Wacana tiga periode mendapatkan momen kembali setelah digaungkan oleh berbagai pihak, mulai dari masyarakat, politisi, hingga pejabat tinggi pemerintahan. Jika memang terjadi, wacana ini disebut akan merugikan sejumlah kandidat yang berpotensi maju di Pilpres 2024. Apakah salah yang dirugikan adalah Prabowo Subianto?
Pekan lalu, jagat media dihebohkan dengan munculnya kembali wacana masa jabatan presiden tiga periode. Sejumlah kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (Apdesi), meneriakkan hal serupa pada Silaturahmi Nasional Desa 2022 di Istora Senayan, Jakarta.
Merespons riuh berkembangnya wacana itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganggap teriakan dukungan kepada dirinya untuk menjabat presiden tiga periode sebagai keinginan masyarakat. Dan juga Jokowi menyampaikan ia sering mendengar aspirasi seperti itu. Namun, ia menegaskan tetap mengikuti aturan dalam konstitusi.
Wacana tiga periode sebenarnya telah muncul sejak jauh hari, tepatnya pada November 2019, bertepatan dengan MPR tengah menggodok usulan amendemen UUD 1945. Ketua Fraksi Partai NasDem Johnny G. Plate mengusulkan masa jabatan presiden diperbolehkan 3×5 tahun.
Setelah sempat jadi pembicaraan, sekitar Desember 2019 Presiden Jokowi membantah wacana tersebut. Bagi Jokowi, mereka yang menginginkan tiga periode ingin mukanya, ingin mencari muka, hingga ingin menjerumuskannya.
Akhirnya wacana tiga periode berubah menjadi wacana penundaan pemilu dengan dalih kondisi pandemi Covid-19. Transformasi perubahan wacana seolah mengisyaratkan adanya pola yang sama untuk mempertahankan status quo kekuasaan.
Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengatakan, jika Pemilu 2024 ditunda, ini akan berakibat fatal karena presiden hingga anggota DPR yang menjabat lebih dari masa jabatannya tak memiliki legitimasi atau keabsahan atas jabatan yang diemban. Risiko terbesarnya akan muncul pembangkangan dari rakyat karena jabatan pemimpin serta wakil rakyat tak memiliki legitimasi.
Sebagian pengamat mensinyalir berkembangnya wacana tersebut karena didukung oleh partai politik (parpol). Parpol dianggap sebagai institusi yang sangat punya kepentingan dalam pembangunan wacana ini.
Lantas, dalam konteks wacana tiga periode, apa sebenarnya motif dan kepentingan parpol di balik wacana ini?
Pilihan Rasional Parpol
Amitai Etzioni dalam bukunya Organisasi-Organisasi Modern, mengatakan manusia merupakan homo-economicus atau rationalman, yaitu manusia selalu ingin memaksimalkan utility (perolehan manfaat) terhadap dirinya. Pemahaman ini didasarkan Etzioni berdasarkan pada teori ekonomi neo-klasik.
Selanjutnya, Etzioni mengatakan rasionalitas diindikasikan sebagai konsep pikiran-pikiran manusia untuk memilih dari sisi pendekatan tujuan, yaitu untuk melihat skala prioritas dari kurang penting sampai yang paling penting, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
James Charles Bouffard dalam buku How to Use Psychology for Business Success, menegaskan arah dari perspektif teori pilihan rasional sebagai identifikasi dari berbagai penjelasan tentang cost and benefit, atau sebagai tingkatan nilai dan keuntungan. Oleh karena itu, teori pilihan rasional erat kaitannya dengan teori pengambilan keputusan.
Konsep pilihan rasional, dapat dijadikan alat untuk menjelaskan perilaku parpol yang saat ini sedang menghadapi wacana tiga periode yang berkembang. Parpol dituntut untuk meempertimbangkan untung rugi, sehingga pilihan dukungan maupun tidak berangkat dari pertimbangan tersebut.
Dalam literasi ilmu politik, pendekatan pilihan rasional seringkali diasosiasikan sebagai model pilihan politik yang selalu memecahkan persoalannya secara optimasi matematik. Parpol akan menghitung bukan hanya untung rugi secara abstrak, melainkan menghitung setiap kemungkinan dengan konkrit berdasarkan kalkulasi matematika.
Jika pendekatan pilihan rasional ini menjadi pilihan, maka asumsi matematis secara umum, akan menempatkan partai koalisi sebagai parpol yang dimungkinkan mendukung kebijakan tersebut. Sebut saja PDIP dengan 128 kursi ditempatkan sebagai partai yang diuntungkan.
Kemudian berurutan dari jumlah kursi terbanyak, Golkar dengan 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, PAN 44 kursi, dan terakhir PPP dengan 19 kursi. Dan jika benar akan ada amendemen, maka total suara yang dimiliki sebesar 471 kursi. Ini jelas akan keluar sebagai pemenang dibandingkan gabungan suara Demokrat dan PKS yang hanya sebesar 104 kursi.
Namun kenyataannya dalam politik kalkulasi matematis tidaklah rigid, bahkan sering kali fleksibel. Hal ini terlihat dari pernyataan petinggi parpol dari tiga partai politik pendukung pemerintah yang tegas menolak usulan penundaan Pemilu 2024. Mereka adalah PDIP, NasDem, dan PPP.
Bahkan setelah tiga parpol besar itu menolak wacana, Gerindra yang juga punya kandidat di Pemilu 2024, yaitu Prabowo Subianto, juga masuk sebagai bagian dari parpol yang menolak. Dan jika ditambah dengan dua parpol oposisi lain yang sudah pasti menolak, maka jumlahnya akan menjadi 388 kursi. Ini akan melawan 187 akumulasi kursi dari Golkar, PKB, dan NasDem.
Perubahan kalkulasi matematis ini menjelaskan bahwa tiga partai besar koalisi pemerintah rupanya belum sepenuhnya merestui adanya wacana tiga periode. Hal ini ingin juga menjelaskan bahwa peta 2024 mulai terlihat sangat cair dan dapat membuat kemungkinan-kemungkinan baru dan interpretasi-interpretasi baru.
Selain itu, posisi Prabowo yang digadang-gadang masih akan bertarung di 2024 tampaknya masih menjadi salah satu kandidat terkuat. Kalkulasi ini diambil karena sejauh ini belum dirasakan ada kandidat kuat yang mewakili ketiga parpol tersebut.
Lantas, mungkinkah sinyal politik parpol yang menolak tiga periode mengarah kepada prabowo?
Menerka Sinyal Politik
Dalam politik, dibutuhkan sense of politics dalam melihat setiap gejala politik yang terjadi. Dan jika dikontekstualisasikan kepada wacana tiga periode, maka tiga partai besar pengusung pemerintah yang menolak, tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai penolakan yang sifatnya moralistik, karena marwah demokrasi dan lainnya.
Bisa saja, sikap politik parpol ini adalah bagian dari sinyal politik yang ingin disampaikan kepada seseorang. Kita tahu dalam politik, sinyal politik merupakan bahasa lain dari sikap parpol sesungguhnya.
Sebagai contoh, dalam pemberitaan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan tidak ada sama sekali ruang penundaan pemilu. Di sini terlihat bahwa PDIP sangat siap untuk menghadapi Pemilu 2024.
Kemudian, Ketua Umum NasDem Surya Paloh mengutarakan sikapnya dengan mengatakan, kalau ibarat kereta api, maka sudah tiup peluit dan jalan. Oleh karenanya, harapannya masalah penundaan pemilu sudah perlu dibahas lagi.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP Arsul Sani. menurutnya, secara moral konstitusi tidak pas untuk melakukan amendemen UUD, jika MPR tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan, apakah rakyat setuju pemilu ditunda.
Ada semacam sinyal politik yang diberikan oleh ketiga parpol ini kepada calon kontestan yang akan bertanding di 2024. Dan jika jeli, maka sinyal politik tersebut secara interpretatif bisa saja ditujukan kepada Prabowo.
Hal ini disebabkan posisi Prabowo yang mungkin menjadi orang paling dirugikan jika memang terjadi tiga periode maupun penundaan pemilu ini. Meski juga merugikan dua partai lain, yaitu Demokrat dan PKS.
Jika kita melihat berbagai hasil survei, pasca Pemilu 2019, Prabowo kerap berada di urutan teratas elektabilitas, bahkan unggul dibanding calon favorit yang sedang populer, seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Fakta menarik ini yang juga diaminkan oleh pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Menurutnya, pencalonan Prabowo terbilang lancar. Posisinya sebagai Ketum Gerindra dan penentu terakhir nama-nama yang bakal diusung pada Pilpres 2024, menjadikan Prabowo unggul satu langkah ketimbang nama-nama yang bukan berasal dari ketum parpol.
Maka, dapat dikatakan bahwa pilihan rasional partai pengusung pemerintah yang tidak mendukung wacana tiga periode, sebenarnya ingin memberikan pesan implisit bahwa Prabowo harus mendekati mereka, dikarenakan dia adalah orang yang paling dirugikan jika terjadi wacana ini.
Selain itu, jika dilihat dari faktor elektabilitas dan kekuasaan Prabowo sebagai Ketum Partai Gerindra, akan menjadi pertimbangan rasional parpol lain untuk lebih memilih Prabowo dibanding bakal calon yang lainnya. (I76)