Kenaikan harga tiket pesawat ternyata berdampak ke banyak sektor. Ada apa di balik hal ini?
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]agi sebagian orang, bepergian dengan pesawat adalah hal yang benar-benar mewah dan tidak mungkin terjadi karena harganya yang terlampau mahal. Belakangan, anggapan seperti ini bisa saja semakin kuat seiring dengan makin mahalnya harga tiket transportasi udara tersebut.
Mahalnya harga tiket pesawat ini dikeluhkan oleh banyak pihak. Banyak calon pembeli yang kecewa dan mulai meninggalkan moda transportasi tersebut. Pelaku usaha pariwisata dan perhotelan banyak pula yang mengeluh karena laju pertumbuhan sektor pariwisata menurun akibat menjulangnya harga tiket pesawat.
Persoalan mahalnya harga tiket pesawat ini sempat juga menjadi sorotan orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut sempat terkejut dengan mahalnya harga tiket pesawat dan meminta agar terjadi penurunan.
Sayangnya, permintaan presiden tersebut tampak belum berpengaruh signfikan. Alih-alih kondisi kembali normal, beberapa kepala daerah justru tetap mengeluhkan daerah mereka yang kini semakin sepi wisatawan akibat tiket pesawat yang semakin melesat.
Lalu apakah sebenarnya yang tengah terjadi di balik benang kusut harga tiket pesawat ini? Mengapa hal yang merugikan banyak pihak ini menjadi sengkarut yang terus berlanjut?
Berdampak Panjang
Melonjaknya harga tiket pesawat ternyata memiliki efek yang cukup beruntun. Ada beragam sektor yang terdampak dari kenaikan harga tiket moda transportasi udara tersebut. Dalam beberapa kasus, dampak yang dihasilkan sepertinya mulai mengkhawatirkan.
Beberapa bandara misalnya mulai mengalami penurunan jumlah penumpang. Banyak pula laporan bahwa beberapa jadwal penerbangan terpaksa dibatalkan karena minimnya penumpang.
Cerita seperti itu misalnya terjadi di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. Sepanjang Januari 2019, tercatat ada 730 penerbangan dibatalkan di bandara tersebut. Angka itu berpotensi bertambah dikarenakan tren tersebut tampak berlanjut di bulan Februari.
Jika merujuk kepada data BPS, naiknya harga tiket pesawat sepertinya memang berpengaruh pada penurunan jumlah penumpang tersebut. Bandara seperti Soekarno Hatta Jakarta misalnya, mengalami penurunan sebesar 23,31 persen. Ada pula Bandara Juanda Surabaya yang mengalami penurunan hingga 12,74 persen.
Tak hanya bandara-bandara yang semakin sepi dan terancam merugi, industri pariwisata juga menjerit akibat melonjaknya harga tiket pesawat tersebut. Menteri Pariwisata menjadi pihak yang cukup menyoroti hal tersebut karena bisa mengancam bisnis pelesiran di negeri ini.
Hal ini juga dikeluhkan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Keluhan ini disampakan secara langsung oleh Ketua PHRI Harijadi Sukamdani kepada presiden Jokowi. Menurutnya, okupasi hotel mengalami penurunan 20 hingga 40 persen akibat kenaikan harga tiket pesawat.
Jika masih belum cukup, melonjaknya harga tiket pesawat juga disebut-sebut sebagai salah satu pemicu inflasi yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga tiket pesawat memang jadi salah satu biang keladi inflasi di bulan Januari 2019.
Di luar itu, dampak ekonomi ini masih berpotensi lebih luas. Para pelaku usaha bepotensi terganggu mobilitasnya karena harga tiket yang menanjak. Tak hanya itu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berpotensi mengalami kerugian karena harus menambah beban biaya bagasi atau pengiriman yang semakin mahal. Para pelaku usaha di lokasi destinasi wisata juga bisa menyusut keuntungannya karena berkurangnya orang yang berbelanja di lokasi tersebut.
Mencari Akar Masalah
Salah satu penyebab utama dari membengkaknya harga tiket pesawat adalah beratnya beban pengeluaran oleh maskapai-maskapai penerbangan. Di antara hal-hal tersebut, mahalnya harga avtur kerap disebut sebagai beban yang paling berpengaruh kepada harga tiket. Hal ini karena avtur disebut menjadi beban pengeluaran sebesar 40 persen dari maskapai-maskapai tersebut.
Harga avtur di Indonesia memang tergolong tinggi jika dibandingkan negara-negara lain di dunia. Harganya bisa 20 persen lebih mahal ketimbang negara-negara lain. Pertamina, sebagai satu-satunya penjual bahan bakar pesawat tersebut di Indonesia, sedikit banyak memiliki andil dalam mahalnya harga bahan bakar tersebut. Sebagai pemain tunggal di tanah air, Pertamina bisa mengatur harga avtur di dalam negeri.
Jika mau adil, Pertamina sendiri berada dalam kondisi yang serba sulit. Perusahaan minyak pelat merah itu memang mengalami beban cukup berat akibat berbagai kebijakan yang dilimpahkan kepada mereka. Di tengah kondisi keuangan yang tak cukup baik, mereka masih harus menjalankan kebijakan pemerintah di bidang energi yang bagi beberapa orang cukup populis.
Pemerintah punya andil dalam kenaikan harga tiket pesawat Share on XSalah satu kebijakan seperti itu adalah penetapan harga BBM satu harga di seluruh Indonesia. Di satu sisi, kebijakan ini mungkin terlihat baik. Akan tetapi, kebijakan ini bagi Pertamina ternyata menimbulkan kerugian bahkan hingga Rp 12 triliun.
Dalam kadar tertentu, perusahaan harus tetap menjaga aliran keuangan tetap sehat. Agar bisa tetap menjalankan mau pemerintah sambil menjaga kesehatan perusahaan, Pertamina jelas harus mencari akal. Salah satu cara untuk menyiasati hal tersebut boleh jadi adalah dengan menaikkan harga avtur. Sayangnya, hal ini ternyata berdampak besar melalui melonjaknya harga tiket pesawat.
Pertamina memang seperti terkesan harus mengikuti kebijakan pemerintah meski hal itu tak sehat bagi mereka. Dalam kasus harga premium misalnya, pemerintah meminta harga tetap stabil di angka Rp 6.500. Sementara itu, Pertamina menjawab bahwa hal ini bisa membuat mereka rugi Rp 3,9 triliun. Perbedaan sikap seperti ini disebut-sebut menjadi dosa yang menyebabkan sejumlah direksi perusahaan pelat merah itu dicopot.
Memang, terakhir sudah ada instruksi untuk menurunkan harga avtur. Akan tetapi, jika dilihat dampaknya pada penurunan harga tiket, hal tersebut masih belum signifikan. Menurut Menpar Arief Yahya misalnya, penurunan baru terjadi sebesar 20 persen, padahal sebelumnya melonjak 210 persen.
Di luar itu, ada satu pernyataan menarik tentang melonjaknya harga tiket pesawat dari banyak maskapai secara berbarengan tersebut. Pengamat ekonomi Faisal Basri mempertanyakan adanya praktik oligopoli dari bisnis penerbangan. Pasalnya, banyak maskapai yang ikut secara berbarengan menaikkan harga dan menurunkannya juga secara bersamaan.
Tak hanya itu, indikasi oligopoli itu seperti semakin nyata ketika Garuda Indonesia mengambil alih operasi Sriwijaya Air dan NAM Air. Menurutnya, praktik ini mempertegas bahwa rute penerbangan domestik semakin minim dan hanya dipegang oleh beberapa maskapai saja.
Faisal dan beberapa pengamat lain juga menuding bahwa kebijakan pemerintah untuk mengatur batas bawah tarif penerbangan menjadi penyebab lain kenaikan harga tiket pesawat. Batas bawah yang terlampau tinggi membuat penerbangan murah menjadi tidak tersedia.
Andil Pemerintah
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, terlihat bahwa sedikit banyak pemerintah memiliki andil dalam meroketnya harga tiket pesawat yang membuat banyak pihak menjerit. Dalam kadar tertentu, ada kebijakan tak lazim yang membuat munculnya kenaikan harga tersebut.
Dalam konteks tersebut, Robert P. Saldin pernah menulis sebuah buku berjudul How Bad Policy Make Good Politics yang menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan yang buruk bisa saja dilakukan karena terlihat bagus secara politik.
Merujuk pada hal tersebut, boleh jadi ada kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya ideal dari benang kusut harga tiket pesawat tersebut. Salah satu dari indikasi hal tersebut adalah tentang kebijakan energi yang mempengaruhi harga avtur.
Secara politik, kebijakan energi pemerintah mungkin terlihat sangat baik. Kebijakan BBM satu harga tentu adalah yang sangat populis dan digemari oleh banyak orang, terutama para pendukung pemerintah. Kebijakan seperti ini merupakan kebijakan yang sangat mudah untuk dijual sebagai capaian pemerintah.
Akan tetapi, secara kebijakan yang lebih luas, kebijakan itu ternyata berpotensi membebani, sehingga Pertamina harus mencari cara untuk mengompensasinya. Imbasnya, harga avtur menjadi tumbal yang ternyata berdampak pada harga tiket pesawat.
Yang tidak diperhatikan adalah dari kebijakan yang tak sepenuhnya baik tersebut, imbasnya benar-benar merata ke banyak lini. Harga tiket pesawat memberikan kontribusi kepada ekonomi seperti inflasi dan geliat usaha. Selain itu, pariwisata juga terdampak dari adanya kebijakan tersebut. Ancaman kerugian bandara juga mengintip seiring dengan semakin sepinya landasan udara tersebut.
Pada titik ini, terlihat bahwa demi satu kebijakan yang bernada politis, pemerintah mengorbankan banyak sektor yang entah sudah dihitung sebelumnya atau tidak. Besarnya dampak kebijakan itu merugikan banyak pihak, sehingga mungkin ada yang bertanya, apakah kebijakan itu lebih buruk dari korupsi? (H33)