Setelah isu kudeta Partai Demokrat yang diduga melibatkan Moeldoko mencuat, muncul usulan agar Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggandeng Gatot Nurmantyo masuk ke Partai Demokrat. Gatot dinilai dapat membantu AHY mengonsolidasi internal partai, serta memang merupakan saingan Moeldoko di kalangan mantan tentara. Tepatkah usulan tersebut?
“Any political party that includes the word ‘democratic’ in its name, isn’t” – Patrick Murray, aktor asal Inggris
Isu kudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat masih menjadi perdebatan hangat publik. Atas dugaan keterlibatan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, usulan agar mantan Panglima TNI itu mundur dari jabatannya mulai menyeruak ke permukaan.
Menurut beberapa pihak, mundur adalah pilihan bijak bagi Moeldoko untuk menjaga marwah KSP serta Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baru-baru ini, Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief mengunggah cuitan di Twitter yang menyebutkan Presiden telah menegur Moeldoko agar tidak mengulangi perbuatannya. Namun menariknya, Juru Bicara (Jubir) Presiden, Fadjroel Rachman justru mengaku tidak mengetahui perihal informasi tersebut.
Di luar persoalan apakah benar terdapat nama Moeldoko di balik usaha kudeta yang disebutkan, sebuah usulan menarik datang dari Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto. Menurutnya, AHY perlu menggandeng Gatot Nurmantyo untuk masuk ke Partai Demokrat.
Baca Juga: Moeldoko Lanjutkan Estafet Prabowo?
Tidak hanya dinilai dapat membantu AHY dalam mengonsolidasi internal Partai Demokrat, Gatot juga disebut sebagai sosok tepat untuk menghalau Moeldoko ke depannya. Selaku sama-sama mantan Panglima TNI, Gatot adalah saingan Moeldoko di kalangan mantan tentara.
Sebenarnya, bukan kali ini saja nama Gatot dikait-kaitkan dengan Partai Demokrat. Pada Maret 2020 lalu, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini juga disebut-sebut masuk bursa calon ketua umum partai mercedes oleh politikus senior Demokrat Achmad Mubarok.
Sekarang pertanyaannya, katakanlah usulan Satyo Purwanto sampai ke telinga AHY, tepatkah menggandeng Gatot masuk ke Partai Demokrat?
Kedekatan yang Ada
Dimunculkannya nama Gatot oleh Satyo Purwanto ataupun pada Maret tahun lalu bukannya tanpa sebab. Meskipun pengangkatannya sebagai Panglima TNI terjadi di bawah kepemimpinan Jokowi, namun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disebut-sebut memiliki jasa besar dalam karier militer Gatot.
Pada 3 Juni 2018 lalu, misalnya, Gatot mengunggah foto tengah mencium tangan SBY sembari memberikan caption, “Saya ini prajurit, lahir dari keluarga prajurit, dan kini, saya pensiun setelah melengkapi bakti saya pada negara. Orang yang saya cium tangannya ini sudah seperti orang tua saya, Pak SBY memimpin bangsa ini 10 tahun sebagai Presiden. Saya diberi kesempatan banyak oleh beliau. Dalam suasana Ramadhan mari kita berdoa, Semoga Allah memberi beliau keberkahan umur Aamin”.
Faktanya, SBY yang mengangkat Gatot sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada Juli 2014 lalu. Posisi itu jelas merupakan batu loncatan penting yang membuatnya terpilih sebagai Panglima TNI pada Juni 2015.
Pada 25 Mei 2018, Gatot juga menegaskan bahwa dirinya selalu berkomunikasi dengan Partai Demokrat dan kembali menyinggung SBY yang mengangkatnya menjadi KSAD.
Di sini, mungkin ada yang menyebutkan bahwa foto yang diunggah Gatot tersebut diinterpretasi berlebihan – sekadar cocoklogi semata. Jayeon Lee dalam tulisannya Presidents’ Visual Presentations in Their Official Photos dapat menjadi bantahan keras atas sangkaan tersebut. Menurut Lee, unggahan foto adalah cara strategis pemimpin negara dalam menyajikan pesan dari diri mereka secara visual.
Lee misalnya mencontohkan unggahan foto mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang sedang memeluk istrinya Michelle Obama setelah terpilih kembali pada 2012 lalu . Menurut Lee, Obama hendak memberikan pesan bahwa dirinya adalah seorang pria yang mengutamakan keluarganya (family man).
Kendati tulisan Lee berfokus pada posisi presiden, namun tesis tulisan tersebut sebenarnya dapat digunakan kepada seluruh politisi ataupun public figure yang tindak tanduknya memang selalu diikuti oleh publik.
Pada 22 November 2020 lalu, misalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah fotonya sedang membaca buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di media sosial pribadinya. Saat itu, hampir semua pihak menilai bahwa Anies sedang mengkritik pemerintah pusat sedang berlaku otoriter.
Baca Juga: Cerdik, Anies Kritik Pemerintah Otoriter?
Ada dua alasan utama dari interpretasi tersebut. Pertama, karena tesis buku itu menyebutkan demokrasi dapat mati apabila pemimpin otoriter terpilih dalam pemilu. Kedua, Anies tengah diperiksa perihal kasus kerumunan massa Habib Rizieq Shihab (HRS). Masalahnya, berbagai pihak menilai pemerintah telah berlaku timpang karena hanya kasus HRS yang direspons tegas saat itu.
Singkatnya, selaku public figure yang selalu diperhatikan publik, Gatot jelas hendak memberikan pesan bahwa dirinya memiliki kedekatan dengan Presiden keenam RI tersebut. Pada 2018 lalu, Gatot juga secara terbuka menyebutkan optimismenya untuk maju di Pilpres 2019 dengan menyinggung hubungannya dengan Partai Demokrat dan SBY.
Mark Vernon dalam tulisannya The Politics of Friendship, memberikan catatan khusus terkait konsep persahabatan atau kedekatan personal (political friendship) yang disebutnya telah memainkan peran vital dalam politik, bahkan sejak era Yunani Kuno.
Dengan demikian, konteks kedekatan hubungan Gatot dengan SBY, ataupun komunikasi yang dijalinnya dengan Partai Demokrat, boleh jadi merupakan alasan kuat bagi AHY untuk menggandengnya masuk ke dalam partai mercedes.
Akan tetapi, meskipun terdapat konteks political friendship,mungkinkah AHY merealisasikan usulan memasukkan Gatot?
Dapat Rugikan AHY?
Jika hanya mengacu pada konteks kedekatan, usulan memasukkan Gatot tentu sangat mungkin untuk terjadi. Apalagi, Gatot telah menjadi simbol oposisi yang dapat menaikkan popularitas Partai Demokrat. Itu tentu merupakan modal penting untuk menyambut Pemilu 2024.
Akan tetapi, jika kita menimbang pada konteks AHY, yang mana dirinya diproyeksikan sebagai kandidat di Pilpres 2024, sepertinya dapat dikatakan bahwa memasukkan Gatot ke Partai Demokrat justru memberi kerugian politik. Setidaknya terdapat empat alasan dari simpulan tersebut.
Pertama, Gatot adalah sosok yang memiliki ambisi politik yang tinggi dan diperlihatkan secara gamblang. John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics, bahkan menyebut Gatot sebagai satu-satunya Panglima TNI yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya saat masih menjabat.
Ambisi tersebut bahkan dikatakan sangat spesifik dengan membawa narasi yang sangat jelas, yakni anti-komunisme dan lekat dengan aliansi Muslim konservatif.
Baca Juga: Gatot, Anomali Eks Panglima?
Konteks tersebut tentunya buruk bagi AHY karena berpotensi disalip oleh Gatot sebagai kandidat di Pilpres 2024. Popularitas dan elektabilitas AHY sendiri belum begitu tinggi sampai saat ini. Dengan kata lain, masuknya Gatot dapat menciptakan “matahari kembar” di tubuh Partai Demokrat.
Lagipula, cukup sulit juga membayangkan seorang jenderal akan diperintah dan menjadi bawahan seorang mayor.
Kedua, AHY dan Gatot tampaknya berada pada faksi militer yang berbeda. Pasalnya, berbeda dengan AHY yang lebih memperlihatkan diri sebagai sosok militer nasionalis dan tidak membawa narasi agama, Gatot sepertinya merupakan militer yang dekat dengan subkultur Islam.
Dalam sejarah internal militer Indonesia, kedua faksi tersebut disebut dengan ABRI Merah Putih dan ABRI Hijau. Konteks tersebut misalnya dapat kita lihat dari narasi yang dibawa keduanya.
Ketiga, mengacu pada Gatot yang kerap membawa narasi politik identitas, sepertinya mantan Panglima TNI itu akan mendapatkan resistensi nantinya dari SBY jika bergabung ke Partai Demokrat. Pasalnya, pada 28 November 2020 lalu, SBY memberi penegasan khusus atas keprihatinannya terhadap masifnya penggunaan politik identitas di Indonesia sejak 2017 lalu.
Keempat, kembali menyinggung perihal matahari kembar di alasan pertama, rasa-rasanya sulit membayangkan SBY akan memberikan ruang bagi Gatot untuk menyaingi AHY sebagai ikon Partai Demokrat. Terkait hal ini, sebuah pernyataan menarik ditulis oleh Steven Pinker dalam bukunya Enlightenment Now: Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan.
Dalam bagian bukunya yang membahas mengenai demokrasi, Profesor Psikologi di Harvard University ini menulis fakta menarik bahwa negara yang memiliki kata “demokratik” dalam nama resminya, seperti Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) atau Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur), justru bukanlah negara demokratis.
Di level partai politik, aktor asal Inggris Patrick Murray mengeluarkan pernyataan yang bermakna sama persis dengan Pinker. Tulisnya, “Any political party that includes the word ‘democratic’ in its name, isn’t.” Kendati tentunya pernyataan Murray tidak dapat digeneralisir, di konteks Indonesia, pernyataan tersebut tampaknya cukup tepat.
Pasalnya, PDIP dan Partai Demokrat yang memiliki kata “demokrat” atau “demokrasi” dalam nama partainya, justru sulit melakukan regenerasi kepemimpinan dan dikenal sebagai partai yang identik dengan tokoh tertentu.
Baca Juga: Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat
Akan tetapi, seperti yang menjadi adagium umum, yakni tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, bisa jadi keempat alasan tersebut tidak menjadi penghalang AHY untuk menarik Gatot ke dalam Partai Demokrat. Kita lihat saja perkembangannya. (R53)