[Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #10]
Making enemies can help a brand success. Demikian salah satu strategi yang dipercaya oleh para ahli marketing. Nyatanya, strategi yang demikian ini juga bisa diaplikasikan dalam konteks politik, terutama untuk menjelaskan situasi yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
“And I realized the reason why Asia is rising now is that the West has been very generous with the gift of Western wisdom to the rest of the world, especially the gift, the Western reasoning”.
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat asal Singapura::
Perseteruan yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) beberapa waktu terakhir menjadi wajah utama kondisi politik internasional. Perang dagang yang terjadi di antara kedua negara ini memang mencuri perhatian seluruh dunia karena berdampak pula pada kondisi ekonomi dan politik global secara keseluruhan.
Dimensi pertarungan ini bahkan menjadi semakin luas setelah wacana perang terbuka dan sejenisnya – utamanya terkait konflik di Laut China Selatan – juga mengemuka.
Kabar terbaru datang dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengeluarkan wacana melarang aplikasi video singkat asal Tiongkok, TikTok, di negara yang dipimpinnya.
Namun, belakangan ia malah menarik pernyataannya dan malah mendukung perusahaan asal AS – sejauh ini salah satunya Microsoft – yang tertarik untuk membeli perusahaan tersebut, sekaliupun Trump mengancam akan tetap melarang aplikasi ini jika hingga September tahun ini belum ada kesepakatan pembelian oleh perusahaan asal AS.
Fenomena yang terjadi dalam kasus TikTok ini sebetulnya menjadi gambaran besar bagaimana hubungan antara AS dan Tiongkok sebetulnya bisa dibawa ke level rasional ketimbang konfliktual. Ketika bicara tentang bisnis dan bisnis alias B to B, maka tensi hubungan sangat mungkin diturunkan.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan lanjutan, benarkah kebangkitan Tiongkok sebetulnya adalah nature atau kapitalisme ekonomi yang secara spesifik melibatkan AS di dalamnya?
Pertanyaan ini menarik untuk dibahas karena istilah made by the US atau dibuat oleh AS adalah terminologi yang sering dipakai ketika menggali asal muasal kelompok seperti Taliban dan Al-Qaeda – bahkan juga Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) – bisa terbentuk. Ya, AS memang dianggap bertanggungjawab atas terbentuknya kelompok-kelompok tersebut.
Menariknya, beberapa pihak juga menyebutkan bahwa kebangkitan ekonomi negara-negara seperti Jepang dan sekarang Tiongkok juga adalah American made. Kisah tentang Milton Friedman yang “mengajari” banyak pejabat senior Tiongkok terkait keterbukaan ekonomi adalah salah satu contohnya. Pertanyaannya adalah benarkah demikian?
Lalu seperti apa pendapat akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani tentang hal ini, serta apakah siklus American made ini juga akan terjadi pada Indonesia?
Is China “American Made”?
Sebutan Made in China adalah stempel paling populer untuk berbagai produk industri dalam beberapa waktu terakhir. Bukan tanpa alasan, pasar-pasar domestik di banyak negara – termasuk di AS dan juga Indonesia – dikuasai oleh produk-produk Tiongkok. Di AS sendiri, impor barang asal Tiongkok meningkat hingga 427 persen sejak tahun 2001 ketika Tiongkok masuk menjadi anggota World Trade Organization (WTO).
Pada tahun 2018 lalu produk asal Tiongkok sendiri telah menguasai 21,2 persen pasar barang impor di AS. Sementara di Indonesia, pada tahun 2019 lalu angkanya menyentuh 29,95 persen dari total keseluruhan produk impor yang beredar di dalam negeri.
Dari data-data tersebut, jelas tergambar bagaimana digdayanya produk-produk buatan Tiongkok di pasar domestik negara lain. Khusus untuk AS misalnya, hampir semua sepatu yang dijual di AS saat ini adalah barang impor. Brand sepatu Vans misalnya, mencatat pendapatan mencapai US$ 3 miliar pada tahun 2017. Namun, sekitar 98 persen sepatu Vans yang dijual di AS adalah buatan Tiongkok.
Belum lagi ratusan perusahaan asal AS lainnya yang punya pabrik di Tiongkok. Tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan tersebut yang bahkan 100 persen produknya dibuat di negeri tirai bambu itu. Namun, jika bicara tentang bagaimana sebetulnya perusahaan-perusahaan ini memaksimalkan keuntungan dari kemudahan produksi di Tiongkok, hal yang terlihat jelas adalah nature dari kapitalisme ekonomi itu sendiri.
Tiongkok menjadi magnet investasi dan tempat bagi banyak perusahaan dari AS membuka pabriknya misalnya, bisa terjadi karena kondisi berbisnis yang memungkinkan berkurangnya hambatan produksi serta rendahnya biaya yang harus dikeluarkan.
Sebut saja soal upah buruh yang rendah, pajak yang tak begitu tinggi, ekosistem bisnis yang sudah terbentuk dengan jaringan yang saling berhubungan, serta persyaratan (compliance) – baik dari sisi hukum maupun sosial – yang tidak memberatkan investor. Konteks syarat berbisnis ini memang jauh lebih kompleks di negara-negara barat, misalnya terkait larangan mempekerjakan anak, kondisi tempat kerja, dan lain sebagainya.
Artinya, aktivitas ekonomi yang efektif dan efisien yang merupakan the hearts of capitalism alias intisari dari kapitalisme bisa terwujud. Bagi perusahaan-perusahaan asal AS, hal ini tentu menguntungkan. Namun, jika kacamatanya diputar dalam konteks dampaknya secara langsung bagi masyarakat AS terkait pemerataan kesejahteraan, maka hal sebaliknyalah yang terlihat. Yang jelas, pada titik tertentu argumentasi Made in China is made by the US bisa dirasionalisasi.
Kishore Mahbubani dalam salah satu tulisan menyebutkan bahwa apa yang terjadi pada kebangkitan negara-negara di Asia saat ini termasuk Tiongkok, merupakan buah dari gift atau pemberian peradaban Barat – dengan AS di dalamnya – salah satunya lewat kebijaksanaan reasoning atau pemikiran alias kemampuan menggunakan akal pikir.
Mahbubani mencontohkan pengalaman hidupnya sendiri, di mana saat kecil ia gemar mengunjungi perpustakaan dekat tempat tinggalnya dan meminjam banyak buku berbahasa Inggris yang ditulis oleh banyak pemikir besar Barat.
Hal tersebut mengubah hidupnya yang berasal dari keluarga miskin, hingga bisa menjadi seorang diplomat dan akademisi besar. Pengalaman hidupnya itu ia jadikan basis argumentasi bagaimana negara seperti Tiongkok memanfaatkan pemberian dari Barat. Pada titik ini Made in China is made by The US lagi-lagi bisa dirasionalisasi.
Hal lain yang perlu disoroti juga adalah bagaimana ekonom terkemuka asal AS, Milton Friedman, pernah menjadi salah satu tokoh yang dimintai masukan terkait pembangunan ekonomi Tiongkok oleh para petinggi negara itu. Friedman mungkin adalah ekonom paling terkemuka di dunia antara tahun 1960-an – ketika wajahnya sempat jadi cover majalah TIME – hingga tahun 1980-an.
Pada tahun 1979 ia diundang secara resmi oleh pemerintah Tiongkok untuk membantu mengatasi masalah inflasi yang tengah dihadapi oleh negara tersebut. Ia juga disebutkan memberi banyak masukan kepada Tiongkok jelang kehancuran Uni Soviet, sehingga menghindarkan negara panda itu dari hal yang sama.
Apa yang dilakukan oleh Friedman ini membuat Tiongkok perlahan tapi pasti masuk ke liberalisasi ekonomi yang lebih besar hingga mencapai seperti sekarang ini. Jadi, ya, sekali lagi Made in China is made by the US.
Kini dengan kondisi pertentangan yang terjadi antara AS dan Tiongkok, konteks American made itu seperti mendapatkan pembenarannya, bahwasanya boleh jadi memang Tiongkok dan ekonominya adalah buatan AS. Lalu, apakah Indonesia pada suatu saat bisa mengalami yang sama?
Indonesia Bisa Alami Hal Sama?
Apa yang dilakukan oleh AS ini sebenarnya bisa dilihat dari kacamata marketing. Banyak ahli yang percaya bahwa salah satu strategi untuk membuat sebuah brand sukses di pasaran adalah dengan cara “membuat musuh”. Samsung misalnya, menggunakan serangan pada Apple untuk mendapatkan nama seperti sekarang ini. Demikianpun dengan Pepsi yang kerap menyerang Coca-Cola untuk membesarkan pasarnya sendiri.
Konteks serupa bisa digunakan untuk menganalisis perilaku negara seperti AS.
Pasca keruntuhan Soviet misalnya, AS “menggunakan” Taliban dan kemudian Al-Qaeda untuk menciptakan brand anti terorisme. Brand ini melahirkan perang dan invasi ke negara-negara di Timur Tengah dengan tajuk pemberantasan terorisme. Namun, di balik itu ada nilai ekonomi yang besar dari penjualan senjata dan alat-alat militer lainnya.
Hal yang mirip juga sangat mungkin terjadi pada kasus Tiongkok. Negara ini bisa saja secara ekonomi sengaja dibesarkan agar bisa dijadikan musuh. Akan ada waktunya musuh yang diciptakannya sendiri itu juga akan “dihabisi”.
Hal yang demikian ini bisa saja akan terjadi pada Indonesia. Banyak pihak memang telah melempar isu tersebut, terutama yang menyebutkan potensi Indonesia menjadi “Tiongkok berikutnya”. Negara ini akan dibesarkan secara ekonomi oleh AS dan suatu saat akan diperangi pula.
Walaupun demikian, hal ini masih hanya sebatas asumsi. Namun, jika dinamika konflik yang terjadi antara AS dan Tiongkok terus berkembang, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi American made berikutnya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.