Dalam survei Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), nama Menteri BUMN Erick Thohir masuk ke dalam tiga besar capres pilihan warga Nahdlatul Ulama (NU). Apakah ini menjadi indikasi keberhasilan Erick mendekati pemilih NU? Lalu, sepenting apa dukungan NU bagi Erick?
“Politics is activity in relation to power.” – Francis Parker Yockey, filsuf Amerika Serikat
Erick Thohir adalah buah dari produk politik Reformasi. Dulunya, Orde Baru di bawah pimpinan Suharto menggunakan sistem patronase yang menempatkan konglomerat sebagai klien atau subordinat. Orang-orang kaya tersebut tidak diizinkan leluasa untuk masuk ke dalam politik.
Masuknya Reformasi menjadi gerbang pembuka. Atas nama kebebasan politik dan demokrasi, para pemilik kapital tidak lagi sebagai aktor belakang layar, melainkan bebas terjun ke gelanggang politik. Kita misalnya dapat melihat nama Jusuf Kalla (JK), Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie sebagai contohnya.
Saat ini, Erick telah menambah daftar nama-nama tersebut. Yang menarik adalah, ketika menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Erick pernah menyebut tidak tertarik menjadi menteri Jokowi. “InsyaAllah enggak [akan masuk pemerintahan]. Saya tidak tertarik masuk dalam kabinet,” ungkapnya pada 29 Maret 2019.
Namun, kita semua melihat, saat ini Erick adalah salah satu menteri. Ia bahkan menempati pos strategis sebagai Menteri BUMN.
Kembali mengungkit soal patronase Reformasi, setelah Erick bergabung ke kabinet, menariknya berbagai media langsung melempar narasi bahwa mantan bos Inter Milan itu berpotensi maju di Pilpres 2024. Meskipun terus memberikan bantahan, namun berbagai gestur Erick dinilai berkata sebaliknya.
Yang terbaru, dalam survei Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), namanya bahkan masuk tiga besar sebagai sosok yang menjadi pilihan capres warga Nahdlatul Ulama (NU). “Kemunculan Erick Thohir masuk tiga besar survei, bisa dibaca bahwa pendekatannya kepada komunitas NU cukup efektif,” ungkap Moh Sholeh Basyari, Direktur Eksekutif CSIIS.
Manuver menjadi anggota kehormatan Banser jamak dibaca sebagai alasan masuknya Erick masuk ke dalam daftar tersebut.
Well, katakanlah Erick benar-benar memiliki intensi maju di Pilpres 2024. Apakah Erick mampu mengamankan suara NU? Kemudian, apakah dukungan NU sangat penting bagi Erick?
NU adalah Swing Voters
Sebagai organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia, bukan menjadi perdebatan lagi bahwa NU memiliki daya tawar politik yang begitu tinggi. Mengutip pernyataan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dalam berbagai survei, mereka yang mengaku sebagai warga NU jumlahnya dapat mencapai separuh dari penduduk Muslim Indonesia.
Dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 231,06 juta, maka warga NU kira-kira berjumlah 115,53 juta. Benar-benar angka fantastis. Tidak heran kemudian, dalam berbagai perhelatan pemilu, baik di tingkat daerah hingga nasional, NU selalu menjadi rebutan.
Namun, mengingat ini adalah pemilu langsung yang menganut sistem one man, one vote, yang harus ditanyakan bukanlah jumlah perkiraan warga NU, melainkan berapa banyak konversi warga NU menjadi suara di pemilu? Maksudnya, apakah ratusan juta tersebut menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS)?
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Apakah NU Penentu Pilpres?, pertanyaan tersebut juga menjadi jantung tulisan. Dalam artikel itu, telah dibahas rinci bahwa konversi warga NU menjadi suara politik mungkin hanya sepertiganya atau sekitar 40-an juta suara. Simpulan itu bertolak pada satu hipotesis, yakni mayoritas warga NU adalah swing voters.
Seperti yang dijelaskan Wasisto Raharjo Jati dalam tulisannya Ulama dan Pesantren dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama, NU dapat dikatakan sebagai praktik berjejaring para ulama dan pesantren dalam praktik keagamaan. Merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan pondok pesantren merupakan representasi kultural NU. Organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini adalah organisasi pesantren. Ia lahir dari rahim pesantren dan masyarakat pedesaan.
Fakta sosiologis dan historis itu membuat NU tidak berdiri sebagai organisasi top-bottom, melainkan bottom-up. Warga NU memiliki budaya untuk mengikuti dan lebih mendengar kiai-kiainya di daerah. Karena NU tidak menganut sistem komando terpusat, warga NU dapat dikatakan sebagai swing voters. Pilihan mereka sangat ditentukan oleh keberhasilan aktor-aktor politik dalam melakukan pendekatan di simpul-simpul suara NU di daerah, terutama di pondok pesantren.
Singkatnya, untuk mendapatkan suara NU, praktik yang dilakukan adalah mendekati pondok-pondok NU di daerah, bukannya sekadar menampilkan gestur sebagai bagian dari NU.
Dilakukan Cak Imin
Afirmasi atas simpulan tersebut terlihat dari strategi yang dilakukan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the politics trap, Greg Fealy menyebut menjelang Pemilu 2014, Cak Imin khawatir karena PKB berisiko tidak memenuhi ambang batas parlemen 3,5 persen, sehingga merancang dua strategi untuk mengamankan dukungan NU.
Pertama, Cak Imin disebut mengikat NU dengan penyaluran dana dan aset. Seluruh anggota DPR PKB di tingkat nasional dan daerah diinstruksikan untuk memberikan dana bulanan kepada NU untuk keperluan administrasi.
Posisi kader PKB di legislatif juga disebut digunakan untuk mendapatkan dana bagi program sosial dan keagamaan NU. PKB juga menjamin, jika partai dibubarkan, semua asetnya akan dilimpahkan ke NU.
Kedua, Cak Imin berhasil merangkul pengusaha kaya yang dapat mendanai program pemilunya di komunitas NU di daerah pemilihan PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fealy misalnya menyebut nama pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, yang berhasil dibujuk masuk partai dan menjadi wakil ketua partai.
Menurut Fealy, keberhasilan dua strategi tersebut terlihat dari Said Aqil Siradj maupun Ma’ruf Amin yang memberikan dukungan simbolis kepada PKB, serta banyaknya kiai NU yang secara terbuka mendukung partai lebah.
NU adalah Kunci?
Kembali pada Erick. Mengacu pada anasir-anasir sebelumnya, gestur-gestur simbolis yang ditampilkan Erick sekiranya tidak cukup. Seperti pernyataan Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun ketika mengomentari gestur Puan Maharani di pengukuhan PBNU periode 2022-2027, Erick harus rajin sowan ke tokoh penting NU dan kiai-kiai NU di daerah. Dengan demikian, sekiranya cukup prematur menyimpulkan bahwa survei dari CSIIS menunjukkan keberhasilan Erick mendekati pemilih NU.
Menteri BUMN ini perlu melakukan pendekatan terukur dan tepat di daerah-daerah. Untuk mengamankan dukungan, Erick sekiranya dapat mengadopsi strategi Cak Imin seperti yang dijelaskan Greg Fealy. Sebagai pendiri Mahaka Group yang memiliki kapital besar, mengadopsi strategi sang Ketua Umum PKB sekiranya bukan perkara sulit. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada September 2021, Erick memiliki harta kekayaan senilai Rp 2,312 triliun.
Dukungan modal ekonomi juga bisa datang dari relasi bisnis dan saudara Erick, Garibaldi “Boy” Thohir yang merupakan orang terkaya ke-15 di Indonesia. Menurut laporan Forbes pada tahun 2020, Boy Thohir memiliki kekayaan sekitar USD 1,65 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun.
Alexander R Arifianto dalam tulisannya Nahdlatul Ulama’s new chair faces a difficult choice: political neutrality or patronage, juga menyebutkan, meskipun Gus Yahya menekankan NU akan netral di politik, dengan belum berhasilnya NU mengembangkan kontribusi filantropi dari para anggotanya seperti di Muhammadiyah, ini berpotensi membuat NU masih bergantung pada sumber daya dan patronase negara untuk memperluas layanan sosialnya. Jika ini terus berlanjut, dikhawatirkan komitmen Gus Yahya untuk netral di politik sulit untuk terjadi.
Poin yang disebutkan Arifianto tersebut adalah kunci masuknya Erick. Namun, perlu untuk digarisbawahi, konteks pendekatan Erick ke NU sekiranya tidak sama dengan Puan Maharani. Pasalnya, berbeda dengan Puan yang dapat dikatakan telah memiliki tiket Pilpres dari PDIP, Erick merupakan politisi tanpa partai. Artinya, mutlak bagi Erick untuk mengamankan dukungan dan mengkonsolidasi partai politik.
Nah, untuk kepentingan itu, NU dapat menjadi kunci penting. Jika Erick mampu mendekati dan dinobatkan sebagai capres pilihan warga NU, secara otomatis daya tawar Erick akan begitu tinggi di hadapan berbagai partai politik. Mengacu pada sifat parpol di Indonesia yang cenderung pragmatis, mengusung sosok yang menjadi dambaan warga NU tentunya tidak bisa ditolak. Ini dapat dikatakan sebagai jaminan kemenangan.
Sebagai penutup, jika benar Erick Thohir berniat maju di Pilpres 2024 mendatang, sekiranya dapat dikatakan bahwa dukungan dari warga NU merupakan kunci agar diusung oleh partai politik. Kita lihat saja kelanjutan manuver dari sahabat Sandiaga Uno ini. (R53)