Dengarkan artikel ini:
Usai Debat Keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, mendapatkan banyak sentimen negatif di platform media sosial (medsos) X. Namun, sebaliknya, Gibran justru dapat sentimen positif terbanyak di TikTok.
“And there’s a thin line between love and hate” – Puff Daddy, “Long Kiss Goodnight” (1997)
Banyak orang menganggap bahwa batas antara cinta dan benci sebenarnya tipis. Salah satunya adalah ungkapan dari salah satu penyanyi rap (rapper) terkenal dari Amerika Serikat (AS), Puff Daddy.
Dalam lagu penyanyi rap The Notorious B.I.G. yang berjudul “Long Kiss Goodnight” (1997), garis tipis antara cinta dan benci ini kerap membatasi seseorang dalam menentukan posisinya. Namun, dengan yakin, Puff-pun tidak menghiraukan garis itu untuk menentukan posisi yang jelas.
Garis batas inilah yang akhirnya dilewati oleh banyak orang dalam menentukan pilihan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ekspresi cinta dan bencipun tersajikan dengan jelas di linimasa-linimasa media sosial (medsos).
Usai Debat Keempat Pilpres 2024 pada Minggu (21/1) kemarin, banyak warganet menyoroti sikap calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka. Sikap Gibran yang menyindir cawapres-cawapres lainnya – Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Mahfud MD – memunculkan ekspresi cinta dan benci.
Di platform X (dulu Twitter), misalnya, sentimen negatif justru banyak ditujukan kepada Gibran. Banyak pengguna X melihat sikap Gibran sebagai hal yang tidak beretika dan tidak sopan.
Namun, di lain platform, Gibran justru mendapat sentimen positif terbanyak. Interaksi terbanyak untuk pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto dan Gibran justru ada di TikTok.
Perbedaan kontras antara X dan TikTok ini bisa dibilang menarik. Pasalnya, karakteristik pengguna antara dua platform ini memang berbeda.
Lantas, timbul pertanyaan: bagaimana perbedaan karakteristik dair dua platform ini? Mengapa salah satu dari dua platform tersebut bisa saja memiliki keunggulan strategis dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024?
Twitter vs TikTok
Setiap orang memiliki platform medsos yang mereka sukai masing-maisng. Beberapa menyukai Facebook. Beberapa lainnya menyukai X. Namun, ada juga beberapa yang menyukai TikTok.
Kesukaan dan ketidaksukaan atas masing-masing platform ini tentu bukan tanpa alasan. Setiap platform medsos – begitu juga penggunanya – memiliki karakteristik mereka masing-masing.
Mengacu ke tulisan Meng Chen dan Altman Yuzhu Peng yang berjudul Why do People Choose Different Social Media Platforms? Linking Use Motives with Social Media Affordances and Personalities, alasan memilih platform medsos tertentu ini bisa dijelaskan dengan konsep affordance (kesesuaian).
Konsep yang dicetuskan oleh ahli psikologi bernama James J. Gibson secara mudah bisa dipahami sebagai apa-apa yang ditawarkan oleh sebuah lingkungan terhadap individu. Dalam hal ini, setiap platform memiliki hal yang berbeda-beda untuk ditawarkan.
Individu akhirnya menyesuaikan motif penggunaannya dengan affordance. Snapchat, misalnya, menawarkan affordance berupa fitur “stories” yang sifatnya mandiri bagi pengguna dan pesan yang bisa terhapus dalam rentang waktu tertentu.
Berkaca dari konsep ini, X dan TikTok juga memiliki affordance yang berbeda. X merupakan sebuah platform medsos yang konten-kontennya berbasis pada teks – meskipun sejumlah konten berbentuk gambar atau video.
Inilah mengapa X menjadi platform di mana banyak penggunanya lebih banyak membagikan hal-hal yang sifatnya tekstual – mulai dari cerita, tips dan trik, atau argumentasi dan opini.
Sementara, TikTok merupakan platform medsos yang konten-kontennya berbentuk video pendek. Video-video pendek yang disajikan dalam linimasa-pun disesuaikan dengan selera pengguna, yakni dengan menggunakan algoritma.
Bila masing-masing platform memiliki affordance mereka, lantas, bagaimana konsekuensinya terhadap dinamika politik di Indonesia – khususnya dalam kontestasi Pilpres 2024? Mungkinkah ada siasat tertentu di balik penggunaan platform-platform ini?
Strategi Prabowo-Gibran di TikTok?
Bukan tidak mungkin, dominasi Prabowo-Gibran di TikTok sudah disiapkan sebagai strategi untuk pemenangan. Pasalnya, TikTok dinilai bisa menjadi kunci kekuatan bagi siapapun yang ‘menguasainya’.
Pasalnya, ada satu hal yang membuat affordance TikTok berbeda dari platform medsos lainnya. Affordance itu adalah algoritma.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa algoritma TikTok dinilai bisa “membaca pikiran” para penggunanya. Terdapat empat tujuan dari algoritma TikTok, yakni 用户价值 (nilai pengguna), 用户价值长期 (nilai pengguna dalam jangka panjang), 作者价值 (nilai kreator), dan 平台价值 (nilai platform).
Affordance inilah yang akhirnya membuat TikTok bisa menjadi kekuatan yang sangat menjanjikan dalam kontestasi politik. Dalam arti lainnya, pengguna bisa dengan mudah membuat video – yang mana pesan politik bisa disebarkan dengan cepat.
Selain itu, TikTok sangat pandai dalam membaca konsumen konten – membuat pesan politik yang disampaikan bisa disalurkan secara otomatis pada audiens yang memang suka dengan kandidat atau aktor politik tertentu.
Belum lagi, TikTok adalah tempat di mana pemilih pemula berkumpul. Berdasarkan data dari Business of Apps pada tahun 2022, kelompok usia pengguna TikTok terbesar adalah kelompok usia 18-24 tahun (34,9 persen dari total pengguna) – diikuti oleh kelompok usia 25-34 tahun (28,2 persen dari total pengguna).
Dalam kata lain, para pemilih pemula yang belum memiliki pengetahuan atau kesadaran politik yang luas ini bisa dipengaruhi oleh narasi-narasi baru. Ini mungkin akhirnya mengapa penjenamaan ulang (re-branding) atas sosok Prabowo – khususnya citra gemoy – bisa dengan mudah dilakukan di platform seperti TikTok.
Secara tidak langsung, semakin ke sini, dominasi Prabowo-Gibran di TikTok bisa membuat para pemilih yang belum menentukan (undecided voters) ini untuk menjadi pemilih loyal hingga 14 Februari 2024 nanti. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)