Dengarkan artikel berikut
Sempat muncul dorongan untuk mengganti nama kawasan Timur Tengah menjadi Asia Barat. Tapi sebenarnya muncul dari mana istilah “Timur Tengah” itu sendiri?
Timur Tengah, Middle East. Istilah tersebut umumnya identik dengan sebuah kawasan yang terdiri dari negara-negara yang kerap di-homo-gen-kan sebagai kelompok negara ‘Arab’, seperti Arab Saudi, Iran, dan Mesir. Di film-film populer yang menyinggung soal Timur Tengah, deskripsi kawasan tersebut umumnya juga distereotipekan sebagai sebuah wilayah yang penuh dengan padang pasir, lengkap dengan unta.
Namun, apa sih yang sebenarnya dimaksud dengan kawasan Timur Tengah? Well, secara geografis, Timur Tengah umumnya dianggap sebagai sebuah kawasan geografis yang ujung Timurnya bermula dari Afghanistan, hingga mencapai ujung baratnya yakni Libia… Eh, atau Maroko?
Yap, kalau ditanya ke orang awam, mungkin banyak yang akan merasa tidak pasti atas batas geografis kawasan yang disebut Timur Tengah. Ada orang yang menganggap negara-negara Afrika Utara seperti Maroko sebagai bagian dari Timur Tengah, tapi ada juga yang menyangkalnya. Karena kesamaan mayoritas penganut agamanya, ketidakpastian ini cukup diakomodir oleh istilah Middle East and North Africa (MENA).
Akan tetapi, kebingungan atas kepastian wilayah Timur Tengah tidak berhenti di situ. Pada tahun 2004, sebuah jurnal yang dipublikasi Carnegie Endowment for International Peace mencetuskan istilah “Timur Tengah Raya”, yang mencakup sebagian besar negara-negara mayoritas Muslim di Benua Asia dan Afrika. Hal ini lantas semakin memperkeruh pertanyaan inti tentang sebenarnya kawasan “Timur Tengah” itu sendiri.
Maka dari itu, muncullah pertanyaan, sejak kapan istilah Timur Tengah itu populer dan bagaimana sejarahnya?
Sebuah Produk Kolonialisme?
Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa sebutan kawasan “Timur Tengah” merupakan sebuah produk politik. Istilah Timur Tengah pertama kali digunakan oleh Kerajaan Inggris pada awal abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1850-an. Pada masa itu, Britania Raya sedang mengembangkan pengaruhnya di seluruh dunia, termasuk di wilayah-wilayah yang pernah berada di bawah kendali Utsmaniyah Turki, yang kini dikenal sebagai Timur Tengah.
Pada awalnya, kerajaan-kerajaan Eropa mengkategorikan wilayah Timur dari Benua Eropa sebagai wilayah yang disebut “Orient” atau Timur. Secara garis besarnya, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Timur Dekat dan Timur Jauh. Timur Dekat adalah negara-negara Balkan, termasuk Turki, sementara Timur Jauh adalah negara-negara Asia hingga Samudera Pasifik, seperti Tiongkok dan Jepang.
Timur Tengah, setelah itu, diciptakan oleh Inggris untuk menjadi semacam wilayah bantalan atau buffer zone antara perbatasan Asia dan Afrika. Bernard Lewis dalam tulisannya The Middle East and the West, menjelaskan bahwa hal ini diduga didorong keinginan Inggris untuk melegitimasi kekuasaan global mereka.
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, Kekaisaran Britania adalah kekuatan angkatan laut terkemuka di dunia. Timur Tengah, termasuk wilayah seperti Mesir, Irak, dan negara-negara di Teluk Persia, memiliki pentingnya strategis untuk pangkalan-pangkalan angkatan laut dan stasiun penambangan batu bara yang diperlukan untuk kapal-kapal Britania yang berlayar antara Eropa, Asia, dan Afrika.
Istilah “Timur Tengah” membantu Britania dalam mengkategorikan dan mengelola koloni-koloni dan protektorat-protektorat mereka di wilayah tersebut. Istilah ini memberikan pengelompokan yang nyaman yang menggabungkan bersama wilayah-wilayah dengan pentingnya geopolitik dan ekonomi yang serupa, memudahkan tata kelolaan dan manajemen sumber daya.
Namun, layaknya peninggalan-peninggalan kolonialisme lainnya, konsep Timur Tengah yang Eropa-sentris tersebut masih tersisa dan dilanjutkan hingga sekarang. Setelah kekuasaan Inggris melemah di Timur Tengah, istilah kawasan tersebut lantas dipopulerkan kembali oleh sejarawan Amerika, Alfred Thayer Mahan, pada abad ke-20.
Nah, dari pembahasan ini, tentu pertanyaan selanjutnya adalah, perlukah istilah Timur Tengah kita ganti? Bila iya, apa alternatifnya?
Asia Barat Atau Afrika Timur Laut?
Sejumlah orang tercatat pernah berusaha mengganti nama kawasan Timur Tengah dengan nama yang lain. Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, contohnya, pernah mengusulkan Timur Tengah disebut sebagai kawasan Asia Barat. Namun, hal tersebut kerap dipandang sebagai upaya politisasi India memperkuat pengaruhnya ke wilayah Barat.
Lantas, perlukah diganti? Well, kalau kita coba cermati, walaupun Timur Tengah hanyalah sebuah konstruksi politik, mungkin ada baiknya nama kawasan yang terkadang batasannya masih absurd tersebut tetap kita sebut sebagai Timur Tengah.
Nama “Timur Tengah” telah digunakan selama lebih dari satu abad dan telah mengakar kuat dalam literatur, pendidikan, dan media global. Mengganti nama ini mungkin membingungkan banyak orang dan memerlukan usaha besar untuk mengedukasi publik tentang perubahan tersebut.
Istilah “Timur Tengah” sendiri tidak hanya merujuk pada lokasi geografis, tetapi juga mencakup konotasi budaya, politik, dan sejarah yang spesifik, di mana kawasan tersebut uniknya memang dihuni negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut Agama Islam. Menggantinya dengan “Asia Barat” mungkin justru akan mengaburkan nuansa tersebut dan mengabaikan kompleksitas kawasan ini.
Satu hal penting yang mungkin bisa kita petik dari intrik sejarah yang menarik ini adalah, kendati Timur Tengah merupakan sebuah produk kolonialisme, sebuah zaman yang sering dianggap sebagai zaman kegelapan bagi sejumlah negara, kawasan tersebut kini sudah tumbuh sebagai sebuah wilayah yang memiliki keunikannya sendiri.
Hal ini lantas membuat perselisihan penggunaan kata Timur Tengah atau Asia Barat hanya sebagai persoalan ego-sentrisme belaka. Suatu hari mungkin bisa saja akhirnya kawasan Timur Tengah berganti nama, ketika muncul motivasi kolektif dari para negara-negaranya. (D74)