Wacana presiden tiga periode terus bergulir. Sekretariat Nasional Jokowi-Prabowo (Seknas JokPro) 2024 bahkan telah didirikan. Apakah wacana ini benar-benar tidak memperhitungkan penolakan masyarakat?
“The voice of the people has been said to be the voice of God; and, however generally this maxim has been quoted and believed, it is not true to fact.” – Alexander Hamilton, Founding Father Amerika Serikat
Pada tahun 1796, Presiden Pertama Amerika Serikat (AS) George Washington meletakkan fondasi presiden dua periode ketika memutuskan untuk tidak maju kembali pada periode ketiga. Padahal, saat itu berbagai pihak memberi dukungan agar Washington kembali mencalonkan diri.
Keputusan itu melahirkan banyak pujian. Washington disebut telah berlindung dari “kekuatan tirani”.
Pada tahun 1940, Franklin D. Roosevelt mengubur fondasi Washington ketika maju untuk ketiga kalinya dan berhasil menjadi Presiden AS untuk yang ketiga kalinya. Tidak berhenti di angka tiga, nyatanya Roosevelt kembali menjadi presiden empat tahun kemudian.
Menariknya, Franklin Roosevelt bukanlah Roosevelt pertama yang mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga. Sepupu jauhnya, Theodore Roosevelt juga berniat melakukannya pada tahun 1912, meskipun menemui kegagalan. Pun begitu dengan Ulysses S. Grant pada tahun 1880 tetapi gagal maju karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari partai.
Pada 31 Oktober 1944, politisi Partai Republik Thomas Dewey memberikan pandangan keras terhadap kemenangan keempat Franklin Roosevelt.
“Empat masa jabatan atau enam belas tahun adalah ancaman paling berbahaya bagi kebebasan kita yang pernah diusulkan. Itulah salah satu alasan mengapa saya percaya dua masa jabatan harus ditetapkan sebagai batas dalam amendemen konstitusi,” ujar Dewey.
Baca Juga: Kado Ulang Tahun Jokowi ke-60
Sejak kasus Roosevelt, konstitusi AS mengatur agar masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode. Sampai sekarang, amendemen tersebut konsisten diterapkan.
Sama dengan kasus Roosevelt, masa jabatan tidak terbatas yang dirasakan Soekarno dan Soeharto telah mendorong amendemen pertama UUD 1945 pada tahun 1999. Pasal 7 diubah untuk mengatur batas jabatan presiden dan wakil presiden sebanyak dua periode.
Namun menariknya, berbeda dengan AS, amendemen Pasal 7 UUD 1945 yang baru bertahan 22 tahun tengah mendapat tantangan hebat. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) benar-benar tengah digoda agar maju untuk yang ketiga kalinya di Pilpres 2024 nanti. Sekretariat Nasional Jokowi-Prabowo (Seknas JokPro) 2024 bahkan telah didirikan.
Lantas, mungkinkah wacana periode ketiga ini terealisasi?
Tergantung Para Elite
Terkait potensi wacana presiden tiga periode, ada komentar menarik dari pakar hukum tata negara Refly Harun. Menurutnya, secara politik, amendemen bisa terlaksana cukup dengan kehendak segelintir elite. Ini tergantung pada kesepakatan para ketua umum (ketum) parpol koalisi.
Ini tergantung atas kesepatakan Presiden Jokowi, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketum PPP Suharso Monoarfa.
Seperti yang diketahui, koalisi Jokowi di periode kedua ini benar-benar begitu besar. Ini bahkan merupakan koalisi terbesar sejak Reformasi. Dengan koalisi sebesar itu, tidak sulit melakukan amendemen, meskipun wacana ini mendapat penolakan luas masyarakat.
Buktinya dapat dilihat pada revisi UU KPK dan pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja. Meskipun mendapatkan penolakan yang melahirkan gelombang demonstrasi terbesar sejak Reformasi, dua produk hukum tersebut nyatanya tetap disahkan.
Konteks ini juga yang diwanti-wanti oleh Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia bertolak dari pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja yang tiba-tiba sudah disahkan.
Kekhawatiran ini sejalan dengan penjelasan Moh. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia. Mengutip Ralf Dahrendorf, hukum kerap kali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan.
Baca Juga: Ke Mana Idealisme Mahfud yang Dulu?
Lebih lanjut, produk hukum yang merupakan cermin kekuasaan disebut dengan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis. Hukum jenis ini lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Tipologi hukum tersebut jelas terlihat pada pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja yang seolah tidak menghiraukan penolakan masyarakat dan hanya melaksanakan kehendak sepihak dari penguasa. Hal ini juga ditegaskan oleh Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Maria.
Di titik ini mungkin ada yang menyinggung soal people power. Jika kekuasaan terus bertindak demikian, bukankah itu dapat memicu gerakan masyarakat? Nasihatnya tentu satu, “hati-hati demonstrasi ‘98 terulang lagi”.
Vox Populi, Vox Dei
Terkait people power, banyak dari kita akan teringat dengan ungkapan vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Meskipun ungkapan ini kerap dikaitkan dengan Revolusi Prancis, vox populi, vox dei sebenarnya berasal dari Partai Whig di Inggris pada tahun 1709.
Terkhusus bicara di Indonesia, apakah ungkapan vox populi, vox dei benar-benar eksis? Tentu akan banyak menjawab “iya” dengan cepat. Buktinya adalah demonstrasi yang membuat Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998. Namun, benarkah demonstrasi yang membuat The Smiling General mundur?
Suka atau tidak, sebenarnya terdapat glorifikasi berlebihan terhadap demonstrasi ’98. Kejatuhan Soeharto melibatkan variabel yang kompleks. Ada faktor tekanan internasional dan tekanan dari dalam kekuasaannya sendiri.
Seperti yang jamak diketahui, ada peran International Monetary Fund (IMF) yang memberi “resep salah” sehingga ekonomi Indonesia makin terpukul. Rupiah pun terjun bebas. Lalu, ada satu faktor penting yang mungkin jarang diungkit, yakni penolakan 14 menteri Soeharto masuk ke dalam Komite Reformasi.
Mereka adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Yustika Baharsyah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Mengacu pada keterangan Wiranto, mahasiswa yang berada di gedung DPR/MPR sekitar 200-250 orang saat itu. Soeharto sebenarnya dapat saja mengulangi peristiwa Tiananmen 1989 di Tiongkok. Cukup menurunkan 100 prajurit bersenjata, gedung DPR/MPR dapat “dibersihkan”.
Baca Juga: Jokowi Tiga Periode, Kepentingan Siapa?
Memang benar ada faktor dorongan demonstrasi, namun tidak bijak mengatakan itu adalah faktor utama. Kejatuhan Soeharto adalah akumulasi dari berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain.
Glorifikasi terhadap demonstrasi ’98 dapat dipahami melalui konsep fundamental attribution error yang dijelaskan Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly. Fundamental attribution error adalah bias kognitif di balik terjadinya kesalahan fundamental dalam melakukan atribusi atas suatu peristiwa.
Menurut Dobelli, di balik suatu peristiwa terdapat faktor yang kompleks. Namun, karena kognisi manusia sulit menangkap informasi yang begitu kompleks dan sering kali bertentangan, individu kerap menyederhanakan penjelasan dan faktor-faktor yang terlibat. Umumnya dengan cara terlalu tinggi menaksir peran satu faktor atau variabel.
Fundamental attribution error sejalan dengan tulisan Stefan Schneider yang berjudul Vox populi, vox dei or maybe not?. Menurutnya, ungkapan vox populi, vox dei dapat membuat masyarakat terjebak dalam “knowledge illusion”.
Kembali pada wacana tiga periode. Sekarang pertanyaannya, apakah Presiden Jokowi akan mengikuti langkah bijak George Washington, atau justru menjadi Franklin Roosevelt-nya Indonesia? Entahlah. Kita lihat saja. (R53)