Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membatalkan konvoi Tim nasional (Timnas) Indonesia sebelum bertanding melawan Timnas Palestina di Surabaya (14/6) setelah dikritik warganet karena dinilai tidak penting dan bermuatan politis. Lalu, benarkah rencana Eri mengadakan konvoi terdapat motif politik di baliknya?
Tim nasional (Timnas) Indonesia yang akan bertanding melawan Timnas Palestina dalam FIFA Matchday pada 14 Juni mendatang di Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya dihinggapi isu kurang sedap yang bernuansa politis.
Itu dikarenakan, sebelum pertandingan berlangsung, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berencana mengadakan konvoi yang melibatkan Timnas.
Rencana itu disampaikan Eri secara langsung saat menemani Ketua Umum (Ketum) PSSI Erick Thohir mengumumkan harga tiket di GBT.
Eri mengatakan, konvoi itu dimaksudkan untuk memberikan apresiasi kepada Timnas Indonesia yang telah merebut medali emas cabang olahraga (cabor) sepak bola di SEA Games Kamboja lalu, setelah 32 tahun lamanya.
Meskipun yang akan bertanding adalah Timnas Indonesia senior, sedangkan yang memenangkan medali emas SEA Games adalah Timnas Indonesia U-22, Eri mengatakan bahwa itu hanya sebagai simbol yang menunjukkan bahwa masyarakat Kota Surabaya mencintai Timnas Indonesia.
Namun, sesaat setelah rencana itu diumumkan secara langsung, kolom komentar akun Instagram Eri Cahyadi langsung diserang warganet.
Kebanyakan dari mereka mengungkapkan rasa tidak setuju dengan konvoi yang digagas Eri. Warganet menganggap hal itu tidak penting dan berlebihan. Bahkan, beberapa dari mereka menilai rencana Eri bermuatan politis.
Presumsi terakhir sendiri berkaca dari wacana Eri sebagai salah satu kandida calon gubernur (cagub) Jawa Timur (Jatim) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 mendatang.
Dalam survei yang dilakukan oleh Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) nama Eri Cahyadi berada dalam posisi kedua dibawah Wakil Gubernur (Wagub) Jatim Emil Dardak, dan satu tingkat diatas Bupati Sumenep Achmad Fauzi.
Setelah adanya kegaduhan rencana konvoi tersebut, Eri lantas membatalkan acara itu. Eri menyebut ada kesalahpahaman terhadap rencananya tersebut di media sosial.
Rencana konvoi yang dimaksud Eri adalah hanya pengawalan dan penyambutan Timnas Indonesia dari hotel tempat mereka menginap menuju Balai Kota Surabaya yang jarak tempuhnya hanya tujuh menit.
Menurutnya, penyambutan dan pengawalan itu merupakan budaya dan tradisi supporter di Surabaya saat kedatangan tim-tim penting yang akan bertanding.
Lantas, meskipun sadar Timnas yang akan bertanding berbeda kelompok umur dan euforia kemenangan SEA Games telah usai, mengapa Eri Cahyadi tetap berencana melakukan konvoi terhadap Timnas Indonesia? Benarkah terdapat motif politik di baliknya?
Eri Numpang Populer?
Sepak bola dan politik di Indonesia sulit untuk di pisahkan. Sering kali, sepak bola menjadi alat bagi para aktor politik untuk mencapai sebuah tujuan politik dan menarik massa.
Di Indonesia, sepak bola merupakan salah satu olahraga terpopuler yang mendatangkan massa dengan jumlah besar. Banyak klub besar di Indonesia memiliki basis supporter hingga ratusan ribu orang.
Dengan jumlah massa yang besar tersebut, sepak bola seolah memiliki daya tarik tersendiri bagi para aktor politik karena dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan.
Dalam tulisannya yang berjudul Media and The Restyling of Politics: Consumerism, Celebrity, and Cynicis, John Corner dan Dick Pels mengatakan sekalipun memiliki daya pengaruh yang luar biasa, sebuah aktifitas bermuatan politik yang hanya mengedepankan pencitraan politik, tanpa disertai kualitas diri dalam politik dan pada akhirnya hanya meretas nihilisme disebut dengan cynicism.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Corner dan Pels terkait dengan pencitraan politik dan pembentukan persona aktor politik, Dan D. Nimmo dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America menjelaskan sebuah konsep strategi publisitas yang dinamakan free ride publicity.
Free ride publicity adalah publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri.
Berkaca pada penjelasan tersebut, Eri tampak “cerdik” melihat bahwa Surabaya adalah salah satu kota dengan penggemar sepak bola terbanyak di Indonesia.
Eri kemudian seolah melakukan free ride publicity dengan memanfaatkan akses digelarnya pertandingan FIFA Matchday Timnas Indonesia di Kota Surabaya, di mana dirinya menjabat sebagai Wali Kota untuk kiranya turut mempopulerkan diri dengan “menunggangi” euforia kemenangan Timnas Indonesia di SEA Games dengan merencanakan konvoi.
Meskipun kiranya akan memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap citra politik Eri, konvoi Timnas Indonesia yang sebelumnya direncanakan yang jamak dinilai terdapat intrik politik tetap harus disertai dengan pembuktian kualitas Eri dalam politik.
Eri kiranya harus tetap membuktikan bahwa dia pantas naik level sebagai Gubernur Jatim dalam Pilkada 2024 nanti. Jika tidak, maka yang tampaknya sudah direncanakan Eri demi pencitraan dirinya akan tak bernilai. Terlebih, dengan batalnya konvoi yang direncanakan.
Selain untuk kepentingan dirinya pribadi, ide Eri tersebut juga seolah ingin membersihkan nama partainya, PDIP dikalangan pecinta sepak bola tanah air.
Ya, sejak batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 lalu, PDIP jamak dinilai sebagai salah satu dalang gagalnya event FIFA tersebut di Indonesia.
Seperti yang diingat sebelumnya, dua kader PDIP yang juga menjabat sebagai kepala daerah tempat berlangsungnya Piala Dunia U-20 menyuarakan penolakan atas keikutsertaan Timnas Israel yang berujung dicabutnya status tuan rumah Indonesia oleh FIFA karena merasa tidak ada jaminan keamanan bagi para negara peserta.
Lalu, mengapa pada saat sepak bola Indonesia menuai prestasi, para aktor politik ramai-ramai seolah menunjukkan kepedulian mereka pada sepak bola?
Serupa Rezim Totaliter?
Olahraga secara umum atau sepak bola secara khusus adalah salah satu merupakan hiburan masyarakat Indonesia.
Terlepas dari berbagai hasil minor yang selama ini diraih sepak bola Indonesia, masyarakat tetap mencintai dan tak pernah berhenti berharap pada sepak bola Indonesia.
Antusiasme yang tinggi ini sering kali dimanfaatkan para aktor politik untuk mendapatkan keuntungan politik.
Cara-cara tersebut juga sering kali atau pernah digunakan oleh rezim-rezim yang totaliter pada suatu negara. Rezim ini mengandalkan prestasi olahraga untuk memperkuat legitimasi politiknya.
Contoh pemimpin rezim totaliter yang memamnfaatkan olahraga sebagai memperkuat legitimasinya adalah Benito Mussolini dari Italia, Jenderal Franco dari Spanyol, dan Adolf Hitler dari Jerman.
Caroline Philips dalam publikasinya yang berjudul Mixing Sports and Politics: How Totalitarian Regimes Used Sports To Achieve The Goals Of The State menjelakan mengapa rezim totaliter menggunakan olahraga untuk legitimasi politiknya.
Rezim totaliter dikatakan sangat bergantung pada kemampuan mereka mengontrol dan mendapat dukungan massa.
Pemerintah totaliter tidak mempunyai kebijakan yang dapat memenangkan hati publik sehingga mengandalkan ketika sebuah cabang olahraga berprestasi untuk menarik massa.
Meskipun Indonesia tidak dipimpin rezim yang totaliter, namun ciri tersebut kiranya identik dengan apa yang dilakukan manuver para aktor politik di Indonesia.
Hal tersebut dapat dilihat ketika Timnas Indonesia behasil meraih emas SEA Games cabor sepak bola setelah menunggu 32 tahun.
Mereka seolah berlomba-lomba menunjukkan diri sebagai sosok yang perhatian dan memiliki atensi lebih terhadap sepak bola Indonesia dengan alasan telah membanggakan bangsa dan negara.
Para aktor politik tersebut tampaknya tidak mempunyai cara yang menggambarkan kualitas dirinya dalam politik untuk mendapat dukungan massa sehingga mengandalkan olahraga untuk menarik massa.
Mereka hanya bergantung pada kemampuan mereka untuk mengontrol dan mengendalikan massa untuk meraup dukungan mereka.
Namun, analisis diatas hanya sebatas interpretasi semata. Yang jelas, intrik konvoi Timnas di Surabaya menunjukkan bagaimana pentingnya para aktor politik untuk meningkatkan kualitas dirinya dalam politik sehingga tidak hanya ikut menunggangi isu-isu populer. (S83)