Akhir akhir ini di TikTok ramai video yang menunjukkan buruknya infrastruktur jalan di provinsi Lampung. Hal ini sendiri diawali oleh video kontroversial dari seorang Tiktoker bernama Bima yang menjelaskan kebobrokan provinsi asalnya tersebut. Lantas, apakah gerakan ini akan menghasilkan perubahan ke depannya? Dan, apakah media sosial telah menjadi sebuah alat perjuangan baru yang lebih efektif bagi masyarakat?
“Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah kehidupan sehari hari” – Najwa Shihab
Beberapa hari lalu viral sebuah video dari TikToker asal Lampung yang kini tinggal di Australia, yakni Bima Yudho Saputro. Tiktoker tersebut mengkritik daerah asalnya lewatvideo yang diunggahnya. Video itu sendiri menampilkan bagaimana Bima mempresentasikan aspek-aspek yang dinilainya membuat Lampung tidak maju.
Menurut Bima, sebab utamanya adalah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat parah di daerah tersebut. Karena praktik KKN itulah, maka permasalahan yang lain terjadi. Contonhya seperti buruknya infrastruktur, kurangnya kualitas pendidikan hingga mangkraknya beberapa proyek. Salah satu masalah yang paling disorot juga adalah kondisi jalan di daerah tersebut.
Meski mendapat respon negatif dari seorang pengacara bernama Gindha Anshori, yang melaporkan pemuda tersebut atas penggunaan kata “Dajjal” di videonya, mayoritas orang justru mendukung pemuda itu. Mereka bahkan memujinya karena berani menyuarakan protes. Bahkan, warga Lampung pun beramai ramai menyuarakan protes dan kritik mereka, terutama soal buruknya kondisi jalan di provinsi tersebut.
Fenomena seperti ini sebenarnya tidak terbatas di aplikasi TikTok saja. Aplikasi lain seperti Instagram dan Twitter juga banyak menjadi corong suara bagi masyarakat. Selain kasus Bima, kasus lain seperti pembunuhan Brigadir Joshua, hingga penganiayaan David Ozora dan kasus korupsi pegawai pajak dan kemenkeu bisa dibawa ke tahap selanjutnya, karena peran media sosial dan warganet di dalamnya.
Maka bisakah kita katakan kalau aplikasi media sosial seperti TikTok dapat menjadi penyalur aspirasi dan keadilan alternatif bagi masyarakat? Dan apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Citizen Journalism
Berkembangnya media sosial dan smartphone membuat setiap orang tidak hanya semakin mudah mendapat informasi, tapi juga berpartisipasi dalam pembuatan informasi. Hal ini bisa dilakukan secara bebas dengan mengunggah suatu konten, baik berupa artikel, foto atau video, yang bisa disebut sebagai user-generated content (UGC). Kebebasan inilah yang mendorong terciptanya sebuah konsep yang disebut citizen journalism atau jurnalisme warga.
Citizen journalism sendiri didefinisikan oleh Courtney C. Radsch sebagai “suatu bentuk alternatif dari pengumpulan dan pelaporan berita di luar arus utama (mainstream)”. Sementara menurut Jay Rosen, definisi dari Citizen Journalism adalah “ ketika orang-orang yang sebelumnya adalah penonton menggunakan alat pers mereka untuk saling menginformasikan”. Istilah ini merujuk pada kegiatan penyebaran informasi yang biasa dilakukan oleh warga biasa lewat aplikasi media sosial di gadget mereka.
Praktik ini telah lama dilakukan oleh masyarakat dalam melaporkan dan menyuarakan terkait peristiwa atau masalah tertentu. Contohnya adalah ketika peristiwa Euromaidan di Ukraina, atau kampanye Black Lives Matter beberapa tahun belakangan ini. Selain melaporkan, banyak masyarakat yang juga ikut menganalisis dan memberikan opini mereka terkait peristiwa tersebut.
Citizen journalism bisa tumbuh subur dan banyak dilakukan apabila akses informasi dari luar ke peristiwa tersebut terbatas, salah satunya apabila media utama mendapat pengekangan dari pihak pemerintah. Contohnya adalah peran microblog Twitter selama protes pemilu di Iran pada tahun 2009, yang disebabkan karena adanya larangan untuk meliput bagi wartawan asing.
Konsep ini tentunya membawa dampak positif karena bisa menjadi alternatif dari arus media utama yang mungkin saja tidak objektif dan terdapat kesalahan dalam pemberitaan mereka. Sehingga, dengan adanya citizen journalism bisa mendorong terciptanya second opinion untuk menunjukkan hal sebenarnya terkait permasalahan yang sedang dibahas.
Meski terdapat beberapa dampak positif, akan tetapi keberadaan citizen journalism hanya terbatas sebagai alternatif, dan tidak akan pernah bisa menggeser peran media utama. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa kekurangan dan keraguan dalam berita yang disampaikan. Lantas, apa saja kekurangan dari citizen journalism? Kenapa perannya hanya sebatas dalam peran alternatif saja?
Kurang Kredibel?
Jika merefleksikan pandangan citizen journalism pada kasus viralnya opini online Bima Yudho Saputro, kita bisa saja mengasumsikan bahwa ini adalah salah satu indikasi bahwa dalam beberapa tahun mendatang sepertinya akan terjadi “revolusi” perolehan informasi masyarakat, khususnya di ruang lingkup media sosial.
Namun, tidak dipungkiri bahwa salah satu hal yang harus diperhatikan dari sebuah berita atau informasi yang kita dapatkan adalah kebenaran data yang disampaikan. Karena data-data tersebut akan menjadi dasar pengembangan opini nantinya. Maka, diperlukan sumber-sumber yang kredibel dan terpercaya dalam penyampaian sebuah informasi.
Sayangnya, banyak fenomena yang menunjukkan bahwa dalam praktik citizen journalism terdapat data-data hoaks yang digunakan. Meski bisa diposisikan sebagai sebuah second opinion, tetapi justru banyak informasi dari citizen journalism yang tidak benar atau setidaknya dilebih-lebihkan untuk mendapat atensi besar dari masyarakat.
Hal tersebut bisa menyesatkan opini masyarakat, karena penggunaan media sosial yang lebih besar dibandingkan media media utama secara langsung. Meski tidak semua konten di media sosial merupakan hoaks, tetapi kecenderungan orang untuk mempercayai berita-berita hoaks di media sosial masih cukup tinggi.
Menurut Laras Sekasih, seorang dosen psikologi media dari Universitas Indonesia, kecenderungan orang orang untuk mempercayai hoax biasanya disebabkan karena kesamaan opini mereka dengan informasi tersebut. Karena biasanya seseorang telah memiliki pendapat pribadi sebelumnya, maka jika ada berita yang sama dengan opininya, dia tidak akan memeriksa terlebih dahulu soal kebenaran informasinya.
Selain itu, menurutnya faktor keterbatasan pengetahuan seseorang terhadap sesuatu juga membuat hoax mudah dipercaya, karena tidak menimbulkan sisi kritis dari orang tersebut. Sehingga setiap orang memiliki kemungkinan untuk mempercayai hoax.
Apalagi sikap beberapa orang yang malas untuk membaca berita secara utuh juga bisa menimbulkan mispersepsi terkait informasi tersebut. Judul judul yang “bombastis” kadang membuat orang tersebut merasa sudah cukup memahami persoalan tersebut.
Namun meski begitu, media sosial telah memiliki peran penting bagi terciptanya perubahan di masa kini atau di masa depan. Karena dampak media sosial yang begitu luas akan dengan mudah mempengaruhi opini-opini masyarakat.
Sehingga, apabila terdapat orang orang yang menyuarakan kritik dan permasalahan, di mana mereka sangat mengetahui hal tersebut dan memiliki bukti terkait permasalahan, akan berdampak besar dalam membawa perubahan di daerah mereka. Sehingga, praktik-praktik KKN atau masalah ketidakadilan lainnya dapat diproses lebih lanjut.
Memang terdengar miris, tapi kenyataanya banyak aparat dan pejabat yang lebih takut pada pengaruh di media sosial ketimbang terhadap janji akan tugas dan kewajiban mereka. Setidaknya, masyarakat telah memiliki sedikit harapan untuk bisa mendapat keadilan dan perubahan, meski harus memenuhi “syarat viral” terlebih dahulu.
Namun, seperti quotes Najwa Shihab diatas, bagi masyarakat umum politik hanya tentang bagaimana kebijakan yang dikeluarkan dapat membawa perubahan bagi hidup mereka, sementara sisanya tidak penting. (R87).