Tiga kandidat, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo kemungkinan besar akan bertarung di Pilpres 2024. Dengan berkaca pada riwayat dan analisis atas eksistensi “dukungan negara kuat” di dalamnya, Tiongkok kemungkinan akan memenangkan persaingan mengungguli Amerika Serikat (AS) dengan sokongan kepada Ganjar. Benarkah demikian?
Kesuksesan Xi Jinping memenangkan periode ketiganya sebagai Presiden Tiongkok boleh jadi akan ditiru oleh probabilitas kemenangan PDIP melalui Ganjar Pranowo di Pilpres 2024.
Setelah diumumkan sebagai calon presiden (capres) PDIP di 2024, Ganjar Pranowo seolah membuka peluang bagi PDIP untuk menorehkan rekor hattrick di ajang pemilihan presiden setelah Reformasi.
Korelasi dengan Xi Jinping dan Tiongkok di awal pun seakan bukan tanpa alasan. Sebab, Tiongkok bisa saja memiliki hasrat untuk melanjutkan kepentingan ekonomi-politik mereka yang tampaknya telah diakomodir dengan baik selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan, lebih jauh lagi, interpretasi atas adanya campur tangan Tiongkok untuk memenangkan Ganjar kiranya turut hadir di meja analisis.
Dalam sebuah publikasi berjudul Foreign Interference in Domestic Politics, Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna menyebut praktik campur tangan asing (negara kuat) dalam politik domestik suatu negara demi mengamankan kepentingan mereka sebenarnya cukup lumrah.
Terlepas dari seperti apa dan bagaimana bentuk intervensinya, khusus di Indonesia, Pilpres 2019 dikatakan turut menjadi arena praktik tersebut. Utamanya, demi menempatkan pemimpin yang dapat menguntungkan kepentingan negara yang bersangkutan.
Prashanth Parameswaran dalam Indonesia’s 2019 Elections: Beware the Foreign Puppet Wars in the Jokowi-Prabowo Race menggunakan istilah foreign puppet wars (peperangan boneka asing) untuk menyebutkan kemungkinan intervensi asing di ajang pertarungan memperebutkan RI-1 edisi 2019.
Parameswaran menyebutkan Tiongkok, Amerika Serikat (AS), dan Rusia memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi semacam itu.
Spesifik pada Tiongkok, disebutkan salah satu sampel bahwa Negeri Tirai Bambu memiliki rekam jejak “tangan tak terlihat” dalam menentukan arah Pemilu Kamboja pada tahun 2018 lalu.
Kembali, hal tersebut kiranya tak menutup kemungkinan akan memiliki korelasi dengan pencapresan Ganjar oleh PDIP. Bahkan, terkait pula dengan probabilitas persentase kemenangan mereka jika benar-benar “disokong” Xi Jinping dan Tiongkok. Mengapa demikian?
PDIP Pilihan Tiongkok?
Sekali lagi, kepentingan ekonomi-politik kiranya akan mendasari kemungkinan arah dukungan Xi Jinping-Tiongkok kepada Ganjar-PDIP di Pilpres 2024. Setidaknya, presumsi itu dapat diidentifikasi berdasarkan tiga hal.
Pertama, Meskipun partai politik (parpol) lain seperti Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKS juga tercatat memiliki riwayat interaksi dan kerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), PDIP boleh jadi tetap menjadi yang terdepan untuk mendapatkan support.
Itu dikarenakan, PDIP adalah parpol penguasa saat ini dengan proyeksi elektabilitas yang masih positif di Pemilu 2024.
Selain itu, eksistensi Ganjar – yang telah dicapreskan – sebagai kandidat yang diperhitungkan sebagai capres berdasarkan sejumlah survei, membuat ambisi politik dan kepercayaan diri PDIP untuk mempertahankan kekuasaan tentu meningkat.
Kedua, masih berkorelasi dengan poin pertama, kans PDIP untuk kembali berkuasa membuat Tiongkok bisa saja memang lebih condong untuk “memihak” Ganjar. Lagi-lagi, itu terkait dengan kepentingan ekonomi-politiknya.
Menurut analisis Julia Bader dan Christine Hackenesch dalam sebuah kolom tulisan berjudul China’s Party-to-Party Relations in Asia yang menjadi bagian dari buku terbitan tahun 2020 berjudul Authoritarian Gravity Center, hubungan harmonis dengan parpol Indonesia akan menguntungkan Tiongkok dalam hal investasi di masa mendatang.
Kendati dengan sistem multipartai dikatakan bahwa Tiongkok tak bisa menebak siapa pemenang kontestasi elektoral, riwayat hubungan konstruktif selama ini dengan PDIP saat berkuasa menjadikan keberpihakan kiranya dapat menjadi strategi efektif demi mengamankan tujuan mereka.
Dengan kata lain, selain PDIP yang memiliki “kedekatan batin” dengan PKT, sosok Ganjar yang juga dinilai serupa dengan Jokowi boleh jadi akan lebih mudah melanjutkan keharmonisan kerja sama ekonomi kedua negara selama ini.
Ketiga, kemungkinan dukungan Xi Jinping kepada Ganjar dan PDIP tampaknya juga dapat dilandasi oleh proyeksi tak maksimalnya sokongan “entitas kuat eksternal” lain, terutama kepada rival mereka, yakni Barat, kepada Prabowo dan Anies. Benarkah begitu?
AS Skip Dulu?
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selain Tiongkok, AS juga memiliki catatan historis atas intervensi sejumlah kontestasi elektoral di beberapa negara.
Secara teknis, bentuk intervensi AS untuk menempatkan pemimpin negara lain yang dapat mengamankan kepentingannya dilakukan dengan berbagai metode.
Salah satunya diungkapkan Dana Roberson dan T.J. Raphael dalam A Brief History of U.S. Intervention in Foreign Elections. Disebutkan. Disebutkan, AS kerap mengerahkan badan intelijennya untuk mengimplementasikan taktik klandestin dalam mencampuri pemilu di suatu negara.
Sifatnya pun beragam, mulai dari propaganda, pengerahan massa, hingga melakukan konstruksi isu. Saat ini, sederet catatan intelijen yang telah dideklasifikasi pemerintah AS sendiri pun menjadi bukti sahih intervensi Negeri Paman Sam itu.
Terlebih, terdapat kandidat capres 2024 pula yang kiranya memiliki irisan kepentingan positif dengan AS, yakni Prabowo.
Ya, selama menjabat Menhan, Prabowo terlihat menjadi aktor terdepan yang menyeimbangkan kecondongan politik luar negeri Indonesia ke Barat, utamanya AS. Hal ini terlihat dari serangkaian kerja sama dan latihan militer konkret hingga pemenuhan plus rencana pemenuhan alutsista yang made in USA.
Namun, sekali lagi, Tiongkok tampak memiliki keunggulan momentum jika memang persaingan intervensi itu benar-benar terjadi.
Faktor utamanya, di Pilpres 2024 nanti, AS bisa saja tertinggal dari Tiongkok karena mereka tengah disibukkan dengan agenda serupa di tahun yang sama, yakni Pilpres AS.
Probabilitas intervensi AS yang dapat bergerak otonom – terlepas dari hiruk-pikuk rivalitas politik Partai Republik dan Partai Demokrat – agaknya tetap belum dapat meredam keunggulan momentum Tiongkok.
Lalu, bagaimana dengan Anies?
Barat ft. Eropa Tak Cukup?
Setelah diwawancarai secara langsung dalam program The World ABC News Australia pada awal Maret lalu, banyak pihak yang menyebut Anies juga menjadi opsi capres yang “disukai” Barat.
Bahkan, bukan hanya Barat, kunjungan kerja Anies keliling Eropa saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta disebut membuatnya dapat menjadi perpanjangan tangan kepentingan organisasi supranasional Uni Eropa (UE) di Indonesia jika menjadi RI-1 kelak.
Dalam lawatan pada Mei 2022 itu, Anies menyambangi sejumlah tokoh dan organisasi di berbagai bidang – mulai dari pendidikan tinggi, pejabat, politisi, ekonom, investor, hingga lembaga think-tank.
Namun, jika bersaing dengan Tiongkok, sokongan Eropa pun kiranya tak akan kuasa membendungnya. Selain faktor keunggulan Tiongkok yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, situasi ekonomi dan politik di Eropa pun sedang tak sepenuhnya kondusif.
Konflik Rusia-Ukraina, turbulensi politik domestik Prancis sebagai jangkar Uni Eropa, serta intrik di antara negara-negara Eropa sendiri menjadi faktor penghambat interpretasi tersebut.
Apalagi, cukup sulit kiranya untuk menyebut secara eksplisit bahwa Eropa atau negara-negara Uni Eropa secara umum akan memberikan dukungan kepada Anies maupun kandidat capres lain.
Bahkan, jika membedah analisis dari sudut pandang berbeda, tak menutup kemungkinan jika kandidat capres 2024 lah yang justru proaktif mencari dukungan ke negara-negara lain, bukan sebaliknya.
Tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Tentu, intervensi semacam itu sama sekali tak diharapkan. Lebih-lebih jika dapat memengaruhi pembuatan keputusan strategis yang seharusnya mendahulukan kepentingan masyarakat. (J61)