Gerakan Stop Asian Hating di Amerika Serikat telah membawa diskusi rasisme di panggung internasional, khususnya masyarakat Indonesia. Perlakuan diskriminatif yang dialami masyarakat Tionghoa di Indonesia juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang dibangun oleh para penguasa. Kira-kira, konstruksi dan sentimen apa yang dibangun sehingga terjadi diskriminasi tersebut?
Mencuatnya kasus kekerasan terhadap komunitas Asia di Amerika Serikat (AS) menjadi momentum terjadinya gerakan Stop Asian Hate. Walaupun rasisme ini sebenarnya sudah menjadi isu lama, gerakan ini dipicu oleh sentimen negatif terhadap komunitas Asia yang dianggap sebagai agen pembawa virus Corona.
Kasus kekerasan Asia meningkat secara siginifikan selama pandemi. Hal ini disebabkan oleh Presiden Donald Trump yang memberikan istilah rasis “Chinese Virus.” Istilah ini membangkitkan ketakutan publik terhadap komunitas Asia yang berujung pada tindakan kekerasan.
Permasalahan ini menjadi bahan diskusi di Indonesia. Terutama viralnya berita diaspora Indonesia yang berpartisipasi pada gerakan Stop Asian Hate. Dukungan dan solidaritas dalam negeri juga terlihat pada berbagai unggahan media sosial.
Selain di AS, diskriminasi juga terjadi di Indonesia, seperti terhadap komunitas minoritas Tionghoa. Namun, ada perbedaan konteks atas isu diskriminasi yang terjadi di AS dan Indonesia. Untuk memahami hal tersebut lebih dalam lagi, perlu diketahui faktor sosial politik pada isu diskriminasi Tionghoa di Indonesia.
Sejarah dan Agenda Sosial Politik
Masyarakat Tiongkok sudah berada di Indonesia sejak zaman kerajaan. Orang-orang Tiongkok datang sebagai pedagang dan menguasai sektor ekonomi. Penduduk Tiongkok yang berpegang teguh dengan budaya dan tradisinya memiliki pengaruh yang kuat terhadap budaya Indonesia. Sebaliknya, pengaruh budaya pribumi tidak begitu besar pada budaya mereka dan hanya mampu memengaruhi satu aspek budaya kepada orang Tiongkok, yakni agama Islam.
Ada jarak diantara orang Tiongkok dan orang Indonesia. Orang Tiongkok memiliki sikap superioritas karena lebih unggul secara ekonomi. Selain itu, pihak penduduk pribumi enggan untuk menerima Tiongkok menjadi orang Indonesia sepenuhnya.
Komunitas Tiongkok tetap makmur pada masa kolonial. Hal ini diakibatkan oleh sistem hukum Hindia Belanda yang menjadikan Tiongkok sebagai subjek hukum dagang dan sipil Belanda. Akibat sistem hukum tersebut, hak milik masyarakat Tiongkok dijamin menurut hukum Barat. Pemilik swasta Tiogkok juga bermitra dengan dagang Belanda, di mana hubungan mitra dagang tersebut langgeng karena dilindungi secara hukum.
Sistem hukum tersebut juga berkontribusi pada ketimpangan ekonomi antara masyarakat Tiongkok dan orang pribumi. Pasalnya, orang pribumi merupakan subjek hukum adat yang tidak memiliki hukum milik pribadi.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, komunitas Tiongkok semakin meningkatkan ekonominya karena mereka memiliki kapital, seperti modal, pengalaman, keahlian dan jaringan. Praktik kolusi juga turut mengembangkan usaha mereka dan pada tahun 1980-an banyak orang Tionghoa yang menjadi konglomerat.
Adapun usaha pemerintah Orde Baru untuk menghalangi orang Tionghoa menjadi priyayi. Pemerintah Orde Baru menghapus sekolah-sekolah khusus anak Tionghoa, melarang penggunaan bahasa Tionghoa dan meminta penggantian nama bagi keturunan Tionghoa yang masih bernuansa Tiongkok agar dapat menetap di Indonesia.
Soeharto membatasi perayaan Imlek dengan instruksi melakukan perayaan imlek dengan tidak mencolok atau hanya di lingkungan keluarga saja. Pemerintah juga membatasi ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengambil peran yang lebih besar di masyarakat dengan melarang orang Tionghoa bekerja sebagai pegawai pemerintahan dan TNI.
Sikap diskriminasi dan sentimen negatif terhadap orang Tiongkok dapat kita lihat melalui konsep rasisme yang menggunakan pendekatan konstruktivisme Edouard Machery dan Luc Faucher dalam tulisannya Social Construct and the Concept of Race yang mengatakan bahwa adanya miskonsepsi dalam memahami rasisme.
Baca Juga: Menyibak Rasisme terhadap Natalius Pigai
Perbedaan fisik sering kali dianggap menjadi alasan terjadinya diskriminasi terhadap kelompok etnis tertentu. Pernyataan ini banyak ditantang oleh akademisi dan dianggap keliru. Machery dan Faucher mengatakan bahwa rasisme itu sendiri bukan masalah biologis yang berhubungan dengan bentuk biologis seseorang, namun itu merupakan hasil konstruksi sosial. Konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat ini menghasilkan sentimen negatif terhadap kelompok masyarakat tertetu.
Berangkat dari konstruktivisme, diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia sebenarnya dirancang oleh pemerintah dengan membangun sentimen negatif terhadap mereka. Hal ini menjadikan permasalahan diskriminasi tersebut bersifat politis dan beberapa kali orang Tionghoa dijadikan target amukan massa.
Pada masa penjajahan, masyarakat Tionghoa dijadikan bandar pemungut pajak dan kinerja mereka dianggap efektif. Hal ini memunculkan sentimen anti Tionghoa dari orang-orang Jawa yang menganggap orang Tionghoa merupakan pemeras. Sentimen ini menghasilkan tindakan penjarahan, pembakaran gedung dan pembantaian orang Tionghoa pada saat Perang Jawa.
Konstruksi sosial juga dibuat oleh Soeharto untuk membangkitkan prasangka buruk terhadap Tionghoa. Soeharto yang sepertinya memiliki fobia terhadap hal-hal yang berbau Tiongkok, membuat aturan Instruksi Presiden 1967 yang mengatur dan membatasi praktik agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Soeharto berdalih bahwa agama dan budaya Tiongkok dapat memberikan pengaruh buruk atas psikologi, mental dan moral orang Indonesia.
Pemerintah Order Baru juga mengalihkan penggunaan istilah Tionghoa atau Tiongkok menjad Cina yang ditulis dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967. Penggunaan kata Tionghoa dan Tiongkok dianggap memberikan asosiasi-psikopolitis yang negatif terhadap masyarakat Indonesia.
Sentimen Soeharto terhadap Tionghoa merupakan upaya menghilangkan warisan Presiden Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan Tiongkok dan menghilangkan pengaruh Tiongkok di Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga dikambinghitamkan oleh Soeharto atas masalah ekonomi nasional karena dominasi ekonomi Tionghoa di tanah air.
Sentimen negatif masyarakat dibangun berdasarkan kecemburuan sosial masyarakat Indonesia terhadap komunitas Tionghoa. Dari zaman penjajahan kerajaan, kolonial dan Orde Baru, masyarakat Tionghoa mendominasi kekayaan masyarakat walaupun mendapatkan perlakuan diskriminasi secara sosial dan politik. Bahkan hingga saat ini, walaupun masyarakat Tionghoa sekitar 5 persen populasi masyarakat Indonesia, mereka masih mendominasi sektor ekonomi dan berada di dalam lingkaran kelompok elite ekonomi.
Konteks di Amerika Serikat
Penduduk Asia dari berbagai negara sudah lama datang ke Amerika Serikat dengan berbagai konteks dan latar belakang. Perang Vietnam mengakibatkan gelombang pengungsi dari Vietnam pergi ke AS untuk mencari perlindungan internasional. Orang Tiongkok datang ke AS sebagai pekerja tambang. Masyarakat Filipina datang ke Amerika akibat aneksasi Amerika pada tahun 1899.
Tingginya populasi Asia di AS mengakibatkan xenophobia terhadap orang Asia. Sentimen negatif Amerika Serikat terhadap masyarakat Asia dipengaruhi oleh sikap superior, dimana merasa kelompok dari Asia merupakan etnis dibawah orang kulit putih (supremasi kulit putih).
Selain itu, menurut Simeon Man dalam tulisannya “Anti-Asian Violence US Imperialism” serangan terhadap kelompok Asia di AS juga berhubungan dengan kondisi ekonomi nasional. Jika ekonomi sedang terpuruk, biasanya serangan rasis terhadap kelompok Asia meningkat dengan alasan bahwa kondisi ekonomi dipengaruhi oleh banyaknya imigran dari Asia yang bekerja di Amerika Serikat. Hal ini kita bisa melihat dari Pemilu 2016 ketika Donald Trump berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat dengan jargonnya “American First.”
Dilihat dari kondisi tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat memiliki persamaan di mana keduanya mengkmbinghitamkan kelompok minoritas sebagai sumber permasalahan yang ada, seperti Covid-19, krisis ekonomi, dan sebagainya. Namun, sikap rasisme Amerika Serikat juga berasal dari sikap superior atas etnis lainnya, sedangkan di Indonesia sikap diskriminasi atas masyarakat Tionghoa dinilai didasari oleh kecemburuan sosial.
Sekilas, Indonesia seperti memiliki sikap standar ganda dalam menanggapi isu rasisme dan diskriminasi kelompok minoritas. Indonesia cukup vokal bersuara dalam merespons gerakan Stop Asian Hate. Namun, Indonesia sendiri masih mengalami masalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas Tionghoa. Indonesia terlihat lebih responsif dalam menanggapi isu yang terjadi di Amerika Serikat daripada yang terjadi di dalam negeri.
Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui konsep amerikanisasi. Ulf Jonas Bjork dalam tulisannya The Mass Media and Americanization: Old Thruths and New Insights menjelaskan bahwa amerikanisasi atau americanization merupakan suatu konsep di mana Amerika menyebarkan pengaruh budayanya ke negara lain melalui berbagai medium, seperti pop culture, teknologi, politik dan lain sebagainya. Bjork menilai media merupakan salah satu medium yang efektif bagi Amerika menyebarkan nilai-nilainya.
Baca Juga: Ini Alasan FPI Tidak Akan Berjaya
Berangkat dari Bjork, media Amerika telah memengaruhi pemberitaan nasional yang turut memberitakan isu nasional yang terjadi di Amerika, seperti isu rasisme terhadap komunitas Asia. Pemberitaan nasional yang masif dalam memberitakan isu rasisme yang terjadi di Amerika juga turut memegaruhi cara masyarakat Indonesia menanggapi isu tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dengan masyarakat Indonesia yang vokal dalam memberikan dukungan kepada gerakan Stop Asian Hate yang terlihat di media sosial. Dukungan ini dapat terlihat pada trending topic Twitter #StopAsianHate dan #RacismIsNotComedy di Indonesia beberapa waktu lalu.
Kesimpulannya, diskriminasi terhadap kelompok minoritas terjadi di Amerika Serikat dan Indonesia. Sikap superior Amerika memengaruhi tindakan rasisme terhadap masyarakat Asia , tetapi pada konteks Indonesia, kecemburuan sosial menjadi penyebab diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa.
Berangkat dari teori konstruktivisme, rasisme itu sendiri merupakan hasil dari konstruksi sosial. Sentimen negatif terhadap masyarakat Tionghoa dibangun oleh Kolonial Belanda dan pemerintah Soeharto untuk mewujudkan agenda politik mereka.
Namun, tentunya perlu digarisbawahi, sekelumit analisis ini adalah interpretasi teoretis semata. Kesimpulan yang berbeda tentu akan tercipta apabila menggunakan teori dan sudut pandang yang berbeda. (R66)