kini digunakan oleh Indonesia – mengacu pada pandangan sejumlah ahli seperti Evan Laksmana – adalah buck-passing.

Strategi lempar tangan ini terlihat dari bagaimana pemerintahan Jokowi berusaha melemparkan tanggung jawab untuk menghalau aggressor kepada ASEAN – akhirnya Indonesia dinilai tidak berperan aktif  untuk menghalau rongrongan Tiongkok di LCS. Sikap Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi yang mendukung pembahasan tata laku (code of conduct/CoC) antara ASEAN dan Tiongkok, misalnya, menjadi salah satu taktik yang digunakan dalam strategi ini.

Tidak hanya itu, Kamala Harris yang lebih memilih untuk berkunjung ke Vietnam dibandingkan ke Indonesia bisa jadi merefleksikan strategi lempar tangan ini. Padahal, mengacu pada tulisan Erik Goldstein yang berjudul The Politics of State Visit, kunjungan kenegaraan seperti ini menjadi upaya penting untuk meningkatkan aliansi antar-negara – sesuatu hal yang penting guna menghadapi rongrongan aggressor.

Baca Juga: Siasat Tiongkok Dekati Provinsi

Mungkin, Indonesia menggunakan strategi demikian karena belajar dari sejumlah negara yang juga melakukan buck-passing di masa lampau. Mearsheimer mencontohkan beberapa negara seperti Britania Raya (Inggris) dan AS kala Perang Dunia II meletus di Eropa.

Dua negara tersebut dinilai membiarkan negara-negara sekutunya – seperti Prancis dan Uni Soviet – untuk menghadapi musuh mereka terlebih dahulu, yakni Jerman Nazi. Bagaimana tidak? Secara geografis, AS dan Britania Raya diuntungkan oleh laut yang memisahkan mereka dengan medan perang langsung – membuat mereka menunggu agar Prancis dan Uni Soviet menangani Jerman Nazi sendiri terlebih dahulu.

Strategi ini – mengacu pada Mearsheimer – membuat AS dan Britania Raya  memiliki kesempatan guna menyimpan energi  bila harus menghadapi Jerman Nazi di kemudian hari. Bahkan, pemimpin Uni Soviet kala itu, Joseph Stalin, menilai bahwa upaya dua negara itu untuk membiarkan negaranya dan Jerman Nazi saling bertengkar dan berdarah membuat AS dan Britania Raya masih memiliki “energi” – alias power – untuk mendominasi Eropa pasca-Perang Dunia II.

Bukan tidak mungkin, upaya untuk “menyimpan energi” ini juga ingin dilakukan Indonesia. Lagipula, apa salahnya bila Indonesia membiarkan Vietnam, AS, dan negara ASEAN lainnya untuk menghadapi Tiongkok terlebih dahulu.

Dengan begitu, pemerintah Indonesia bisa lebih berfokus pada hal-hal yang penting untuk meningkatkan kekuatannya sendiri. Bisa jadi, strategi ini malah memberi Indonesia waktu untuk memaksimalkan kekuatannya sendiri di tengah berbagai kemungkinan ancaman geopolitik di masa mendatang.

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, misalnya, kini berfokus untuk menjalankan diplomasi pertahanan ke berbagai negara guna mewujudkan modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia. Di sisi lain, pemerintahan Jokowi juga perlu berfokus untuk meningkatkan kekuatan ekonomi (material power) yang – mengacu pada Mearsheimer – menjadi dasar bagi sebuah negara untuk meningkatkan kekuatan militernya (hard power).

Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi kini memang bukanlah negara yang paling aktif dan bersemangat dalam menghalau rongrongan Tiongkok.

Pada akhirnya, seperti apa yang terjadi di seri Modern Family, semua negara akan berusaha melemparkan tanggung jawab agar bisa menyelamatkan diri sendiri. Lagipula, di tengah anarki, bukankah hal yang penting untuk menentukan nasib sendiri? (A43)

Baca Juga: Saatnya Jokowi Tinggalkan Bebas-Aktif?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version