Dengarkan artikel berikut
Perang selalu ada di kawasan Timur Tengah, mengapa bisa demikian dan siapa yang bisa disalahkan?
Selama ribuan tahun, peperangan tidak pernah meninggalkan tanah Timur Tengah. Wilayah ini selalu berada dalam pergolakan dan konflik yang tak berkesudahan.
Saat ini, pertempuran yang masih berkecamuk di Palestina, Lebanon, dan Suriah, membuat Timur Tengah menewaskan lebih dari 10 ribu orang setiap tahunnya. Hal ini membuat perbedaan kehidupan yang begitu kontras antara orang yang tinggal di Timur Tengah dan di tempat yang relatif aman seperti Indonesia.
Banyak pihak sudah berusaha menciptakan perdamaian di Timur Tengah, seperti dengan mendirikan organisasi kemanusiaan di tubuh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), hingga bantuan secara bilateral seperti yang sudah cukup banyak dilakukan oleh Indonesia.
Meski demikian, harapan perdamaian di Timur Tengah tetap saja menjadi suatu hal yang sepertinya hanya menjadi angan-angan semata.
Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, mengapa peperangan terus terjadi di wilayah Timur Tengah?
Warisan Kolonialisme dan Perang Dingin?
Pertanyaan di atas sering kali muncul tidak hanya di benak para pengamat geopolitik, tetapi juga banyak orang awam.
Terkait hal ini, ada berbagai faktor yang menjadi penyebabnya, dan salah satu yang paling signifikan adalah peninggalan kolonialisme Eropa.
Pada masa lampau, banyak wilayah Timur Tengah berada di bawah kekuasaan kolonialisme Inggris dan Prancis. Kedua negara ini menguasai berbagai wilayah di Timur Tengah selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya mereka meninggalkan wilayah tersebut, mereka menetapkan batas-batas negara secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan perbedaan etnis, suku, dan agama yang ada di sana.
Hal ini menyebabkan kelompok-kelompok yang sering kali saling bermusuhan dipaksa untuk hidup berdampingan dalam satu negara.Salah satu contoh nyata dari dampak kolonialisme Eropa adalah Perjanjian Balfour yang menjadi benih awal perselisihan antara Israel dan Palestina. Pada tahun 1917, Inggris mengeluarkan deklarasi yang menyatakan dukungan untuk pembentukan “tanah air nasional” bagi orang Yahudi di Palestina.
Namun, pada saat yang sama, wilayah tersebut sudah dihuni oleh komunitas Arab Palestina. Deklarasi ini memicu konflik berkepanjangan yang hingga kini belum terselesaikan.Tidak hanya itu, perselisihan di Timur Tengah juga semakin diperparah ketika era Perang Dingin.
Pada masa itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadikan wilayah Timur Tengah sebagai teater pertempuran mereka. Kedua negara adidaya ini mendukung berbagai faksi yang bertikai di wilayah tersebut untuk memperluas pengaruh mereka. Akibatnya, konflik di Timur Tengah semakin kompleks dan sulit untuk diatasi.Namun, dampak kolonialisme dan Perang Dingin hanyalah sebagian dari alasan mengapa Timur Tengah selalu berada dalam konflik.
Ada faktor-faktor lain yang juga berperan penting. Misalnya, kekayaan sumber daya alam seperti minyak yang melimpah di wilayah ini sering kali menjadi rebutan dan memicu perselisihan. Banyak negara-negara besar yang tertarik untuk menguasai sumber daya tersebut, dan hal ini sering kali menyebabkan intervensi dan konflik.Selain itu, perbedaan agama dan sekte juga menjadi faktor yang memperburuk konflik di Timur Tengah.
Wilayah ini dihuni oleh berbagai komunitas agama yang berbeda, termasuk Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen, dan lainnya. Perselisihan antara kelompok-kelompok agama ini sering kali berubah menjadi konflik bersenjata yang berkepanjangan.Tidak kalah pentingnya adalah faktor politik dalam negeri di negara-negara Timur Tengah.
Banyak pemerintahan di wilayah ini yang otoriter dan korup, sehingga memicu ketidakpuasan dan pemberontakan dari rakyat. Konflik internal ini sering kali berubah menjadi perang saudara yang berkepanjangan dan sulit untuk diakhiri.
Faktor sosial dan ekonomi juga berperan dalam konflik di Timur Tengah. Tingkat pengangguran yang tinggi, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial sering kali memicu ketidakpuasan dan kemarahan di kalangan rakyat. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk merekrut anggota dan melancarkan serangan.
Dengan begitu banyak faktor yang berperan, tidak mengherankan jika Timur Tengah selalu berada dalam konflik. Setiap faktor saling berhubungan dan memperburuk situasi. Untuk mengakhiri konflik di wilayah ini, diperlukan upaya yang serius dan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk komunitas internasional.
Lantas, adakah kemungkinan status quo Timur Tengah ini dirubah?
Status Quo = Tidak Ada Perubahan?
Sebagai salah satu perandaian skenario munculnya perdamaian di Timur Tengah, mungkin kita bisa berkaca pada sebuah teori yang disebut Teori Perubahan Kekuatan (Power Transition Theory).
Teori Perubahan Kekuatan adalah teori yang dikemukakan oleh A.F.K. Organski dan Jacek Kugler. Menurut teori ini, sebuah perdamaian politik hanya bisa terjadi ketika ada perubahan dalam distribusi kekuatan di antara negara-negara.
Ketika ada negara yang naik menjadi kekuatan dominan baru, status quo yang lama terguncang, dan ini bisa menciptakan peluang untuk perdamaian baru jika keseimbangan kekuatan baru dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Organski menyatakan bahwa perubahan kekuatan terjadi dalam empat tahap: pertumbuhan, transisi, perang, dan keseimbangan. Dalam konteks Timur Tengah, saat negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa mengalami perubahan dalam fokus politik dan ekonomi mereka, peluang untuk intervensi dan mediasi yang lebih efektif dapat muncul. Terlebih lagi, pola pemimpin yang populer di AS dan Eropa kini juga adalah pemimpin yang berpandangan proteksionis.
Teori perubahan kekuatan dari Organski lantas bisa memberikan harapan bahwa melalui perubahan dalam distribusi kekuatan dan fokus pada kerjasama regional, perdamaian masih bisa terwujud di wilayah Timur Tengah. Tentunya, dialog dan diplomasi harus diutamakan, serta upaya untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi di negara-negara Timur Tengah.
Untuk saat ini, kita harap saja langkah perdamaian di Timur Tengah bisa semakin terwujud, selambat apapun prosesnya. (D74)